Cerita mengenai asal muasal
lembah Palu dari lautan yang kering, telah menjadi cerita turun temurun yang
diwariskan di masyarakat Lembah Palu. cerita rakyat yang dibumbui dengan
pemitosan tersebut, kerap mengilhami penamaan sebuah lokasi, berdasarkan cerita
tersebut.
Etnolog Belanda, Albert Christian
Kruijt dalam bukunya, De West Toradjas Op Midden Celebes, yang terbit di
Amsterdam tahun 1938, pun memberikan perhatian khusus terkait cerita ini.
Dirinya pun mendokumentasikan sejumlah cerita dari masyarakat di lembah Palu,
terkait cerita bahwa lembah Palu adalah bekas lautan.
Menurut Kruijt berdasarkan hasil
dokumentasinya, misalnya di Pakuli, di ujung selatan lembah Palu, dikatakan dahulu
laut biasanya naik ke Gunung Momi yang berada di sekitaran Kulawi. Dalam
catatannya, seorang lelaki tua pernah mengatakan kepadanya, bahwa laut dimulai
dari Sungai Sadaunta, di sebelah selatan Gunung Momi.
Catatan tersebut menjelaskan, di Banawa
di semenanjung Donggala, dikatakan bahwa pada zaman kuno wilayah banawa yang
terletak di lembah, dulu sepenuhnya tertutup oleh air laut. Dirinya juga
mencatat ada hubungan antara fakta bahwa tanah di sana merupakan bekas dasar
laut dan infertilitasnya, sehingga padi tidak tumbuh terlalu baik, dan hanya
jagung yang tumbuh subur di sana.
Kemudian dirinya mencatat, di
Ganti, kerang besar ditemukan di lokasi ketinggian. Di wilayah itu menurutnya
juga ada bukit, yang dinamai nama Polangga Sakaya, atau tempat melabuhkan perahu-perahu
untuk dibawa di darat.
Kruijt juga mencatat, di Sibalaya
dan Sidondo, dikatakan bahwa laut pernah sampai hingga ke Tuva. Kata dia,
lokasi Bora saat ini dulunya tertutup oleh laut, dan orang-orang tinggal di
pegunungan. Di lereng bukit di atas Bora, masih ada batu besar tempat perahu
menempel. Ada banyak tempat di sana, seperti di Mebere di jalan menuju Palu, di
Tovinua, nama lama untuk Tovialo masa kini, di selatan lembah. Di sebelah timur,
dikatakan ombak membasahi bukit, tempat makam Popa (Dayo I Popa), yang terletak
dekat dengan Vatunonju.
Di tepi barat pegunungan
disebutkan, laut mencapai Porame, hingga Kato Wolo, yang terlihat dari desa
Dombu. Dalam cerita rakyat setempat, suatu hari seseorang berkata, Sawerigading
pergi ke Sungai Sombe dengan perahunya, ke tempat ia menambatkan kapal di pantai.
Namun, arus membawa kapal itu, sehingga pecah di tempat yang disebut Tabingga,
tempat di mana bagian tengah dibagi, dan berakhir di dataran berumput yang
disebut Pada ntjakaja atau Padanjakaya.
Saat melakukan perjalanan ke
daerah Pakava, Kruijt mencatat, bukit tersebut (Tabingga) memang agak berbentuk
seperti perahu. Tidak jauh dari sana, dia mencatat, penduduk setempat pernah
menemukan gelang tembaga dan kotak sirih tembaga.
Adapun Kepala Desa Pantonu Asu dan
juru bicara Kruijt saat itu mengklaim, bahwa untuk waktu yang lama, mereka memiliki
serpihan kapal Sawerigading. Ketika ada orang sakit, mereka diberi minum dari
air tempat serpihan ini diletakkan, lalu tak lama kemudian dia pulih. Jika belum
sembuh, si sakit akan disiram dengan air ini. Namun juru bicara Kruijt tersebut
kehilangan serpihan kapal tersebut.
