Dalam membedah perihal cerita
rakyat di lembah Palu yang mengisahkan tentang surutnya air laut dan
terbentuknya lembah saat ini, tidak bisa dipisahkan dari cerita dengan
Sawerigading sebagai tokoh utamanya. Saverigadi, demikian dialek lokal
menyebutnya, dkenal sebagai tokoh legendaris dari Luwu, Sulawesi Selatan,
bersama anaknya La Galigo. Cerita tentang Sawerigading ini dikenal di hampir
seluruh wilayah di lembah Palu.
Ada beberapa versi di sejumlah
wilayah di lembah Palu, tentang cerita Sawerigading dan surutnya laut di lembah
Palu tersebut. Salah satu cerita misalnya menjelaskan, konon suatu ketika, La
Galigo datang dengan perahunya dari Ganti ke Sigi. Sesampainya di sana, di desa
sedang dilaksanakan adu ayam dan La Galigo berpartisipasi. Tapi dia kalah melawan
ibunya Nili Najo, yang merupakan ratu Sigi. Dia menjadi sangat marah dengan
kekalahannya tersebut, sehingga dia hampir berkelahi dengan ibunya. Tapi
untungnya ayahnya, Sawerigading, datang dari Palopo tepat waktu, dan dia
menyatakan bahwa itu bukan masalah ibu dan anak yang saling berkelahi. Untuk
mencegah agar La Galigo sekali lagi berlayar ke Sigi dan menyebabkan bencana,
Sawerigading memutuskan untuk mengusir laut. Dia memerintahkan anjing hitamnya yang
bernama Buri (hitam) yang kemudian menggonggong ke arah laut hingga laut
berangsur-angsur turun. Sebagai pengingat kejadian ini, sepotong kawasan pantai
di Loli diberi nama Tasi boeri atau laut hitam.
Versi lainnya dari kisah ini
menyebutkan, Sawerigading tinggal di Ganti dekat Donggala di masa lalu. Pada
saat yang sama, di Maku (Baku) Bakulu, hidup seorang ratu perkasa, bernama Bunga
Manila. Pada kesempatan sebuah acara besar, Bunga Manila juga mengundang
Sawerigading untuk hadir. Sawerigading datang dan membawa ayam jantannya yang
berani bersamanya.
Dia menyarankan kepada ratu
tersebut, agar ayam mereka bertarung satu sama lain, dengan pertaruhan, ketika
Sawerigading kalah, dia akan menyerahkan kapalnya ke Bunga Manila. Sebaliknya,
jika Bunga Manila kalah, dirinya akan memberikan kerbau dan kambing kepada Sawerigading.
Ayam jantan milik Sawerigading
kemudian kalah dan Bunga Manila menuntut kapal yang dipertaruhkan. Namun, kapal
tersebut tidak berhenti, dan inilah yang menjadi alasan pecahnya perang di
antara para pengikut keduanya. Bunga Manila kemudian memanggil bantuan
saudaranya, yang tinggal di Luwu. Ketika dia datang, dan dia mengatakan bahwa
orang tua Bunga Manila dan Sawerigading bersaudara dan karena itu mereka tidak
dapat bertarung. Walaupun mengetahui hal tersebut, Bunga Manila masih membenci
sepupunya, dan dia mencari cara untuk mencegahnya datang ke Maku Bakulu.
Sawerigading diceritakan memiliki seekor anjing bernama, I Buri, yang berkulit
hitam, yang dapat melakukan hal-hal ajaib. Ketika Sawerigading hendak kembali
ke Ganti, Bunga Manila mengganggu anjingnya agar tidak mengikuti Sawerigading
dan memastikan bahwa anjing tersebut tidak kembali. Anjing itu kemudian
menggonggong mencari Sawerigading, dan kemana pun anjing itu pergi, permukaan
laut pun mundur.
Cerita lainnya dari Tawaeli, mengisahkan
pada saat itu Gilina eo dari Sigi, datang ke Ganti, dan mengadu ayam dengan La
Galigo. Ayam Gilina eo bernama Baka (luka) dan ayam milik La Galigo bernama Buri.
Buri kemudian berubah menjadi ular, dan menyebabkan penduduk mulai lari. Dengan
kejadian ini, timbul perselisihan antara keduanya, dan penguasa Sigi ini kembali
dengan keadaan marah.
Di puncak Vatunonju, anjing
Gilinaeo mulai menggonggong, dan dengan demikian laut pun turun. Ketika La
Galigo memperhatikan hal ini, ia segera berbalik dengan perahunya. Di
perjalanan dia bertemu Boronguu. Boronguu meminta La Galigo memastikan tanahnya
tidak mengering lebih jauh. Tetapi La Galigo menjawab dia tidak bisa berbuat
apa-apa.
Di Biromaru, cerita ini
dikisahkan sebagai berikut, di mana di masa lalu sebuah pesta besar dirayakan
di Siboela di atas Bora (Sigi). Magau (raja) Sigi saat itu disebut adalah
seorang wanita, yakni Ngginajo (di tempat lain: Nili najo). Di pesta ini, La
Galigo dari Ganti juga hadir untuk mengikuti sabung ayam. Ratu Sigi meletakkan
5 tanduk kerbau dan 5 kotak bambu penuh emas di depannya sebagai taruhan. Magau
sendiri mengenakan pakaian pria, dan membawa seekor ayam bernama Tjalabae
(Calabai) dan ayam dari La Galigo bernama Baka tjimpolo. Kemudian Ngginajo
berkata, jika ayamnya mengalahkan ayam La Galigo, maka dia harus memberikan
semua yang dia miliki bersamanya.
