Cina Kaili: Catatan Awal Tionghoa di Palu

Cina Kaili: Catatan Awal Tionghoa di Palu

FOTO: Peta wilayah Palu tahun 1938. FOTO: KITLV 

Eksistensi masyarakat Tionghoa menghadirkan perubahan bidang ekonomi dan sosial di Kota Palu. Kemampuan mereka membangun identitas baru, yang mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat, dan dalam prosesnya terus melakukan transformasi ke dalam keseluruhan struktur sosial yang ada di dalamnya, menjadi salah satu alasan eksistensi mereka hingga hari ini.

Orang Tionghoa di Palu, telah ada sejak pertengahan abad XIX. Mereka masuk melalui Wani, tetapi yang paling umum berasal dari Donggala.[1] Sebagian besar dari mereka juga berasal dari Surabaya, Banjar, Makassar, dan Manado.[2] Pada akhir abad tersebut, orang Tionghoa di Palu mulai mendapat tempat sebagai pedagang.[3] Pada awal abad XX, Palu sebagai sebuah kerajaan, dihuni oleh berbagai suku bangsa. Ada orang Bugis, Mandar, Manado, Minahasa, Melayu, Minang, Banjar, Arab dan Tionghoa. Mereka telah beranak pinak di Palu, telah beberapa generasi, bahkan telah berhasil membangun kehidupan sosial ekonomi yang kuat. Menariknya lagi, secara kultural, sebagian besar dari para pendatang tersebut telah menjadi bagian dari masyarakat Kaili, yang merupakan masyarakat mayoritas di wilayah Palu. Menjadi Kaili adalah salah satu cara mereka untuk dapat hidup damai dan layak di negeri asing seperti Palu.[4]

Menjadi Kaili sendiri, sebagai salah satu cara masyarakat tempatan, salah satunya masyarakat Tionghoa, untuk dapat hidup damai dan layak di wilayah Palu, merupakan bukti upaya mereka membangun identitas baru, yang mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat dan transformasi ke dalam struktur sosial setempat. Upaya membangun identitas baru ini sendiri, salah satunya dilakukan melalui metode perkawinan, di mana para perantau dari Cina yang datang ke Palu, menikahi penduduk setempat, untuk meleburkan diri ke dalam struktur sosial setempat, sehingga dapat memiliki akses untuk hidup damai dan layak, dengan cara berdagang.[5]

Misionaris Katolik yang bertugas di Makassar pada 1939, Jan Van Den Eerenbeemt menyebut, orang Tionghoa menempati tempat penting di antara masyarakat Indonesia. Bukan karena jumlah mereka, tetapi karena partisipasi mereka yang beragam di semua cabang industri, perdagangan dan industri. Mereka membentuk kelas menengah yang kuat dan mengendalikan hampir semua broker, mempraktikkan semua perdagangan, dan memiliki pengaruh besar, karena semangat mereka untuk bekerja, berhemat dan ketangkasan. Mereka disebut sebagai elemen kedamaian, ketertiban dan kemakmuran, di mana-mana di antara penduduk.[6]  

Cara lain masyarakat Tionghoa di Kota Palu untuk membangun identitas baru dalam struktur sosial masyarakat lokal adalah lewat jalur pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah Chung Hwa Xue Xiao[7] yang tidak hanya menerima siswa keturunan Tionghoa, tetapi juga siswa dari masyarakat lokal dan masyarakat tempatan lainnya, yang bermukim di sekitar kawasan tempat tinggal masyarakat Tionghoa di Kota Palu.[8] Kebijakan membuka akses pendidikan seluas-luasnya ini, membuat masyarakat Tionghoa mampu mendefinisikan posisi mereka yang membuat mereka diterima dengan baik oleh masyarakat lokal serta masyarakat tempatan lainnya di Kota Palu.    

