Sore, awan mendung menghiasi langit Kota Palu. Angin bertiup
kencang di kawasan pesisir. Terlihat sejumlah perahu nelayan berjejer rapi di
depan sebuah bangunan hotel yang mengalami kerusakan akibat diterjang gempa dan
tsunami, 10 bulan lalu.
Tidak jauh dari pesisir pantai tersebut, tumbuh tanaman
merambat di atas pasir, dengan bunga berwarna ungu. Masyarakat setempat
menyebutnya dengan nama lokal Lalere.
Tanaman ini sendiri, dikenal dengan nama latin Ipomea Pes
Caprae dan sering disebut dengan nama tapak kuda. Laman www.modulbiologi.com
menerangkan, tumbuhan tapak kuda di Indonsia, dikenal dengan berbagai sebutan,
seperti katang-katang (Bali), batata pantai (Manado), tangkatang (Madura),
leleri (Makassar), tilalade (Gorontalo), lalere (Bugis), daun karang (Maluku),
loloro (Halmahera Utara).
Pemerhati mangrove, Hamzah Tjakunu menjelaskan, Lalere
merupakan salah satu tumbuhan perintis.
Menurutnya, di pesisir, tanaman ini dijadikan identitas, mewakili terhadap
semua jenis tumbuhan rumput ataupun rambatan perdu di pesisir.
“Pada pembentukan delta atau gumuk pasir, baik di muara atau
pinggiran pantai, maka yang mulai terbentuk spesies mangrove itu, adalah
tanaman perintis dari satu kesatuan Pes Caprae, yang berfungsi menetralkan
pasir, untuk menghidupkan satu kesatuan tanaman daratan mangrove asosiasi Baringtonia,”
jelas Hamzah.
Penamaan lokal tumbuhan ini oleh masyarakat Suku Kaili
dengan nama Lalere, berkaitan erat dengan sejarah penamaan salah satu kawasan
pesisir di Teluk Palu, yakni Kampung Lere (kini Kelurahan Lere). Arkeolog
Museum Sulawesi Tengah, Iksam menjelaskan, penamaan kawasan di Lembah Palu,
dilakukan berdasarkan tiga aspek, yakni kondisi geologi dan geografi, kondisi
ekologi, serta peristiwa sejarah dan tradisi. Penamaan Kampung Lere sendiri
dari asal kata Lalere, dari penjelasan Iksam tersebut, masuk kedalam aspek penamaan
secara ekologis.
Sejarah penamaan kawasan ini dengan nama Lere, praktis tidak
terekam dalam sejarah Lembah Palu. Belum ditemukan data pasti terkait kapan
kawasan pesisir Teluk Palu yang kini berada dalam kawasan Kelurahan Lere,
dinamakan dengan nama Lere, mengadopsi dari nama tumbuhan merambat yang tumbuh
di pesisir pantai, bernama Lalere. Tokoh masyarakat Kelurahan Lere, Andi
Alimuddin Rauf, ketika ditemui di kediamannya di Jalan Pangeran Hidayat,
Kelurahan Lere, Rabu (31/7/2019), mengatakan, ada sejumlah nama yang sebelumnya
dilekatkan pada wilayah Kelurahan Lere.
Dirinya menyebut sejumlah nama yang dilekatkan dengan
kawasan Kelurahan Lere, seperti Panggona, Panggovia, hingga Lere. Untuk nama
Panggona, Andi Alimuddin Rauf mengaku tidak lagi mengetahui arti dan makna dari
penamaan Panggona tersebut.
