Malam mulai menerawang di pesisir
Teluk Tambu. Di kejauhan, siluet pulau Pasoso berlatar langit senja kemerahan,
masih Nampak, dinikmati dengan mata telanjang. Laut malam itu tenang, dengan
sinar bulan yang terang, dengan angin sepoi yang bertiup dari utara.
Di pesisir pantai yang terletak
di Dusun Mapaga, Desa Labean, Kecamatan Balaesang, Kabupaten Donggala ini,
sejumlah tenda berdiri. Api unggun dinyalakan untuk mengusir dinginnya malam.
Piknik sejarah, begitu Mohammad Isnaeni “Neni” Muhidin menyebut keramaian kecil
di pesisir pantai itu.
Dirinya bersama belasan anak
muda, sejak Rabu (14/8/2019) sore, sudah berada di Pantai Mapaga, setelah
melewati jarak seratusan kilometer arah utara Palu, berbelok kiri dari kompleks
pasar Labean, menyusuri jalan berbatu, sebuah sungai kecil, meniti jembatan
kayu yang hanya muat dilintasi motor, hingga tiba di tepi pantai, tidak jauh
dari perumahan nelayan yang dibangun di pesisir. Sejak mereka tiba, anak-anak
di dusun itu sudah berkumpul dan membaca buku sampai malam tiba, dengan
penerangan lampu darurat yang lumayan terang.
Orangtua anak-anak itu, atau
kakek dan nenek mereka, ikut larut dalam obrolan tentang peristiwa gempabumi
dan tsunami yang menerjang kampung mereka 51 tahun lalu, 15 Agustus 1968.
"Itu hari Kamis," kata
Djamil, Kepala Desa Labean yang saat peristiwa itu baru berusia 4 tahun.
Sarman, bapak yang lain menimpali. "Sama seperti sekarang. Besok juga Kamis."
Angin kencang yang sesaat, tiba-tiba lewat di tempat itu dan menerbangkan dua
dari empat tenda yang terpasang. Tidak ada yang bicara. Suasana seketika
hening. Angin sesaat itu berlalu.
Sarman melanjutkan kisah bapaknya
yang nelayan. Saat peristiwa Mapaga 1968 bapaknya adalah salah satu dari
ratusan korban jiwa. Sarman baru empat bulan saat itu. Dia hanya bisa melihat
wajah bapaknya dari foto keluarga.
Tsunami yang di sana disebut
Lembotalu, tidak terjadi saat gempabumi pada Jumat petang (28/9/2018), namun
warga menyaksikan gelombang aneh yang pecah di tengah teluk kecil, tidak jauh
dari pesisir di dusun mereka itu.
Saat gempabumi pertama di pukul 3
sore, warga sudah mengungsi. Ingatan peristiwa Mapaga 1968 ikut menyelamatkan
mereka dan seluruh warga, tidak hanya di Kecamatan Balaesang, tapi di sepanjang
pesisir Pantai Barat Kabupaten Donggala. Tidak banyak warga yang tertinggal
saat gempabumi mengguncang hebat di pukul 6 petang. Tidak ada korban jiwa di
sana.
Obrolan dengan warga berakhir
pukul 22.00 WITA. Masih tertinggal beberapa warga yang melanjutkan obrolan.
Anak-anak harus pulang karena harus istirahat dan keesokan paginya sekolah.
Agustus 1968, tahun kelima
setelah Provinsi Sulawesi Tengah berdiri, dua gempa dan tsunami
meluluhlantakkan kawasan pantai barat Kabupaten Donggala. Akibat bencana ini,
Pulau Tuguan di lepas pantai Sojol, hilang tersapu tsunami.
Surat kabar Nieuwsblad van het
Noorden edisi 23 Agustus 1968, dalam beritanya terkait gempa dan tsunami, yang
meluluhlantakkan kawasan pantai barat Kabupaten Donggala tahun 1968 mencatat,
ada dua periode gempa bumi yang disertai tsunami, dalam selang waktu empat
hari, menghajar kawasan tersebut, yakni 10 dan 15 Agustus. Hal ini juga
tercatat dalam dalam Newsletter, Vol. I No. 3 (5 September 1968), yang
diterbitkan International Tsunami Information Center di Hawaii, di mana
tercatat dua kali gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 1968, sebagaimana
dikutip dari Historia.Id.
Dari sumber yang
sama, terungkap pada 10 Agustus 1968, terjadi gempa bermagnitudo 7,3 dengan
pusat gempa di Laut Sulawesi. Surat kabar Nieuwsblad van het Noorden sendiri
menjelaskan gelombang pasang (tsunami) menyebabkan 500 orang hilang, setelah
gelombang pasang tersebut melanda pulau Tuguan (dekat Panggalasiang) di lepas
pantai barat laut Sulawesi. Gelombang ini adalah hasil dari gempa bumi kuat
yang melanda daerah itu sejak 10 Agustus.
Masih dari surat kabar yang sama
disebutkan, pada awal minggu, Departemen Sosial di Jakarta mengumumkan bahwa
200 orang telah tewas dalam gempa bumi pada 15 Agustus di daerah pesisir
Donggala di Sulawesi Tengah.
Majalah Tempo pada 1978
memberitakan, tsunami yang menghantam Pantai Donggala, Teluk Mapaga, dan Pulau
Tuguan setinggi 8-10 meter, melabrak pantai sampai sejauh 300 meter. Akibatnya
800 rumah hancur dan 200 orang meninggal dunia.