Hal ini terjadi dan La Galigo
harus memberikan semua yang dia miliki bersamanya, dia hanya kembali dengan
satu budak. Dari Ganti, dia mengirim sebuah pesan kepada ayahnya Sawerigading
di Soppeng untuk datang. Ketika dia tiba, putranya mengatakan kepadanya bahwa
dia ingin berperang dengan Sigi. Tapi Sawerigading melarang, karena kata dia,
para raja Sigi dan Ganti saling berhubungan. Ayah dan anak kemudian pergi ke
Sigi untuk memperkuat ikatan persaudaraan. Tanpa memperdulikan ayahnya, La
Galigo kembali ke Ganti meninggalkan ayahnya, sehingga ia terpaksa berjalan.
Semakin jauh dia berjalan, semakin jauh laut surut, sehingga seluruh lembah
menjadi kering, hingga menjadi lembah Palu yang sekarang. Sawerigading kemudian
menyusul putranya dan naik ke atas kapal, sehingga laut tidak kembali lagi.
Sementara itu, Jamrin abubakar,
dalam buku orang Kaili gelisah menuliskan, dalam mitologi Kaili,
peristiwa mengeringnya laut Kaili dikaitkan kedatangan Sawerigading, tokoh
sentral dalam epos sureq Lagaligo asal Luwu, Sulsel. Dalam pelayarannya kembali
dari negeri Cina, Sawerigading (Saverigadi dalam dialek Kaili) menyempatkan
masuk ke teluk Kaili dan berlabuh di Pudjananti-Banava (Donggala), kemudian
menuju ke pelabuhan Bangga dan Sigi sebagai pusat kerajaan Kaili yang dipimpin
seorang ratu waktu itu.
Cerita ini merupakan versi lisan
dalam mitologi To Kaili (orang Kaili) di Lembah Palu. Saat kapal berlabuh, seekor anjing milik Sawerigading bernama Labolong (si
hitam) secara tidak sengaja berjalan mencari mangsa sampai di dataran lembah di
arah selatan Sigi. Singkat cerita, di sanalah Labolong melakukan perkelahian
dengan seekor belut raksasa penghuni sebuah telaga kecil di tengah lembah.
Perkelahian terjadi, disebabkan ketika Labolong sedang berjalan dan tanpa
sengaja kakinya terperosok ke dalam telaga yang ternyata tempat kubangan belut
raksasa.
Merasa terusik atas kehadiran
seekor anjing yang mengobok-obong tempatnya, belut raksasa penghuni telaga pun
menarik kaki anjing hitam tersebut, sehingga terjadi pertarungan maha dahsyat
dalam kubangan sampai-sampai menimbulkan gempa bumi.
Labolong dan belut itu, akhirnya
keluar dari dalam telaga, keduanya saling gigit dan tarik-menarik hingga hanyut
ke laut bersama air bah yang tumpah (banjir bandang) bercampur warnah merah,
karena kedua hewan raksasa itu berdarah. Masyarakat di pesisir Sigi-Bora dan
sekitarnya ketakutan mendengar gemuruh yang disertai banjir dan gempa.
Bekas jalannya belut saat ditarik
oleh anjing, itulah yang dianggap menjadi cikal-bakal terjadinya Sungai Palu
yang berhulu di Danau Lindu. Gemuruh air sebagai susulan getaran bumi,
mengakibatkan Teluk Kaili yang menjorok itu tertimbun longsoran tanah, jadi
lembah sampai sekarang.
Dari peristiwa ini pula (matinya
belut raksasa) menjadi cikal-bakal untuk sebutan bagi Danau Lindu hingga
sekarang. Lindu dalam bahasa Kaili atau bahasa Kulawi berarti belut, sejenis
Sogili yang merupakan salah satu jenis ikan endemik danau-danau dataran tinggi
di Sulawesi Tengah, khususnya di Danau Lindu.
Menurut legenda, kapal
Sawerigading ketika itu terdampar di Sambo (sekarang Kecamatan Dolo), sehingga
di desa ini ada gunung yang kalau dipandang dari jauh menyerupai perahu,
masyarakat setempat menyebutnya Bulu Sakaya (gunung perahu). Konon gunung itu
merupakan kapal Sawerigading, sedangkan layarnya terdampar ke sebelah timur
lembah yang kini disebut Bulu Masomba yang berarti gunung yang menyerupai
layar.
Dari cerita dengan tokoh dan alur
cerita yang beragam namun memiliki kemiripan tersebut, jika dianalisa lebih
jauh, dapat mengerucutkan analisa pada sejumlah hal, pertama, interaksi antara
Luwu dengan wilayah lembah Palu seperti Sigi dan wilayah Banawa di semenanjung
Donggala. Kisah ini seakan menegaskan pengaruh Luwu yang kental di dua wilayah
tersebut, lewat legitimasi dengan cerita rakyat dan pengaruh dari segi keadatan
di masa selanjutnya. Kedua, cerita-cerita di atas, menunjukkan ciri kebudayaan
Kaili yang matrilineal, di mana peran perempuan dalam filosofi keadatan sangat
dijunjung tinggi, seperti posisi Ntina (penghulu adat) dalam struktur keadatan
dan posisi Bulonggo (penyimpan tuturan dan harta) dalam keluarga bangsawan.
Ketga, cerita-cerita di atas, sebenarnya
menunjukkan proses geologi di lembah Palu yang di masa itu, belum mampu
dijelaskan dengan ilmiah oleh masyarakat setempat. Masyarakat di masa lalu,
cenderung menandai kejadian alam dengan penanda cerita mitos atau penaman
wilayah berdasarkan kejadian alamnya.
0 Comments