Juru bicara tersebut
menceritakan, ketika Sawerigading kehilangan perahu, ia menarik kudanya ke
pegunungan. Di kaki gunung Ongu ndjiko pomaya (ada yang menyebut gunung Ongudjipomaja,
atau sama dengan Ulajo), ia mengikat kuda tersebut dan naik ke surga. Kuda itu diceritakan
berubah menjadi batu, yang masih ditemukan di sana.
Lanjut Kruijt, di Pakoeli banyak
nama lokal yang digunakan, untuk menunjukkan bahwa dulu ada laut di sana. Dirinya
menyebut misalnya, sebidang tanah disebut Bingge ntasi (tebing laut). Selain
itu ada juga di kawasan rerumputan di wilayah yang sama dengan nama Posompo
sakaya, atau tempat pendaratan perahu, kemudian sebatang pohon tinggi bernama
Tiro ntasi atau memandang laut, padahal saat ini di Pakuli, tidak ada yang bisa
dilihat lagi dari laut.
Kemudian Kruijt menuliskan, dari pot-pot
tanah besar yang ditemukan di sebuah bukit dekat Pulu di bagian selatan lembah,
dikatakan pot-pot tersebut telah dibawa ke sana oleh To Mene atau orang Mandar,
yang akan menggunakan pot-pot ini sebagai wadah air di sampan mereka. Mereka
diceritakan datang dengan kapal-kapal ini ke Pulu melalui laut. Penjelasan yang
sama diberikan dari pot yang ditemukan di tanah di lokasi lain di lembah Palu,
seperti halnya di Pandere, di Kaleke dan di Kawatuna.
Kemudian, saat ini di wilayah
Kota Palu, dapat dijumpai fenomena aneh seperti Pusentasi (pusat laut) di
kawasan Balaroa, kemudian Koordinator Komunitas Historia Sulawesi Tengah
(KHST), Moh Herianto juga menyebutkan, di kawasan Vatutela, Kelurahan Tondo,
juga terdapat sumur yang airnya terasa asin dan permukaannya juga surut, jika
air laut sedang surut. Kemudian arkeolog Museum Negeri Sulteng, Iksam, juga
menemukan fosil Moluska (hewan laut) di dinding tebing di kawasan sekitar
Salubai, Kelurahan Tondo, yang diperkirakan berusia puluhan ribu tahun
lalu.
Jamrin Abubakar, dalam bukunya,
Orang Kaili Gelisah menuliskan, secara geologi, Lembah Palu terbentuk sebagai
proses dari teluk yang mengering. Hal ini diperkirakan dalam kurun/zaman
Pliosen (10 megatahun) atau zaman Miosen (25 megatahun) yang lalu, sebagai
akibat suatu peristiwa geologi.
Masyhuddin Masyhuda yang mengutip
pendapat Abendanon dan Fossa Sarasina, dua petualang dari Eropa yang pernah
melakukan ekspedisi ke Sulawesi Tengah, lebih dahulu menyatakan daerah ini
adalah jalur tektonis, jauh sebelum ahli geologi Indonesia melakukan penelitian
yang kemudian memberi nama sesar Palu-Koro untuk aktivitas gempa bumi paling
rawan di Palu yang jalurnya dari arah selatan (Pipikoro) melintas ke arah utara
(Teluk Palu).
Awal abad 20, Fossa Sarasina,
menyamakan teluk-teluk tersebut (Teluk Palu) dengan zone depresi yang juga
terdapat di Jepang. Menurutnya, kalau di Sulawesi Tengah prosesnya belum
selesai, gempa bumi masih sering terjadi dan tetap aktif. Penyelidikan
tersebut, kemudian popular disebut sesar Fossa Sarasina dan belakangan lebih
dikenal Palu-Koro sebagai identifikasi berdasarkan geografis.