Pada awal abad XX, Palu telah menjadi salah satu kota yang sering kali disinggahi oleh kapal-kapal Koninklink Paketpaart Maskapij (KPM). Sejak tahun 1920, Palu menjadi salah satu pusat penampungan kopra di Lembah Palu.[9] Sehingga bersama-sama dengan Donggala, Palu selalu dikunjungi kapal-kapal KPM. Sudah pasti pula, bahwa para pendatang mulai datang berbondong-bondong untuk datang bermukim dan berusaha di daerah ini. Keragaman penduduk makin terasa. Orang Minahasa datang atas keinginan Pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi guru di Palu.[10] Orang Cina dan Arab datang untuk untuk berdagang. Begitu juga dengan orang Melayu dan Banjar. Namun sebagian orang Banjar membuka usaha menjahit pakaian di Bambaru, sekitar pasar dan Ujuna.[11]

Pada tahun 1930, jumlah masyarakat Tionghoa di Onderafdeeling Palu mencapai 433 jiwa, terdiri dari 261 laki-laki dan 172 perempuan. Jumlah ini hanya mencapai 0.62 persen dari total penduduk Onderafdeeling Palu saat itu, yang mencapai 69.610 jiwa. Namun, jika dibandingkan dengan kelompok orang asing lainnya, seperti orang Eropa dan orang Timur Asing (Arab dll) di Onderafdeeling Palu, jumlah masyarakat Tionghoa relatif dominan, yakni mencapai 60.7 persen dari total kelompok orang asing di Onderafdeeling Palu yang mencapai 713 jiwa. Kemudian, jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Afdeeling Donggala, seperti Donggala, Tolitoli dan Buol, jumlah masyarakat Tionghoa di Onderafdeeling Palu hanya unggul dari Buol (429 jiwa) dan kalah masing-masing dari Donggala (698 jiwa) dan Tolitoli (612 jiwa). Dari total masyarakat Tionghoa di Afdeeling Donggala yang mencapai 2172 jiwa, hanya sekitar 19.93 persen masyarakat Tionghoa yang bermukim di Onderafeeling Palu.[12] Secara umum di Indonesia, jumlah masyarakat Tionghoa pada tahun 1930 hanya mencapai 2.3 persen dari total penduduk.[13]  

Sebagaimana dengan sebutan sebagai Onderafdeeling, maka penduduk yang masuk wilayah itu adalah penduduk tiga landschaap yaitu Palu, Sigi-Dolo, dan Kulawi. Total keseluruhan penduduk wilayah Sigi Dolo adalah 25.237 jiwa, dengan jumlah orang Tionghoa mencapai 63 jiwa. Kemudian untuk wilayah Koelawi (Kulawi) yang terbagi atas District Noord-Koelawi (Kulawi Utara) dan District Zuid Koelawi (Kulawi Selatan), penduduknya berjumlah 11.114 jiwa, dengan jumlah orang Tionghoa mencapai 39 jiwa. Adapun jumlah penduduk Palu pada tahun itu (1930) mencapai 33.259 hanya 47,78 persen dari keseluruhan penduduk Onderafdeeling, dengan jumlah orang Tionghoa mencapai 331 jiwa atau hanya 0.99 persen dari keseluruhan penduduk landschaap Palu.[14]

Wilayah Palu sendiri terbagi atas dua distrik yakni distrik Oost Paloe (Palu Timur) dan Distrik West Paloe (Palu Barat). Distrik Palu Timur terdiri atas Lere, Baroe, Kamodji, Bandjar, Oedjoena, Loloe, Besoese, Talise, Tatoera, Tanamodindi I, Lasoani, Kawatoena, Poboja, Watoesampoe, Boeloeri, Tipo, Silae, Kabonena, Kalora, Tanamodindi II. Distrik Palu Barat terdiri atas Donggala-Ketjil, Balaroa I, Doejoe, Bojaoge, Noenoe, Tawandjoeka, Pengawoe, Tinggede, Binangga, Baliase, Balane, Porame, Padende, Sibedi, Beka, Bomba, Lebanoe, Balaroa II, Pobolobia, Rondingo, Pompanesibadja, Tomodo, Damgaraa, Gimpoebia, Palenteema, Bambakamini, Wawoegaga, Ongoelara, Bambakaino, Malino, Loemboelama, Soi, Domboe, Ongoelero, Wiapore, Mantantimali, Taipangabe, Wajoe, Doda, Daenggoeni, Tondo, Kawole, Kasiromoe.[15]

