Petani Garam Talise, Mencoba Bangkit Di Antara Kegamangan

Petani Garam Talise, Mencoba Bangkit Di Antara Kegamangan


Matahari mulai terik, seiring sayup adzan zuhur berkumandang dari menara masjid. Murni (63), duduk di pondok kayu sederhananya di depan Lapangan Abadi Talise, sambil mengamati kendaraan yang lalu-lalang. Siang itu, lalu lintas di Jalan Yos Sudarso lumayan padat. Deru mesin kendaraan saling beradu membelah sengatan matahari.

Di depan Murni, tampak empat karung berukuran 50 kilogram berisi garam bubuk, dengan gayung berisi garam, di masing – masing karung. Dua karung berisi garam berwarna putih bersih, sedangkan dua lainnya berwarna sedikit kelabu.

Menurut Murni, garam yang berwarna putih bersih itu, berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan, yang dibelinya dari seorang penjual. Penjual tersebut kata dia, menjual garam tersebut dengan harga Rp130 ribu per karung ukuran 50 kg.

“Dari harga itu, saya jual kembali ke pembeli Rp150 ribu per karung. Per karung saya untung Rp20 ribu,” ujar Murni, Minggu (14/7/2019).     
   
Menurut Murni, dirinya bersama sejumlah petani garam lainnya, terpaksa menjual garam dari Makassar, karena belum optimalnya produksi garam yang mereka lakukan, pasca tambak garam mereka rusak diterjang tsunami pada 28 September 2018 lalu. Kata dia, tambak garam miliknya baru diperbaiki kembali, sekitar empat bulan yang lalu.
Walaupun sudah diperbaiki, namun hasil panen dari tambak tersebut, kini tidak lagi seoptimal saat sebelum bencana. Sekarang kata dia, hanya dapat 1 atau 2 karung setiap satu kali panen.

“Garam hasil panen ini kita jual Rp80 ribu per karung isi 50 kg ke tengkulak, kalau yang bersih biasa Rp100 ribu, tapi habis bencana ini, agak susah dapat yang bersih, karena tambak belum bersih betul. Kalau matahari lagi terik seperti ini, biasanya harga turun jadi Rp70 ribu, sedangkan kalau musim hujan dan stok sedikit, biasa harga sampai Rp120 ribu,” ujarnya.

Dengan hasil panen yang tidak optimal tersebut, pilihan menjual garam dari luar daerah adalah pilihan yang terpaksa harus diambil. Untung yang didaptkan dalam sehari pun, tidak seberapa.

“Kalau satu hari, paling tinggi sudah kita dapat Rp100 ribu sampai Rp150 ribu, kalau jual eceran. Dulu, biasanya sehari bisa satu karung habis dijual eceran, tapi sekarang tidak sampai satu karung dijual per hari. Kalau dihitung-hitung, lebih untung sebenarnya dijual eceran, karena satu karung itu bisa sampai Rp400 ribu didapat,” jelasnya.

Menurut Murni, setiap hari, ada saja pembeli yang datang kepadanya untuk membeli garam, baik untuk pupuk, sebagai bumbu dapur, maupun untuk dijadikan obat. Masyarakat Suku Kaili sendiri, mempercayai garam Talise sebagai penangkal ampuh untuk mengusir roh jahat.

“Kalau yang eceran, biasa ada yang beli untuk bumbu dapur, tapi yang bersih. Ada juga yang beli untuk pakuli (bahasa Kaili untuk obat red.), ada juga yang beli untuk pupuk. Kalau untuk pupuk, biasa ada yang beli sampai 10 karung. Biasa dari pantai barat (Kabupaten Donggala red.) itu,” jelasnya. 
   
Murni yang merupakan warga asli Talise ini, sudah menekuni usaha garam ini, sejak puluhan tahun. Ia ingat, ia menjual garam sejak setelah dirinya menikah.

“Dulu pas habis kawin, saya menjual garam di Pasar Tua (Bambaru red.), kalau dihitung-hitung, sudah sekitar 40 tahun lalu. Sebelum bencana, saya biasa jual garam di Pasar Inpres Manonda sampai Pasar Maranata. Nanti habis gempa (28 September red.) ini, baru saya menjual di depan Lapangan Abadi,” kenang Murni.   