Terkait kapan nama ini digunakan, Koordinator Komunitas
Historia Sulawesi Tengah (KHST), dalam tulisan berjudul ‘Sirkuit Panggona atau
Sirkuit Kalantaro?’ mengatakan, berdasarkan penuturan masyarakat yang mendiami
Kelurahan Lere, nama Panggona dan Panggovia membumi di abad XVIII, sebagai
daerah yang berada di sekitar wilayah Siranindi (Tangga Banggo), Bungi dan
Boyantongo (Kampung Baru) saat ini. Nama tersebut, kemudian terdegradasi dengan
adanya penyebutan Kampung Lere, dikarenakan banyaknya vegetasi pantai, yang
oleh masyarakat Kaili, disebut sebagai tumbuhan Lere di sepanjang pantai. Sejak
saat itu, nama Ponggavia dan Panggona, hilang dan tergantikan oleh Kampung
Lere.
Jika merujuk pada keterangan ini, penggunaan nama Panggona
ini, dapat dikatakan mulai digunakan pada tahun 1600-an, atau pada masa di mana
mubaligh asal Minangkabau, Abdul Raqie gelar Dato Karama, datang ke Lembah
Palu. Namun, pada catatan tentang kedatangan Dato Karama dalam buku De
Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes karya etnolog Albert C Kruyt dan
ahli linguistik N Adriani, nama Panggona sebagai nama untuk kawasan di sisi
barat Sungai Palu, tidak disebutkan. Dalam buku tersebut hanya disebutkan, anak
dari penguasa Palu, Pue Nggari, yakni La Patau, setelah ayahnya meninggal,
memindahkan pusat kekuasaan dari Pandapa (kini wilayah Besusu Barat), ke
wilayah pantai di lokasi Palu saat ini (tahun 1912, tahun penerbitan buku
red.). Di periode itu, pusat pemerintahan Palu sendiri, diketahui berada di
wilayah Lere (Panggona).
La Patau sendiri, dalam buku tersebut, disebutkan merupakan
orang pertama yang memeluk Islam di Lembah Palu, setelah disunat oleh Dato
Karama, sebagai nazar dari Pue Nggari, saat anak laki-lakinya tersebut sembuh,
setelah diobati oleh Dato Karama. Migrasi La Patau ini, jika dianalisa, dapat
disinyalir sebagai kelompok masyarakat pertama yang mendiami kawasan sisi
sebelah barat muara Sungai Palu tersebut.
Nama Panggona ini melekat pada kawasan Lere, setidaknya
hingga masa pemerintahan Magau Yodjokodi, pada periode akhir 1800-an atau akhir
abad ke 19. Hal ini terlihat pada buku De West-Toradjas op Midden-Celebes yang
terbit pada 1938, yang telah menyebutkan nama Lere, sebagai nama untuk kawasan
tersebut.
Yodjokodi sendiri, diketahui merupakan Magau Palu yang
memindahkan pusat pemerintahan, dari Siranindi (Tangga Banggo) ke wilayah Lere,
dengan membangun Banua Oge (Souraja), sebagai rumah kediaman untuk calon
penerus tampuk kepemimpinan, Parampasi.
Souraja dibangun pada tahun 1892. Pembangunan Souraja dikepalai oleh Amir Pettalolo, menantu dari Yodjokodi. Dalam pembangunan Souraja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari Banjar sehingga nampak corak Banjar di bangunan tersebut. Bangunan rumah panggung ini sendiri, terbukti tahan terhadap bencana. Hal ini terlihat saat gempa melanda kawasan tersebut 28 September 2018 lalu, Banua Oge tidak mengalami kerusakan.
Souraja dibangun pada tahun 1892. Pembangunan Souraja dikepalai oleh Amir Pettalolo, menantu dari Yodjokodi. Dalam pembangunan Souraja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari Banjar sehingga nampak corak Banjar di bangunan tersebut. Bangunan rumah panggung ini sendiri, terbukti tahan terhadap bencana. Hal ini terlihat saat gempa melanda kawasan tersebut 28 September 2018 lalu, Banua Oge tidak mengalami kerusakan.
