Chung Hwa Xue Xiao: Identitas Baru Eksistensi Masyarakat Tionghoa di Palu

Chung Hwa Xue Xiao: Identitas Baru Eksistensi Masyarakat Tionghoa di Palu

FOTO: Perayaan kelulusan di Chung Hwa Xue Xiao, sekitar tahun 1950-an.
FOTO: Koleksi Tedi Halim

       Sebelum masyarakat Tionghoa di Palu mendirikan sekolah Chung Hwa Xue Xiao pada tahun 1921, di wilayah Palu sendiri sudah berdiri sejumlah sekolah. Pada tahun 1911, telah berdiri sebuah sekolah lanskap di Palu. Pendidikan di sekolah lanskap direkomendasikan dalam pengawasan khusus petugas pemerintahan dan mereka diinstruksikan untuk mengontrol guru dan pola pendidikan.[1] Kemudian pada tahun 1925, di Palu telah berdiri sekolah negeri (Gouvernements School) Kelas Dua[2], dengan rerata siswa mencapai 200 orang, sedangkan stafnya terdiri dari 5 guru.[3] Selanjutnya, di Onderafdeeling Palu sendiri, ada 3 jenis sekolah rakyat (Volksschool).[4] Pertama, sekolah lanskap yang dikelola oleh pemerintah di Lasoani, Biromaroe, Dolo, Sidondo, Kaleke dan Ngatapapoe. Kedua, sekolah rakyat yang dikelola oleh Bala Keselamatan di Padende, Bomba, Bora, Rarampadende, Lemo, Lindoe, Winatoe, Gimpoe dan Kantewoe. Ketiga, Sekolah Bala Keselamatan di Wajoe, Porame, Karere, dan Towoloe.[5]

Terbatasnya akses sekolah yang disediakan oleh Pemerintah Hindia Belanda di Palu, membuat kelompok masyarakat maupun organisasi sosial, keagamaan dan politik, berbondong-bondong mendirikan sekolah di Palu, pada periode 1920an hingga 1930-an. Masyarakat Arab misalnya, lewat Sayyid Idrus bin Salim Aljufri atau yang dikenal dengan sebutan Guru Tua, mendirikan lembaga pendidikan bernama Madrasah al-Islamiyyah al-Khairat di Kota Palu, pada 30 Juni 1930. Madrasah al-Islamiyyah al-Khairat kemudian menjadi cikal bakal berdirinya lembaga pendidikan Islam Alkhairaat pada tahun 1933.[6]

Selain masyarakat Arab, masyarakat Tionghoa di Palu juga tidak ketinggalan ambil bagian dalam mendirikan sekolah, sebagai akses pendidikan bagi masyarakat Tionghoa di Palu. Pada tahun yang sama, masyarakat Tionghoa di Palu mendirikan Chung Hwa Xue Xiao, di atas sebuah lahan seluas sekira 4000 m2, di wilayah Ujuna, yang merupakan kawasan pemukiman masyarakat Tionghoa di Palu.[7] Lokasi berdirinya sekolah itu, kini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, tepatnya di Jalan Gajah Mada Lorong Bhakti. 

Chung Hwa Xue Xiao didirikan oleh Liem Pok Tjin, seorang imigran asal Pulau Pingtan yang datang ke Palu pada 1917.[8] Liem Pok Tjin mendirikan sekolah itu bersama masyarakat Tionghoa di Kota Palu.[9] Keterangan tentang berdirinya sekolah ini, dilaporkan oleh Kontrolir Palu, J.A. Vorstman, pada tahun 1935. Dalam laporannya, Vorstman menyebut, ada tiga jenis sekolah yang berdiri di Palu pada periode itu, yang merupakan sekolah yang tidak disubsidi oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sekolah tersebut masing-masing adalah sekolah partikelir Belanda (Part. Holland Inlandsche School), sekolah Tionghoa (Chinese School), serta sekolah agama Islam.[10]

Pada periode itu, sejumlah sekolah juga telah didirikan di wilayah Onderafdeeling Palu, yakni Sekolah Rakyat (Volksschool) di Paloe, Lasoani, Tatanga, Donggala-ketjil, Kaloekoeboela, Dolo, Sidondo, Biromaroe, Sakidi, Kaleke, Bobo dan Boeloebete dan sekolah rakyat Bala Keselamatan bersubsidi di Wajoe, Padende, Bomba, Rarampadende, Sibalaja, Kalawara, Bora, Kapiroi, Manoesi, Kulawi, Lindoe, Banasoe, Peana, Kantewoe, Towoeloe dan Winatoe. Kemudian Sekolah Menengah Negeri (Gouvernements Vervolgschool)[11] yang berada di Palu dan Biromaru. Selain itu juga terdapat sekolah yang dikelola Bala Keselamatan, yang terletak di wilayah pedalaman Palu.[12]        

