Siang itu, matahari cukup terik. Aplikasi
pencatat suhu di gawai saya menunjukkan angka 37 derajat Celsius. Di pelataran
sebuah gedung kuning berlantai tiga, nampak hiruk pikuk mahasiswa berjaket
almamater hijau. Di samping gedung kuning tersebut, Nampak sejumlah gedung berwarna
hijau masih berdiri kokoh, namun terlihat di beberapa bagian rusak, akibat
hantaman tsunami 28 September 2018 lalu.
Di depan deretan gedung ini,
terlihat beberapa lelaki sedang mendirikan sebuah bangunan di pinggir pantai. Seorang
lelaki memanjat bagian atap, memasang seng, sementara lelaki lainnya memaku
papan di bagian dinding bangunan tersebut. Di sisi kanan kiri bangunan
tersebut, berdiri beberapa bangunan yang difungsikan sebagai kafe. Sebelum tsunami
menerjang kawasan ini, hampir setahun lalu, puluhan kafe berjejer rapi di
sepanjang pantai antara Kelurahan Silae dan Kelurahan Lere ini.
Kawasan ini dikenal dengan nama
pantai Taman Ria. Sejarawan maritim Universitas Tadulako (Untad), Wilman D
Lumangino, dalam laporan ‘Pengembangan Diorama Kaili Tour Dalam Perspektif Sejarah’
yang disusun tahun 2004 menuliskan, eksistensi pantai Taman Ria sebagai salah
satu kawasan wisata di Kota Palu, diawali sekitar tahun 1970-an. Di masa itu
kata dia, pantai ini berfungsi sebagai tempat rekreasi biasa, di mana bakau
masih tumbuh lebat di sepanjang pantai. Pantai ini merupakan tempat rekreasi
yang digemari anak-anak karena lautnya yang cukup dangkal.
Melihat kenyataan bahwa kawasan pantai ini
sering dijadikan lokasi rekreasi bagi masyarakat Kota Palu, sejumlah masyarakat
bersama Kepala Desa Silae saat itu, mengusulkan kepada Pemerintah Kota Palu,
agar kawasan ini dijadikan sebagai objek wisata, seperti Pantai Tumbelaka di
Tipo, yang telah eksis sebelumnya. Menanggapi usulan tersebut, oleh pemerintah,
dimulailah reklamasi (penimbunan) tepi pantai pada tahun 1980.
Akibat reklamasi tersebut, rumpun
bakau yang tumbuh subur di sepanjang pantai, sedikit demi sedikit punah. Setelah
reklamasi dilakukan, pemerintah kota melakukan pembangunan taman rekreasi yang
dibei nama Taman Ria Anak-anak. Berbagai fasilitas penunjang pun disediakan
seperti baruga, serta wahana permainan anak-anak, seperti seluncuran. Jalan masuk
ke kawasan ini dari arah jalan Diponegoro, juga dibuatkan pintu gerbang.
Kafe-kafe yang menjamur di
kawasan pantai ini, sebelum tsunami menerjang, 28 September 2018 lalu, mulai
didirikan sejak 1990-an. Pada periode itu, sebuah kafe didirikan di kawasan
pantai tersebut, untuk menyediakan kebutuhan makan dan minum para pengunjung. Sejak
saat itu, kawasan pantai ini mulai ramai dikunjungi pada malam hari, dengan
pengunjung yang mulai beragam, bukan hanya orang tua dan anak-anak, tapi juga
golongan muda-mudi.
Antara tahun 1994 hingga 2002, kafe-kafe
lainnya didirkan di sepanjang garis pantai. Selain itu, sebuah restoran milik
seorang pengusaha keturunan Tionghoa, didirikan di kawasan tersebut. Pada tahun
2000, Pemerintah Kota Palu melakukan pembenahan di kawasan tersebut, dengan
memperbaiki baruga dan mendirikan sebuah gedung kesenian. Pembangunan ini
dimaksudkan untuk mendukung upaya menjadikan Taman Ria, sebagai salah satu
kawasan wisata di Kota Palu, yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
Untuk mendukung upaya ini,
pemerintah kota menggulirkan wacana pembuatan Jalur Hijau di kawasan tersebut, antara
tahun 2003-2004. Namun usulan ini menimbulkan gejolak di kalangan para pemilik
kafe, karena dengan kebijakan ini, potensi penggusuran, penutupan sementara dan
pembangunan kembali, serta revitalisasi lahan akan terjadi dan mengancam usaha
mereka.