Andi Alimuddin Rauf menyebutkan, penamaan Lere ini bukan
tanpa alasan. Dirinya menyebut kawasan pesisir pantai di wilayah Lere tersebut,
di masa lalu memang ditumbuhi banyak tumbuhan Lalere. Tumbuhan ini kata dia,
tumbuh di sepanjang pesisir pantai, mulai dari muara Sungai Palu hingga kawasan
Silae.
Untuk nama Panggovia sendiri, Andi Alimuddin Rauf
menyebutkan, berdasarkan keterangan dari ibunya, nama tersebut diberikan karena
kawasan tersebut kerap dijadikan lokasi untuk pelaksanaan ritual adat.
Panggovia sendiri menurutnya, dalam bahasa Kaili diartikan sebagai melaksanakan
atau membuat.
“Ibu saya pernah cerita, karena kawasan Lere ini, dulu juga
merupakan lokasi pelaksanaan ritual adat dalam skala besar, makanya diberi nama
Panggovia. Tapi tidak jelas mulai kapan dinamakan seperti itu,” ujarnya.
Jika merujuk pada keterangan tersebut, dengan posisi Lere
sebagai pusat pemerintahan Palu di masa lalu, statusnya sebagai pusat
pelaksanaan ritual adat, dapat dimungkinkan. Namun, hal tersebut membutuhkan
penelusuran lebih mendalam.
Berkaitan dengan penamaan kawasan di wilayah Lere, sejarawan
IAIN Palu, Moh Sairin mengatakan, kemungkinan lain yang juga layak untuk
didalami adalah, penamaan Panggona, Panggovia, serta Lere, merujuk pada
kawasan-kawasan yang berbeda, bukan hanya untuk satu kawasan saja. Pendapat ini
merujuk pada fakta bahwa tumbuhan Lalere hanya tumbuh di pesisir pantai, yang
terletak cukup jauh dengan lokasi Banua Oge sebagai titik pusat wilayah
tersebut.
Kedua, asumsi tersebut didasarkan pada fakta bahwa di lembah
Palu, satu wilayah besar yang disebut Ngapa atau Ngata, terdiri dari sejumlah
lokus kecil yang bernama Boya. Di Besusu misalnya, terdapat lima Boya, yakni
Boya Vunta, Boya Toi Rangi, Boya Karampe, Boya Polabea dan Boya Masigi.
Hal menarik tentang pembagian ke dalam lokus kecil ini,
dapat dilihat di laman prakiraan cuaca, www.fallingrain.com.
Wilayah yang kini berada di wilayah Kelurahan Lere, dalam situs tersebut,
dibagi dalam tiga wilayah, yakni Panggona, Lere, dan Bahari.
Kawasan Panggona dalam peta tersebut ditandai di sekitar
lokasi Banua Oge, kawasan Bahari ditandai di sekitar kawasan Jalan Diponegoro,
Kelurahan Lere, di lokasi sekitar kampus IAIN Palu, sedangkan kawasan Lere,
ditandai di kawasan yang agak jauh dari pesisir pantai, di kawasan sekitar
Masjid Agung.
Jika di masa kini saja ada pembagian sejumlah lokus kecil
dalam satu kawasan, bukan tidak mungkin kawasan Lere juga mengalami hal yang
sama. Nama Lere, mungkin saja disematkan pada kawasan pesisir pantai, yang
ditumbuhi oleh Lalere tersebut.
Pantauan di pesisir pantai Kelurahan Lere, Kamis (1/8/2019)
lalu, habitat Lalere tidak lagi banyak dijumpai di pantai tersebut. Habitat Lalere
banyak terkonsentrasi di sepanjang kawasan di depan Taman Datokarama hingga kearah
kawasan IAIN Palu. Dari arah depan Taman Dato Karama hingga lokasi muara, hampir
tidak ditemukan jejak Lalere. Habitat Lalere justru banyak ditemukan di Pantai
Besusu, di lokasi-lokasi yang terdampak Tsunami 28 September 2018 lalu.