Selain Chung Hwa Xue Xiao, di wilayah Donggala juga telah didirikan sebuah sekolah Tionghoa bernama Chung Hua School.[13] Sekolah ini merupakan salah satu dari sekian sekolah swasta yang didirikan di Donggala, seperti sekolah yang didirikan oleh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), sekolah Muhammadiyah, sekolah swasta di luar konteks PSII, tetapi di bawah arahan mantan guru PSII dari "Comitte Islam", serta sekolah swasta yang dikelola oleh orang Minahasa, di mana di sekolah ini bahasa Belanda diajarkan dan oleh karena itu, biasanya disebut sebagai "H.I.S swasta".[14]  

Niatan Liem Pok Tjin dan masyarakat Tionghoa di Palu untuk mendirikan sekolah, terbilang cukup sederhana, yakni mengupayakan pendidikan dasar yang layak bagi anak-anak dari komunitas Tionghoa di Palu. Hal ini dilakukan dengan melihat bahwa mutu pendidikan yang ditawarkan oleh sekolah pemerintah, jauh dari ideal. Upaya untuk memberikan pendidikan dasar yang layak ini, ditunjukkan dengan merekrut guru-guru yang berasal dari Minahasa.[15] Guru-guru asal Minahasa tersebut, selain mengajar di Chung Hwa Xue Xiao, guru-guru asal Minahasa ini juga mengajar di sekolah pemerintah.[16]

Jan Van Den Eerenbeemt menyebut, sebelum Jepang menjajah Cina pada 1931, hak-hak masyarakat Tionghoa di Hindia sangat terbatas. Mereka harus tinggal di lingkungan mereka sendiri, dengan jalan-jalan dan daerah kumuh, toko-toko dan kuil-kuilnya. Keterbatasan ini juga diperparah dengan tidak adanya tindakan yang diambil oleh pemerintah pada pendidikan. untuk pemuda Tionghoa. Namun, ketika Cina dijajah oleh Jepang pada 1931 dan berperan dalam politik dunia, orang Tionghoa di Hindia juga mulai membela hak-hak mereka. Gerbang pembatasan lingkungan dibuka dan pembatasan pergerakan mereka dicabut. Selain itu, sekolah untuk masyarakat Tionghoa juga mulai dibuka, yang disebut Hollands-Chinese (HC) Schools, di mana bahasa Belanda adalah bahasa resmi, tetapi dalam jumlah yang terlalu sedikit, sehingga sekolah H.C. swasta bermunculan. Kemudian untuk orang Tionghoa totok, semakin banyak sekolah Tionghoa dengan bahasa nasional Tionghoa “kouo-yu”, didirikan sebagai media pengajaran.[17]

Keinginan masyarakat Tionghoa untuk pendidikan dan pengasuhan yang baik untuk anak-anak mereka, juga membuat mereka menerima agama Kristen. Kecenderungan ini terjadi di Jawa, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Keinginan masyarakat Tionghoa untuk pendidikan dan pengasuhan yang baik untuk anak-anak mereka, dipenuhi oleh Misi, dengan mendirikan banyak Sekolah Cina dan H.C. Akibatnya, ribuan anak muda Tionghoa berhubungan dengan devosi Saudara dan Saudari Katolik. Bagi banyak orang, Baptisan Kudus adalah mahkota kemuliaan dari pendidikan mereka. Tetapi bahkan mereka yang tidak mengambil langkah besar ini, biasanya membawa serta dari sekolah-sekolah itu, penghargaan dan simpati terhadap Iman Katolik. Begitulah yang terjadi di Minahasa dan Makassar.[18]

Proses pembelajaran di sekolah ini pada awalnya menggunakan bahasa Mandarin, diselingi bahasa Melayu pada beberapa pelajaran. Namun setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar dalam proses pembelajaran.[19] Siti Zainatul Umarah menyebut, kebijakan standarisasi sekolah yang diterapkan untuk seluruh sekolah asing, membuat lebih dari 1.100 sekolah Tionghoa mengganti bahasa pengantar pengajarannya, dari semula bahasa Mandarin menjadi bahasa Indonesia.[20]

