Neni dan Puisi yang Menguatkan Penyintas Bencana

Neni dan Puisi yang Menguatkan Penyintas Bencana


Lelaki paruh baya itu asyik bercengkerama dengan beberapa orang, di halaman samping rumahnya yang disulap menjadi sebuah perpustakaan mini. Di halaman rumah tersebut, nampak beberapa kuntum bunga matahari mulai mekar.

Raut wajahnya serius mendengar cerita dari lawan bicaranya, dengan sesekali diselingi gelak tawa. Rambut dan janggutnya mulai didominasi warna abu-abu menjurus putih. Sesekali, dirinya menyeruput kopi di dalam gelas yang disajikannya sendiri.

Laki-laki pengelola sekaligus pendiri perpustakaan mini tersebut, akrab disapa Neni Muhidin. Mohammad Isnaeni Muhidin nama lengkapnya. Pegiat literasi ini, aktif dalam gerakan literasi, terutama soal kebencanaan, pascabencana 28 September 2018, menerjang Palu, Sigi, Donggala, serta Parigi Moutong.


Pascabencana, ayah dua anak ini menginisiasi sebuah buku puisi, yang lahir dari sebuah inisiatif malam puisi. Dirinya menceritakan, seminggu pasca bencana 28 September, tepatnya tanggal 8 Oktober, dirinya bersama sejumlah kawan di Nemu Buku, perpustakaan yang dikelolanya, menginisiasi Malam Puisi Palu, untuk saling menguatkan antar sesama penyintas bencana. Sehari sebelum acara itu, dirinya mengontak kawan-kawan penyair (yang ada dalam buku itu red.), untuk mengirim puisi mereka, agar bisa dibaca saat Malam Puisi Palu.

Kata Neni, ada 20 penyair yang mengirim puisi. Tiga orang dari Palu, yakni dirinya, Masamah Amin Syam, serta Rohmat Yani. Kemudian, ada Pinto Anugrah di Padang, Aleks Giyai di Papua, serta duet penyair Maluku, Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes, serta sejumlah penyair lainnya.

Sebagian besar kata dia, mengirim sehari sebelum malam pembacaan, sebagian sisanya beberapa bulan setelahnya, saat proses penyuntingan naskah buku.

“Satu dari penyair yang langsung mengirimkan karyanya saat saya minta, adalah Joko Pinurbo yang tinggal di Jogja,” ujarnya.

Menurut Neni, ide untuk membukukan puisi-puisi tersebut, lahir beberapa bulan setelah malam puisi tersebut. Dia menghubungi para penyair tiga bulan setelah peristiwa, untuk menyampaikan akan membukukan puisi-puisi yang sudah dikirimkan itu.

“Mendengar karya mereka akan dibukukan, penyair-penyair itu dengan senang hati menyetujui,” ujar Neni.

Menurut inisiator gerakan Tolak Tanggul Teluk Palu ini, sayang jika puisi-puisi tersebut tidak dibukukan. Kata dia, buku itu setidaknya menandai peristiwa-peristiwa bencana sepanjang 2018.

“Makanya judulnya 2018 Almanak Bencana dan Sajak-sajak Renjana,” jelas Neni.

Neni merinci, proses penyuntingan naskah dimulai awal Februari dan selesai cetak pada April. Pada bulan Mei, buku kumpulan puisi ini terbit dan diluncurkan di Makassar International Writers Festival di Makassar, pada bulan Juni. Peluncuran buku puisi ini kata dia, disambut haru oleh peserta Makassar International Writers Festival.

Buku puisi ini kata Neni, dicetak terbatas hanya sekitar 700 eksemplar. Jumlah buku yang sudah terdistribusi kata dia, baru 60 persen.

“Sisanya masih saya simpan untuk kebutuhan stok. Minggu ini sampai awal Agustus, buku itu diikutkan dalam pameran buku Patjar Boekoe di Malang. Di Palu, buku itu saya jual di Toko Buku Ramedia dan di Nemu Buku. Untuk penjualan daring, saya jual lewat portal buku jualbukusastra.com,” jelas Neni.

Buku puisi ini kata Neni, akan punya andil di masa yang akan datang dan belum bisa jadi penanda di masa yang sekarang. Dirinya berharap buku ini akan menemui pembaca yang lebih luas, karena bencana terjadi di seluruh Indonesia dan dunia, pun ancamannya. JEF

Post a Comment

0 Comments