Bangunan Untuk Nelayan Jangan Bersifat Temporary

Bangunan Untuk Nelayan Jangan Bersifat Temporary


Peneliti Tsunami dari Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATI), Gegar S Praseyta, M.Sc, PhD, menyarankan agar pembangunan di kawasan pesisir Teluk Palu untuk nelayan, tidak menggunakan bangunan yang bersifat temporary (sementara). Menurutnya, bangunan yang bersifat temporary, dapat menjadi debris saat diterjang tsunami.

Hal ini disampaikannya dalam diskusi ‘Palu Koro: Fakta dan Mitigasi’ yang dilaksanakan di Perpustakaan Mini Nemu Buku, Kelurahan Lolu Selatan, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Kamis (8/8/2019) malam. Diskusi yang dihadiri ratusan peserta ini, menghadirkan sejumlah peneliti dari BPPT, LIPI, IATI serta Kemenko Maritim, sebagai pembicara.


Menurut Gegar, untuk kawasan pesisir yang terindikasi sebagai kawasan rawan tsunami, tetap boleh mendirikan bangunan. Namun kata dia, bangunan yang didirikan haruslah bangunan permanen yang memenuhi spesifikasi untuk kawasan tersebut, salah satunya adalah tahan gempa, sehingga dapat dijadikan shelter untuk evakuasi vertikal, jika tsunami datang.

Gegar menjelaskan, bangunan yang bersifat temporary di kawasan pesisir yang terindikasi rawan tsunami, justru akan menjadi debris yang membahayakan masyarakat yang bermukim di sana. Dirinya mencontohkan saat bencana tsunami di Aceh tahun 2004 dan Samoa tahun 2009, di mana pemukiman pesisir yang bersifat temporary habis diterjang tsunami dan debrisnya membuat tubuh atau jasad korban tsunami penuh luka.

Lulusan Department of Earth and Ocean Sciences University of Waikato, Selandia Baru ini juga menjelaskan, belajar dari pengalaman tsunami di dua wilayah tersebut, dirinya tidak menyarankan bangunan di kawasan pesisir yang terindikasi tsunami, untuk menggunakan seng, sebagai bahan atap rumah. 

“Apalagi menggunakan seng yang ujungnya tidak dibengkokkan. Di Samoa dan Aceh pasca tsunami, banyak jasad korban yang terpotong kepala dan anggota tubuh lainnya, akibat terkena debris saat tsunami, utamanya seng,” jelasnya. 

Permasalahan relokasi nelayan di kawasan pesisir yang terindikasi rawan tsunami kata Gegar, memang selalu menjadi hal yang eksepsional. Menurutnya, perlu penanganan khusus untuk masyarakat nelayan.

“Saat tsunami di Flores tahun 1992, saya baru dua tahun lulus dari ITB. Saya range on di sana di momen pasca tsunami. Di sana saya melihat, nelayan memang tidak bisa dipindah ke gunung. Jadi, nelayan harus tetap dengan aktivitasnya, dengan pendekatan konstruksi bangunan pesisir seperti yang saya sebutkan tadi,” ujar Gegar.  

Terkait rencana pembangunan tanggul penahan tsunami berupa elevated road yang diwacanakan oleh pemerintah, dengan dana loan dari JICA dan coastal protection oleh ADB, Gegar melihat pendekatan tersebut bukan solusi untuk nelayan.

“Nelayan tidak bisa melaut jika ada tanggul,” ujarnya.

Hal yang juga menjadi perhatian gegar adalah jalur evakuasi vertical dari pesisir pantai, yang menurutnya harus perbanyak dan yang sudah ada harus diperlebar. Vegetasi di kawasan pesisir, menurutnya juga mampu meredam debris akibat tsunami.

Sementara itu, Kepala Bidang Data dan Informasi Bappeda Kota Palu, Ibnu Mundzir, 10 Juli 2019 lalu menjelaskan, rencana pembangunan tanggul ini tetap mengakomodir masyarakat nelayan. Menurutnya, Pemerintah Kota Palu tetap menyediakan lokasi tambatan perahu bagi para nelayan.

Kemudian terkait kepastian relokasi masyarakat nelayan di pesisir Teluk Palu yang terdampak tsunami, Kepala BPBD Kota Palu, Presly Tampubolon menyebut, masyarakat nelayan yang pemukimannya terdampak tsunami akan direlokasi, dengan tujuan relokasi disesuaikan dengan daerah asal yang terdekat. Adapun para nelayan hanya diperbolehkan membangun pondok instirahat di kawasan pesisir.

Sebelumnya, sejumlah nelayan di pesisir Teluk Palu, gamang dengan nasibnya kedepan, hampir 11 bulan pascabencana. Bachtiar (67) misalnya. Nelayan asal Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat ini, ketika ditanyakan tentang kepastian relokasi ke hunian tetap, hanya tersenyum getir. Dirinya menyebut lokasi huntap Tondo, sebagai lokasi yang mungkin menjadi tujuan relokasi dirinya bersama 205 penghuni huntara tersebut.

Ayah lima anak ini mengakui, sejatinya dirinya dan sejumlah nelayan lainnya, merasa berat jika harus direlokasi ke lokasi huntap yang jauh dari pantai. Belum lagi kenyataan soal sulitnya akses air bersih dan ketakutan akan tidak menentunya jaminan hidup yang diterima, menjadi pertimbangan Bachtiar untuk memilih tidak pindah.

“Kalau bisa, kami meminta pemerintah agar dicarikan lokasi yang dekat dengan tempat kami mencari nafkah di pantai ini. Pindah ke lokasi yang jauh dari pantai, cukup menyulitkan kami untuk menyambung hidup, terlebih kami tidak ingin terus tergantung dengan bantuan,” ujarnya.

Data dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), berdasarkan hasil rekap Pemerintah Kota Palu mencatat, akibat bencana 28 September 2018, jumlah nelayan dan petani garam yang terdampak bencana, berjumlah 1235 orang nelayan dan 157 petani garam. Sementara itu, dari data hasil verifikasi Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulteng sendiri, di Kota Palu ada 294 nelayan terdampak, di 11 kelurahan dan 5 kecamatan. JEF

Post a Comment

1 Comments