Chung Hwa Xue Xiao terus berkembang seiring perkembangan Komunitas Tionghoa di Kota Palu. Dari yang awalnya hanya beberapa kelas, sekolah ini kemudian memiliki 12 ruang kelas. Setiap kelas mulai kelas 1 hingga kelas 6 terbagi dalam dua kelas dan satu kelas masing-masing diisi oleh sekira 40 siswa.[21] Pada perkembangannya, Chung Hwa Xue Xiao mengeluarkan kebijakan menerima siswa di luar masyarakat Tionghoa. Kebijakan ini, diyakini lahir dari kondisi kawaan pemukiman masyarakat Tionghoa di Ujuna, yang majemuk. Wilayah Ujuna dikenal juga sebagai tempat tinggal para pendatang dan pedagang, seperti Banjar, Arab, Melayu, dan juga Orang Belanda. Komposisi masyarakat yang beragam ini, menjadikan wilayah Ujuna sebagai kawasan yang majemuk, yang mendorong Chung Hwa Xue Xiao membuka diri untuk menerima siswa dari kalangan lain, selain masyarakat Tionghoa. Kebijakan ini kemudian, yang membuat lulusan sekolah itu memiliki wawasan kebangsaan yang multikultur, serta menghargai perbedaan.

Tampak sekali bila eksistensi masyarakat Tionghoa, melalui Chung Hwa Xue Xiao, telah memberi pendidikan multikultural kepada semua siswanya. Fenomena ini, sejalan dengan penjelasan Bambang Purwanto, bahwa salah satu alasan masyarakat Tionghoa membuka diri terkait dunia pendidikan, baik itu menyekolahkan anaknya di sekolah non Tionghoa atau membuka akses Sekolah Tionghoa untuk kalangan pribumi, adalah kesadaran pada diri orang tua para siswa tersebut untuk sejak awal memberi dasar kepada anak-anak mereka tentang arti keberagaman, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa.[22] Bambang Purwanto menjelaskan, masyarakat pribumi dan pendatang atau masyarakat tempatan, telah menjalani kehidupan sehari-hari secara damai tanpa prasangka, sejak lebih dari satu abad sebelumnya. Cara berpikir positif itu bersambut dengan sikap masyarakat tempatan, yang juga menyadari tentang arti penting dari hidup damai dalam keberagaman.[23]

Pada masa penjajahan Jepang, gedung sekolah ini terbakar akibat dibom oleh Jepang. Namun, aktivitas belajar mengajar tetap berlangsung, karena kebakaran tidak melanda seluruh gedung sekolah. Sekolah ini pernah ditutup akibat pemberontakan Permesta, karena gedungnya digunakan sebagai asrama tentara Bataliyon 758 pimpinan Frans Karangan, sekaligus ruang tahanan Permesta. Akibat penutupan sekolah, masyarakat Tionghoa bersama masyarakat Sulawesi Utara di Palu menginisiasi pendirian Sekolah Katolik pada tahun 1957. Sebagian murid sekolah Tionghoa kemudian pindah ke sekolah Katolik, sementara sebagian lainnya memutuskan pindah ke Sekolah Muhammadiyah yang berada tidak jauh dari sekolah Tionghoa. Bahkan saat itu, sekira 70 persen murid sekolah Tionghoa memutuskan pindah ke Sekolah Muhammadiyah.[24]

Pasca Permesta, sekolah dibuka kembali dengan siswa yang tersisa. Nasib Chung Hwa Xue Xiao di Kota Palu, sedikit lebih baik dari sekolah sejenis di wilayah lain di Indonesia di era 1950-an. Pada pertengahan 1950-an, pemerintah mulai bertindak dengan wacana penghapusan sekolah-sekolah partikelir asing. Berdasarkan Peperpu/012/1958, Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat melakukan intervensi atas kewenangan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PPK) dan Kementerian Agraria, untuk mengurangi kuantitas sekolah-sekolah asing yang beroperasi di Indonesia. Pihak Kementerian PPK lantas membuat mekanisme penertiban dan pengurangan sekolah asing dilaksanakan secara bertahap. Selama kurun 1958-1959, sekolah-sekolah asing hanya diperbolehkan berdiri di tingkat kabupaten. Namun, kemudian dibatasi lagi di tingkat karesidenan hingga akhirnya hanya diizinkan diselenggarakan di tingkat provinsi saja.[25]

Chung Hwa Xue Xiao boleh dikatakan beruntung, tidak terkena imbas dari kebijakan ini. Kebijakan menerima siswa dari kalangan pribumi, dan kecenderungan masyarakat Tionghoa di Kota Palu yang mampu beradaptasi dan membaur dengan masyarakat setempat dan masyarakat tempatan lainnya, bisa disebut sebagai sebab sekolah ini tidak terkena imbas pengurangan sekolah asing tersebut.