Dirinya menjelaskan, majunya garis pantai
tersebut, diakibatkan oleh adanya reklamasi di kawasan pesisir tersebut. Reklamasi di kawasan pantai tersebut, terutama di kawasan
muara, seiring dengan pembangunan jembatan IV di periode awal 2000-an, diduga
sebagai salah satu penyebab hilangnya habitat lalere di kawasan tersebut. Secara
umum, habitat mangrove di pantai di kawasan Lere hingga Silae, sedikit demi
sedikit punah, akibat reklamasi pantai, yang menurut sejarawan Maritim Universitas
Tadulako (Untad), Wilman D Lumangino, dilakukan sejak awal tahun 1980.
Bachtiar (67), salah seorang nelayan di Kelurahan Lere
menjelaskan, garis pantai pesisir Kelurahan Lere saat ini, bukanlah garis
pantai yang ada sebelumnya. Dirinya menyebut, garis pantai sebelumnya, berjarak
sekitar 100-200 meter dari garis pantai saat ini.
“Dulu pantai itu di belakang SPBU ini. Dulu belum ada rumah
di sini (Bachtiar menunjuk lokasi reruntuhan rumah yang hancur dihempas tsunami
red.),” jelas Bachtiar seraya menunjuk lokasi jalan di belakang SPBU Jalan
Cumi-cumi, sebagai lokasi pantai sebelumnya.
Menurut Wilman dalam laporan Pengembangan Diorama ‘Kaili
Tour’ Dalam Perspektif Sejarah, pada tahun 1970-an, kawasan pantai Lere hingga Silae,
atau yang dikenal dengan sebutan pantai Taman Ria, masih merupakan areal hutan
bakau yang lebat di sepanjang pantai. Reklamasi baru dilakukan awal tahun 1980,
atas desakan masyarakat sekitar, untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai lokasi
wisata.
Setelah reklamasi dilakukan, pemerintah membangun sebuah
taman rekreasi yang dinamakan Taman Ria, dengan berbagai wahana permainan anak,
juga sebuah baruga. Pada tahun 1990-an, wajah kawasan pantai ini kembali
berubah, di mana mulai didirikan kafe-kafe yang mengakomodir kebutuhan para
pengunjung pantai. Konsentrasi pengunjung di pantai saat itu, memang lebih
banyak di antai yang terletak di Kelurahan Silae, atau di sisi sebelah barat
Palu Grand Mall saat ini. Kawasan pantai yang dinamakan Taman Ria sendiri, lebih
identik dengan lokasi kawasan pantai di Kelurahan Silae tersebut.
Kawasan pantai di wilayah Lere, lebih identik dengan nama Pantai
Talinti. Hal in ditegaskan oleh Andi Alimuddin Rauf. Penamaan Talinti ini
tercatat dalam peta kawasan Palu tahun 1906, yang dibuat oleh Albert C Kruyt. Hal
yang menarik, hanya peta tersebut yang mengidentifikasi kawasan pantai yang saat
ini dinamakan wilayah Lere. Besar kemungkinan, kawasan tersebut tidak
diidentifikasi, karena tidak dilalui oleh ruas jalan. Ruas jalan di kawasan
pantai, terutama untuk kawasan Lere, baru dibuka saat pengerjaan jembatan Palu
IV.
Kehadiran habitat Lalere di pesisir pantai kawasan Kelurahan
Lere, sebagai bagian dari penamaan kawasan tersebut, merupakan bukti bahwa
masyarakat lokal Kaili, adalah masyarakat yang peduli dengan lingkungan
sekitarnya. Nama Lalere yang ternyata juga merupakan penamaan lokal tumbuhan Tapak
Kuda tersebut menurut bahasa Bugis, menunjukkan adanya potensi akulturasi
budaya, dilihat dar segi bahasa dan menjadi penanda interaksi antar entitas di
kawasan pesisir, yang memang merupakan kawasan urban.
0 Comments