Meskipun menuai pro dan kontra,
pembuatan jalur hijau ini tetap dilakukan, dan dampaknya, kawasan pantai yang
sebelumnya berdebu karena tidak adanya pepohonan di kawasan pantai, sejak
rumpun bakau punah akibat reklamasi, berangsur kembali hijau dengan ditanaminya
pepohonan di sepanjang pantai.
Pembangunan jembatan Palu IV di
masa Gubernur Aminuddin Ponulele, antara tahun 2004-2006, yang menghubungkan
kawasan pantai di sebelah barat dan timur Teluk Palu, membuat kawasan Pantai Taman
Ria menjadi lebih hidup. Jembatan ikon kota Palu yang diresmikan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada Mei 2006 ini, mendorong pembukaan jalan baru di
kawasan Pantai di Kelurahan Lere, yang mendorong geliat ekonomi di kawasan
tersebut, hingga ke kawasan pantai Taman Ria, sebelum akhirnya jembatan
tersebut rubuh akibat gempa 28 September 2018.
Pembukaan jalan baru ini juga
menandai hadirnya pusat ekonomi baru di pesisir barat Teluk Palu tersebut,
mulai dari sentra penjualan hasil laut, SPBU, perhotelan, kafe, hingga
pembangunan pusat perbelanjaan terbesar di Kota Palu, yakni Palu Grand Mall, antara
tahun 2012 hingga 2014.
Geliat pembangunan ini semakin
menegaskan konsep Pemerintah Kota Palu untuk menjadikan kawasan pesisir pantai
sebagai teras Kota Palu, mengadopsi konsep gandaria dalam pembangunan Banua Oge
(Souraja). Sayangnya, konsep pembangunan ini, seakan tidak memperhatikan aspek
kebencanaan dalam implementasinya, terlebih merujuk kepada catatan sejarah
bahwa Teluk Palu telah mengalami dua kali tsunami, yakni tahun 1927 dan 1938,
sebelum kembali dihajar tsunami pada 2018, juga retakan permukaan sesar Palu Koro,
yang kini muncul di pesisir barat Teluk Palu tersebut.
Dari rentetan proses ini juga
terlihat, sabuk hijau yang dulu menyelimuti pesisir barat Teluk Palu tersebut, yakni
rumpun bakau, dihilangkan demi mewujudkan konsep Gandaria tersebut. Padahal,
belajar dari bagaimana rumpun bakau meredam amukan tsunami, seperti yang
terjadi di Kabonga, kawasan pesisir barat Teluk Palu, sebenarnya juga menyimpan
potensi keamanan yang sama, andai tidak dihilangkan.
Kini, pascabencana 28 September
2018, pendekatan vegetasi akan kembali diterapkan di garis pantai sepanjang
kurang lebih 3,5 kilometer ini. Pendekatan vegetasi ini akan menunjang jalan laying
(elevated road) yang dibangun oleh Japan International Cooperation Agency
(JICA), dengan ketinggian jalan menjadi kurang lebih 5 meter di atas permukaan
laut dan 2,5 - 3,5 meter dari permukaan tanah di sekitarnya.
Jalan layang yang
juga difungsikan sebagai tanggul penahan tsunami ini, diharapkan akan kembali
menghidupkan geliat kehidupan di kawasan pantai tersebut, meskipun saat ini, hamper
setahun pascabencana, geliat ekonomi itu sudah mulai kelihatan, dengan kembali
dibangunnya kafe-kafe di sepanjang pantai, yang seakan seperti teriakan kepada
Pemerintah Kota Palu, bahwa di momen pascabencana ini, masyarakat pesisir Kota
Palu lebih khawatir dengan potensi kelaparan dan kehilangan mata pencaharian, daripada
khawatir dengan potensi bencana. JEF
0 Comments