Wilayah Oedjoena (Ujuna) sendiri yang disebut sebagai wilayah konsentrasi pemukiman masyarakat Tionghoa di Palu, jumlah penduduknya mencapai 828 jiwa, dengan mayoritas penduduk adalah Suku Kaili berdialek Ledo.[16] Jika total 331 jiwa orang Tionghoa di Palu semuanya bermukim di Ujuna, maka dari total 828 jiwa penduduk Ujuna pada 1930, persentase orang Tionghoa yang tinggal di Ujuna mencapai 39.97 persen. Pemerintah Hindia Belanda sendiri melokalisir pemukiman masyarakat tempatan, berdasarkan kelompok etniknya masing-masing. Wilayah Ujuna misalnya, diperuntukkan sebagai kawasan pemukiman bagi masyarakat Tionghoa, wilayah Bandjar diperuntukkan bagi orang Banjar, wilayah Baroe dan Kamondji yang diperuntukkan bagi orang Arab, wilayah Loloe (Lolu) bagi orang Minahasa dan Eropa, serta wilayah Lere dan Besoesoe (Besusu) dan kawasan pesisir, bagi masyarakat keturunan Bugis, Makassar dan Mandar. Masing-masing kelompok etnik memiliki pemimpin yang disebut sebagai kapitan/kapten.[17]

Upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk melokalisir kawasan pemukiman berdasarkan kelompok etnik ini, nyatanya tidak mampu membendung pembauran yang terjadi antar kelompok etnis di Palu, terutama antara masyarakat lokal dan masyarakat tempatan. Niatan untuk menempatkan masyarakat tempatan di kawasan pusat kota, agar tidak berbaur dengan penduduk lokal yang bermukim di pinggiran kota, nyatanya tidak berhasil. Masyarakat lokal Palu yang mayoritas adalah Suku Kaili berdialek Ledo, membaur dengan masyarakat tempatan, termasuk masyarakat Tionghoa.

Pembauran ini dapat dilihat dari kemampuan masyarakat Tionghoa di Kota Palu, untuk menggunakan bahasa daerah setempat, yakni bahasa Kaili dengan cukup fasih, sebagai bahasa sehari-hari. Kemampuan berbaur masyarakat Tionghoa ini, diyakini sebagai salah satu upaya untuk membentuk identitas baru, yang mendefinisikan posisi mereka dalam masyarakat dan transformasi ke dalam struktur sosial setempat, sehingga mereka memiliki akses terhadap keamanan dan pangsa pasar yang lebih luas untuk memasarkan barang dagangannya. Kemudian, kawasan tempat tinggal mereka yang tidak jauh dari pasar, selain memudahkan mereka untuk berdagang, juga memiliki fungsi lain yakni sebagai sarana pembauran mereka dengan masyarakat lokal dan masyarakat tempatan lainnya.

Jan Van Den Eerenbeemt menyebut, sebelum Jepang menjajah Cina pada 1931, hak-hak masyarakat Tionghoa di Hindia sangat terbatas. Mereka harus tinggal di lingkungan mereka sendiri, dengan jalan-jalan dan daerah kumuhnya, toko-toko dan kuil-kuilnya. Keterbatasan ini juga diperparah dengan tidak adanya tindakan yang diambil oleh pemerintah pada pendidikan. untuk pemuda Tionghoa. Namun, ketika Cina dijajah oleh Jepang pada 1931 dan berperan dalam politik dunia, orang Tionghoa di Hindia juga mulai membela hak-hak mereka. Gerbang pembatasan lingkungan dibuka dan pembatasan pergerakan mereka dicabut. Selain itu, sekolah untuk masyarakat Tionghoa juga mulai dibuka.[18]