Sekolah ini baru benar-benar ditutup pada tahun 1965, pasca peristiwa Gerakan 30 September (G30S) di Jakarta. Stigma komunis dilekatkan kepada masyarakat Tionghoa di Indonesia, tidak terkecuali di Palu. Sebagian besar dari mereka ditangkapi, namun kemudian dibebaskan karena tidak cukup bukti.[26] Tercatat, ada 9 warga keturunan Tionghoa yang ditangkap oleh tentara. Mereka sebagian besar berdomisili di wilayah Kelurahan Ujuna.[27] Setelah tutup, gedung sekolah Chung Hwa Xue Xiao digunakan sebagai salah satu tempat penahanan orang-orang yang dituduh PKI atau terlibat dengan organisasi yang dianggap sebagai underbouw PKI.[28]

Gedung sekolah ini juga pernah menjadi lokasi ujian nasional pada tahun 1966. Pada rentang tahun 1974-1980, gedung sekolah ini dijadikan ruang perkuliahan bagi IKIP Ujung Pandang cabang Palu. Pada tahun 1980, aktivitas perkuliahan dipindahkan ke kampus Bumi Bahari. Bangunan tersebut pun ditempati oleh para dosen dan pegawai sebagai tempat tinggal. Sebagian ruangan juga digunakan oleh pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Donggala sebagai tempat tinggal.[29] Kini, gedung bekas sekolah Tionghoa tersebut telah sebagian telah menjadi kontrakan dan sebagian lagi dihuni oleh mantan pegawai IKIP Ujung Pandang Cabang Palu yang beralih menjadi Universitas Tadulako.[30] 

 

 


[1] Het Encyclopaedisch Bureau Aflevering II. Mededeelingen van het Bureau Voor de Bestuurzaken Der Buitenbezittingen, N.V. Electrische Drukkerij, 1912, hlm. 127.

[2] Sekolah ini juga dikenal dengan sebutan Sekolah Ongko Loro (Tweede Klasse School), yang banyak didirikan di distrik-distrik. Lama belajar di sekolah ini tiga tahun, dengan menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa pengantar. Sekolah ini disediakan untuk anak-anak pribumi golongan menengah, dengan kurikulum yang sangat sederhana, yakni membaca, menulis dan berhitung. Setelah tahun 1901, sekolah ini mengalami perkembangan, yakni dari lama studi yang sebelumnya 3 tahun menjadi 5 tahun, serta penambahan pelajaran pendidikan jasmani. Gusti Muh. Prayudi, Dewi Salindri, Pendidikan Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya tahun 1901-1942, Publika Budaya Vol 1 (3) Maret 2015, hlm. 26. 

[3] M.C. Voorn, Aanvullings Memorie van de Onderafdeeling Paloe, 9 Desember 1925, hlm. 14.

[4] Sekolah Rakyat atau Volksschool merupakan sekolah yang didirikan di desa, dengan lama studi 3 tahun dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Pengetahuan yang diajarkan adalah membaca, menulis, bahasa Melayu, menggambar dan berhitung. Gusti Muh. Prayudi, Dewi Salindri, Pendidikan Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya tahun 1901-1942, Publika Budaya Vol 1 (3) Maret 2015, hlm. 26. 

[5] Ibid, hlm. 14.

[6] Gani Jumat, Nasionalisme Ulama:Pemikiran Politik Kebangsaan Sayyid Idrus Bin Salim Aljufri 1891-1969. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2012), hlm. 74-75. Lihat juga: Fatma, hlm. 88.

[7] Hasil transliterasi wawancara dengan Tedi Halim, 16 Juni 2021.

[8] Liem Pok Tjin, imigran Cina Katolik asal pulau Pingtan, yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Fujian, China. Pulau Pingtan sendiri masuk ke dalam wilayah Vikariat Apostolik Fujian, yang kemudian menjadi Keuskupan Agung Fuzhou.