Abendanon sendiri dari hasil
penyelidikannya dengan melihat fakta-fakta geologi yang ditemuinya tentang
kondisi Teluk Palu, berpendapat, daerah ini pernah menjadi suatu danau gunung
dengan dataran Palu di bagian selatan. Suatu hal yang menyolok ialah delta yang
potongan-potongan batu dan sisa-sisa dinding, bersusun di mana bagian atas
delta tersebut telah terbentuk pada waktu danau gunung yang tua itu ada,
kemudian susunan tanah terbentuk setelah gunung runtuh.
Bukti tersebut diperkuat dengan
adanya persamaan batu-batu dasar yang ada di bagian timur teluk (Toaya dan
Dalaka), Kecamatan Sindue dengan bagian barat teluk (Pangga, sebelah selatan
Kabonga), Kecamatan Banawa. Bahkan Abendanon berkesimpulan ujung barat dan
timur Teluk Palu tersebut pernah bersambungan pada bagian utara, diperkirakan
hingga pada periode kuarter tersier (0,01 megatahun) atau dalam kurun Pliosen
(10 megatahun).
Abendanon menemukan, tampaknya
laut telah lebih ke arah selatan daripada sekarang, karena di Dolo terdapat air
tanah payau pada kedalaman 2 meter, sementara di dataran antara Palu dan
Mamboro di sana-sini potongan batu kapur koral.
Berkaitan dengan beberapa kali
peristiwa geologi pada pulau-pulau di Indonesia, termasuk Sulawesi, menarik
disimak apa yang dipaparkan dalam buku Ekologi Sulawesi (1987). Dalam kurun
Miosen ini lempeng Australia bergeser ke utara menyebabkan melengkungnya bagian
timur lengkung Banda ke barat. Gerakan ke arah barat ini digabung dengan
desakan-desakan ke darat sepanjang sistem patahan Sorong dari bagian barat
Irian dengan arah timur-barat, menghasilkan bentuk khas Sulawesi seperti kita
kenal sekarang. (Anthony J. Whitten, Muslimin Mustafa dan Gregory S. Henderson
dalam Ekologi Sulawesi) terbitan Gadjah Mada University Press, 1987.
Disebutkan, pada kurun Pliosen
terjadi peristiwa geologi yang memungkinkan juga Sulawesi ada hubungannya
dengan Kalimantan melalui laut Doangdoang atau Selat Makassar yang menyempit.
Kemudian zaman Miosen, Sula/Banggai berbenturan dengan Sulawesi timur,
semenanjung utara mulai berputar dan Sulawesi timur dan barat mulai menyatu.
Berdasarkan peristiwa-peristiwa
geologi tersebut, Lembah Palu dahulu pernah menjadi danau, kemudian akibat
perubahan-perubahan tektonis yang cukup drastis dalam bentuk gempa besar dan
pergeseran-pergeseran, sehingga menjadi laut. Dalam proses tersebut terjadi
lagi perubahan fisik baik secara evolusi maupun revolusi dengan gerakan
aktivitas gempa yang berakhir mengeringnya laut teluk menjadi lembah.
Kemungkinannya itu diduga pula dengan terdapatnya sisa-sisa jenis tumbuhan
bakau di kaki lereng pegunungan, Desa Lompio, arah tenggara Palu, bisa jadi
hipotesis kalau di tempat itu pernah menjadi batas atau tepi laut.
Masyhuddin Masyhuda dalam Catatan Kritis Palu
Meniti Zaman (2000) mengidentifikasi batas-batas laut yang menjorok ke dalam
memiliki batas ujung selatan hingga ke Desa Bangga, Valatana, Baluase, Rogo,
Pulu dan Bomba di bagian barat. Sedangkan di bagian timur mencapai Loru,
Pombeve, Vatunonju, Uvemabere, Lambara, Kalavuntu dan Pandere
0 Comments