Orang Tionghoa yang bermukim di Palu, sebagian besar menekuni pekerjaan sebagai pedagang. Salah satunya Ban Soen, yang memiliki pabrik es, juga penggilingan padi dan jagung. Masyarakat Palu disebut memanfaatkan penggilingan ini dengan baik, dengan 10 persen dari hasil penggilingan sebagai upah pengupasan atau penggilingan.[19] Masyarakat Tionghoa di Palu juga memproduksi gerobak yang dihargai 160 gulden.[20] Para pedagang Tionghoa ini sebagian besar memilih berjualan di Pasar Bambaru, yang terletak tidak jauh dari kawasan pemukiman mereka. Mereka menjual berbagai macam komoditas, seperti sarung, minyak tanah, garam[21] hingga kopra.[22] Mereka menyewa toko dari para bangsawan dan pedagang lokal di kompleks pasar tersebut.[23] Para pedagang Tionghoa ini mendapat julukan Toke (Tauke) Cina oleh masyarakat setempat.[24] Selain berdagang, sebagian orang Tionghoa di Palu juga memiliki ketertarikan pada bidang lainnya, misalnya pertambangan. Beberapa orang Tionghoa dan Jepang misalnya, menunjukkan minat pada mika di dekat Towoeloe dan di atas Poboja (Poboya), juga menggali tanah belerang di mata air panas Bora.[25] Masyarakat Tionghoa di Palu juga dikenakan pajak (belasting) oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1934 misalnya, jumlah pajak pemerintah yang dikumpulkan dari masyarakat Tionghoa di Palu mencapai 2953.54 gulden.[26]  

Pergerakan masyarakat Tionghoa di Kota Palu dalam sektor perdagangan, membuat khawatir sejumlah organisasi politik di Kota Palu pada masa itu, salah satunya adalah Sarekat Islam (SI). SI kemudian mencoba merangkul para pedagang yang berasal dari bangsawan lokal, Arab, hingga Melayu, untuk bergabung bersama mereka, dalam upaya menjaga persaingan dengan para pedagang Tionghoa.[27] Namun, pergerakan SI ini sendiri, tidak berdampak pada lahirnya sentimen anti Tionghoa di Palu, karena kemampuan masyarakat Tionghoa di Palu untuk membaur dengan masyarakat lokal dan masyarakat tempatan lainnya di Palu.  



[1] Fatma. Bulonggo: Perubahan Pola Pewarisan Dalam Keluarga Saudagar dan Bangsawan Kaili di Palu 1920-1992. Tesis Departemen Sejarah FIB UGM, Yogyakarta, 2016, hlm. 132. hlm. 132

[2] Daerah asal para imigran Tionghoa ini, kemudian melekat menjadi penyebutan atau pengelompokan masyarakat Tionghoa di Kota Palu, seperti Cina Surabaya, Cina Donggala, Cina Banjar, Cina Makassar dan Cina Manado. Hasil transliterasi wawancara dengan Jhon Tanod (60), 16 Juni 2021.

[3] Fatma, Op.cit, hlm. 132.

[4] Fatma, Ibid, hlm. 40.

[5] Hasil transliterasi wawancara dengan Mohammad Ceng Putong (63), 17 Juni 2021. Ceng merupakan warga peranakan Tionghoa yang menikah dengan warga lokal pada tahun 1980 dan kini bertansformasi menjadi warga lokal dengan berjualan makanan.

Perkawinan campur antara orang Tionghoa dan masyarakat lokal ini menghasilkan apa yang disebut masyarakat peranakan. Masyarakat peranakan ini biasa disebut dengan sebutan Cina Kaili. Hasil transliterasi wawancara dengan Namin (83) di Desa Lombonga, Kecamatan Balaesang, Kabupaten  Donggala, 27 Maret 2021. Lihat juga: Leo Suryadinata, Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Wacana Vol. 1 No. 2, Oktober 1999, hlm. 224. 

[6] Jan Van Den Eerenbeemt, De Missie Onder De Chinezen, Annalen van Spaarendaal: Maandblad van De Nederlandse Afdeeling van de Missionarisen van Scheut, Vol. 43, Desember 1947, hlm. 170.   

[7] Chung Hwa Xue Xiao didirikan sekitar tahun 1930, di atas sebuah lahan seluas sekira 4000 m2, di wilayah Ujuna, yang merupakan kawasan pemukiman masyarakat Tionghoa di Palu.[7] Sekolah ini didirikan oleh Liem Pok Tjin, imigran Cina asal Pulau Pingtan, yang bermigrasi ke Palu sekitar 1917. Lokasi berdirinya sekolah itu, kini masuk ke dalam wilayah Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, tepatnya di Jalan Gajah Mada Lorong Bhakti.