Dekrit dikeluarkan Dinasti Qing pada 1 Juli 1900, yang menyatakan bahwa era hubungan baik dengan para misionaris Eropa dan umat kristen telah berakhir dan bahwa para misionaris harus dipulangkan saat itu juga dan umat Katolik dipaksa untuk ingkar, atau akan dibunuh, membuat sebagian besar umat Katolik yang berada di wilayah kota-kota pelabuhan di tenggara Cina, memutuskan untuk melarikan diri ke luar negeri, termasuk Liem Pok Tjin. Liem Pok Tjin melarikan diri menuju nusantara dan mendarat di Borneo (Kalimantan), lalu berpindah ke Makassar, dan pada 1917, tiba di Palu. Hasil transliterasi wawancara dengan Tedi Halim, 16 Juni 2021. 

[9] Tedi Halim, Ibid. THHK merupakan perkumpulan yang berdiri di Batavia pada 1900. Perkumpulan ini mencita-citakan berdirinya sekolah modern bagi orang Tionghoa. Lihat Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, hlm. 74.

[10] J.A. Vorstman, Aanvullende Memorie van Overgave van de onderafdeling Paloe, 28 Februari 1935, hlm. 30.

[11] Vervolg School merupakan sekolah lanjutan dari sekolah desa (Volksschool), yang dibuka pada tahun 1916. Lama belajar di sekolah ini dua tahun, dan disediakan untuk murid-murid yang berprestasi baik, dari sekolah desa. Sekolah lanjutan ini setara dengan kelas 4 dan kelas 5 di Sekolah Rendah Kelas Dua, sehingga sekolah ini didirikan di tengah-tengah lingkungan sekolah desa. Sekolah ini disebut sangat jarang peminatnya, di mana sebagian dari sekolah ini, khusus disediakan bagi perempuan yang mendapat tambahan pelajaran membuat kerajinan rumah tangga. Gusti Muh. Prayudi, Dewi Salindri, Pendidikan Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya tahun 1901-1942, Publika Budaya Vol 1 (3) Maret 2015, hlm. 27. 

[12] Vortsman, Op.cit., hlm. 30

[13] B.J. Van den Berg. Nota Inzake de Bestuursopvolging in het Landschap Banawa. 1936

[14] Ibid.

[15] Hasil transliterasi wawancara dengan Tedi Halim, 16 Juni 2021.

[16] Nurhayati Nainggolan dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Tengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1987.

[17] Jan Van Den Eerenbeemt, De Missie Onder De Chinezen, Annalen van Spaarendaal: Maandblad van De Nederlandse Afdeeling van de Missionarisen van Scheut, Vol. 43, Desember 1947, hlm. 170-171.

[18] Ibid, hlm. 171.

[19] Tedi Halim, Ibid.

[20] Siti Zainatul Umara, “Sejarah Sekolah Tionghoa, Korban Rezim yang Diskriminatif”, artikel di Tirto.id, edisi 13 Juli 2021.

[21] Tedi Halim, Op.cit.

[22] Bambang Purwanto, “Pertahankan Ruang Inklusif Bangsa”, opini di Harian Kompas edisi 16 Juni 2021.

[23] Bambang Purwanto, Ibid.

[24] Hasil transliterasi wawancara dengan Tedi Halim, 16 Juni 2021.

[25] Siti Zainatul Umara, “Sejarah Sekolah Tionghoa, Korban Rezim yang Diskriminatif”, artikel di Tirto.id, edisi 13 Juli 2021.

[26] Tedi Halim, Op.cit.

[27] Sembilan warga keturunan Tionghoa yang ditangkap di Palu pasca G30S ini, sebagian besar berprofesi sebagai pedagang. Sebagian lainnya berprofesi sebagai tukang obras, bahkan bekas guru di Chung Hwa Xue Xiao. Sebagian masuk dalam golongan A, B2 dan sebagian besar golongan C. Data Korban 65 di Palu, Koleksi Pribadi, Palu, 2014.

[28] Tim Peneliti, Ringkasan Eksekutif Penelitian dan Verifikasi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 di Kota Palu, SKP-HAM Sulteng, Palu, 2015, hlm. 20. 

[29] Jefrianto, “Gedung Bekas Sekolah Cina: Bukti Eksistensi Masyarakat Keturunan Tionghoa di Kota Palu”, Mercusuar, 8 Februari 2015, hlm. 8.

[30] Ibid.

Post a Comment

0 Comments