Gempa kedua terjadi pada 14
Agustus 1968 bermagnitudo 7,4, dengan pusat gempa di Laut Sulawesi. Kantor
berita Antara melaporkan, gempa ini menghasilkan gelombang tsunami besar yang
mengakibatkan Pulau Tuguan tenggelam sepenuhnya dan menghilang.
Petugas polisi yang dikirim dari
mercusuar Mangalihat di Pulau Borneo tidak menemukan jejak Tuguan atau
penduduknya. Gempa bumi juga mengakibatkan gunung berapi di Pulau Sangihe dan
Talaud di ujung utara Pulau Sulawesi mulai bergemuruh dan mengeluarkan asap.
Tiga minggu kemudian, gempa kecil
masih terus terjadi dan aktivitas gunung berapi di Talaud dan Sangihe mengancam
200.000 orang yang tinggal di pulau itu. Pihak berwenang pun meminta kapal
untuk membantu evakuasi warga.
Sejarawan IAIN Palu, Mohammad
Sairin menceritakan, DPRD-GR Sulawesi Tengah dalam sidangnya pada tahun
tersebut, mengusulkan kepada pemerintah pusat, agar Tsunami Mapaga ditetapkan
sebagai Bencana Nasional. Pegiat literasi kebencanaan, Muh "Neni"
Isnaeni Muhidin, dalam tulisan Literasi Bencana (26) menyebutkan, Gubernur
Sulteng saat itu, Moh Jasin, yang baru empat bulan dilantik, juga turun
meninjau langsung lokasi tsunami di Mapaga.
Neni menjelaskan, peninjauan
mantan Komandan Korem 132/Tdl ini ke lokasi bencana, terekam dalam sebuah foto
arsip yang diolah kembali oleh Kukuh Ramadhan. Dalam foto ini, tampak
Jasin sedang berada di atas perahu saat meninjau lokasi kejadian.
Sementara itu sejarawan Untad,
Wilman D Lumangino mengatakan, saat meninjau rencana pembangunan dermaga dan
jembatan di Labean dan Tambu, pada Oktober 1973, Gubernur Sulawesi Tengah saat
itu, Albertus Maruli Tambunan, meninjau langsung lokasi bekas bencana tsunami
di Dusun Mapaga, Desa Labean, Kecamatan Balaesang.
Tsunami 1968 di Sirenja kata
dia, tsunami disebut "lembotalu" yang memiliki arti air laut
bergelombang tiga. Tsunami menurut warga setempat, selalu datang dengan tiga
gelombang.
Kosakata lembotalu ini kata dia,
dipengaruhi oleh bahasa Mandar, Lembong Tallu. Sirenja banyak dipengaruhi
Mandar. Dari tradisi lisan, orang Mandar lebih dulu datang daripada orang Bugis
di Sirenja.
“Istilah Lembotalu ini, saya
dengar dari nenekku. Nenekku tahu dari mamanya, orang kaili di Sirenja,” ujar
Sairin.
Rahman Tedi, salah seorang warga
Desa Lombonga, Kecamatan Balaesang menceritakan, pada saat bencana 1968
tersebut, salah seorang warga bernama La Malo, berhasil selamat walaupun saat
itu dirinya dalam keadaan cacat dan tidak bisa berjalan. Menurut Rahman, pada
waktu air laut naik, semua keluarga La Malo lari menyelamatkan diri, tapi naas,
usaha itu tidak membawa hasil. La Malo sendiri berusaha naik ke loteng rumahnya
dan berhasil selamat.
“La Malo sekarang menetap di Desa
Parisan Agung, Kecamatan Dampelas,” ujar Darwin, warga Desa Labean, Kecamatan
Balaesang, yang kini menetap di Desa Parisan Agung, Kecamatan
Dampelas.
Sementara itu, pegiat literasi
kebencanaan, Neni Muhidin menuliskan, seminggu pasca gempa bumi dan tsunami di
Teluk Mapaga, 15 Agustus 1968, Munir Hasir (80), sesepuh di Loli Tasiburi,
Donggala, berangkat kesana menjadi tukang bangunan, yang ikut mendirikan ulang
beberapa bangunan sekolah. Dia lahir enam bulan setelah peristiwa gempa bumi
dan tsunami di Teluk Tomini yang juga terjadi di Teluk Palu pada 20 Mei 1938.
Bencana gempa dan tsunami di
Pantai Barat Donggala, 10 dan 15 Agustus 1968, menjadi memori kolektif
masyarakat di kawasan tersebut. Memori kolektif ini melahirkan kesiapsiagaan
masyarakat terhadap bencana. Neni sendiri menyebut, gempabumi adalah sistem
peringatan dini itu sendiri. Early warning system kata dia, harusnya menyatu
dengan tubuh dan pikiran setiap kita, tentang apa yang harus dilakukan saat
bumi berguncang dan tidak terpaku dalam panik yang berkepanjangan, apalagi
harus menunggu laporan BMKG.
Terkait piknik sejarah ini, Neni
mengatakan, 51 tahun lalu peristiwa Mapaga berlalu. Saya ingin
mengenangnya kembali dan berharap bertemu warga, untuk berdiskusi dan membicarakan
hal-hal sederhana terkait mitigasi atau upaya mengurangi risiko bencana
gempabumi dan tsunami. JEF
0 Comments