[8] Hasil transliterasi wawancara dengan Tedi Halim (60) di Palu, 16 Juni 2021

[9] BPAD Sulawesi Selatan, Arsip Pemerintah Propinsi Sulawesi 1950-1960, No. Reg. 269. “Laporan Keamanan Tahun 1956”.

[10] Guru-guru asal daerah Sulawesi Tengah merupakan keluaran dari sekolah pendidikan Guru untuk mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah pada waktu itu belum ada. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga guru maka pemerintah berusaha mendatangkan tenaga dari luar daerah terutama dari Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku. Hingga tahun 1920-an mereka yang menjadi guru mengajar pada sekolah-sekolah di Sulawesi Tengah adalah tamatan kelas 5 dari sekolah Gubernemen kelas dua atau vervogschool. Mereka yang datang mula-mula sekali adalah dari Sulawesi Utara dan Maluku kemudian menyusul dari Sulawesi Selatan.” Nurhayati Nainggolan dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Tengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1987, hlm. 55. Lihat juga: Fatma, hlm. 43.

[11] Fatma, hlm. 43. Adapun jumlah orang Banjar yang bermukim di wilayah Landschaap Palu mencapai 159 jiwa. Oleh pemerintah kolonial, mereka bahkan dilokalisir ke dalam sebuah kawasan khusus bernama Bandjar, yang terletak bersebelahan dengan wilayah Ujuna (wilayah Kompleks Pasar Bambaru saat ini). Lihat: J. A. Vorstman, Aanvullende Memorie van Overgave van de onderafdeling Paloe, 28 Februari 1935, hlm. 39.

[12] Volkstelling 1930 Deel V, Inheemsche Bevolking Van Borneo, Celebes, De Kleine Soenda Eilanden en De Mollukken. Departement van Economische Zaken. Landsdrukkerij. Batavia, 1930, hlm. 122.

[13] Leo Suryadinata, Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Wacana Vol. 1 No. 2, Oktober 1999, hlm. 223. 

[14] Volkstelling 1930 Deel V Inheemsche Bevolking Van Borneo, Celebes, De Kleine Soenda Eilanden en De Mollukken. Departement van Economische Zaken. Landsdrukkerij. Batavia, 1930, hlm. 134.

[15] J.A. Vorstman, Aanvullende Memorie van Overgave van de onderafdeling Paloe, 28 Februari 1935

[16] J.A. Vorstman, Aanvullende Memorie van Overgave van de onderafdeling Paloe, 28 Februari 1935, hlm. 39.

[17] Kapitein atau Kapitan, berasal dari bahasa Spanyol untuk kapten. Kapitan adalah sebuah gelar yang diberikan kepada kepala kelompok ras. Seorang kapitan diberikan kekuasaan oleh pemerintah kolonial untuk mengatur urusan kelompok ras tersebut, yang berkenaan dengan agama dan adat istiadat. Kapitan juga diharapkan untuk menyelesaikan pertikaian di antara kelompok rasnya, sehubungan dengan hukum adat. Leo Suryadinata, Negara dan Minoritas Tionghoa di Indonesia, Wacana Vol. 1 No. 2, Oktober 1999, hlm. 227.  

[18] Jan Van Den Eerenbeemt, De Missie Onder De Chinezen, Annalen van Spaarendaal: Maandblad van De Nederlandse Afdeeling van de Missionarisen van Scheut, Vol. 43, Desember 1947, hlm. 170-171.

[19] Ibid, hlm. 27.

[20] Ibid, hlm. 31.

[21] M.C. Voorn, Aanvullings Memorie van de Onderafdeeling Paloe, 9 Desember 1925, hlm. 13

[22] Fatma, hlm. 133

[23] Fatma, hlm. 136.

[24] Fatma, hlm. 70. Catatan kaki No. 4.

[25] Vorstman, Op.cit, hlm. 27.

[26] Ibid, hlm. 34. 

[27] Fatma, Op.cit, hlm. 132  

Post a Comment

0 Comments