Terkait zona rawan bencana yang ditetapkan dalam peta Zona Rawan Bencana (ZRB) yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, di mana ZRB IV atau zona terlarang di kawasan pandai, yaitu 100-200 meter dari sempadan pantai, Murni sudah mengetahuinya, walaupun tidak secara detail. Namun kata dia, pihaknya bersama belasan petani garam yang berjualan di sepanjang Jalan Yos Sudarso, diminta oleh pemerintah untuk kembali berjualan di lokasi awal mereka berjualan di sekitar pantai.

“Kami tidak lagi diberi izin menjual di pinggir jalan, katanya mau dikembalikan berjualan di dekat pantai, tapi banyak yang masih trauma. Kami disuruh kembali membangun pondok di sana, tapi bukan untuk tinggal, hanya untuk menjual,” ujarnya.  
  
***
Seorang lelaki paruh baya, kembali ke pondoknya, setelah mengecek pematang di tambak garamnya. Di pondok, sudah menunggu istri dan dua anaknya, dengan rantang berisi bekal makanan. Siang itu, matahari bersinar cukup terik, memantul dari butir-butir putih garam, yang mulai muncul dari pematang.

“Kalau cuaca bagus, 3-5 hari sudah jadi garamnya. Pertama, air laut dialiri ke kolam induk, kemudian disaring menggunakan pompa alkon, setelah itu di alirkan ke kolam besar, lalu dialiri ke kolam pemanas sekitar 2-3 hari, sampai kadar garam tinggi. Setelah airnya surut, baru dimasukkan ke pematang, untuk diproses sampai jadi garam,” jelas Usman (39).

Usman merupakan salah seorang dari ratusan petani garam lainnya di kawasan penggaraman Talise, yang memutuskan untuk kembali mengolah tambaknya, pasca bencana 28 September 2018. Tambak miliknya, sudah mulai beroperasi kembali sejak 6 bulan lalu, yakni awal Februari 2019.

“Dari Desember saya sudah mulai perbaiki (tambak red.). Berproduksi nanti pas awal April, walaupun Maret sudah mulai sedikit-sedikit.

Sama seperti Murni, Usman juga mengaku, produksi garam pascabencana ini, tidak seoptimal sebelum bencana. Dalam seminggu, bisa dilakukan hingga tiga kali panen. Jika dulu sekali panen bisa sampai 3-4 karung, sekarang paling banyak hanya 2 karung.

“Tambak saya ada dua. Luasnya kurang lebih 700 meter persegi. Pas bencana lalu, pematang, kolam, penampung, semuanya rusak, hampir 100 persen rusak,” ujarnya.

Berdasarkan data nelayan terdampak bencana di Kabupaten Donggala dan Kota Palu yang dikeluarkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Desember 2018 lalu, jumlah petani garam terdampak bencana mencapai 157 orang, yang terbagi dalam 16 kelompok Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR), dengan luas lahan tambak garam yang terdampak 18,05 hektar dan 4 korban meninggal dunia akibat bencana.
    
Lanjut ayah dua anak ini, pascabencana, baru sekitar 70 persen petani garam yang kembali mengolah tambak garamnya. Mereka sedikit terbantu dengan bantuan peralatan untuk memperbaiki tambak, seperti papan, sekop, pacul, dan alat-alat lainnya, yang dibantu oleh Oxfam serta Dinas kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng.

Terkait harga jual garam pascabencana, Usman mengaku masuknya garam dari luar Palu, membuat garam Talise semakin ketinggalan, dari segi harga. Menurutnya, Setelah panen, paling hanya seminggu harga bertahan normal, lalu kemudian jatuh lagi.

Harga garam lokal sendiri kata dia bisa sampai Rp100 ribu yang kotor, lalu Rp120 ribu sampai Rp150 ribu per karung ukuran 50 kg, jika harga sedang bagus. Kalau harga anjlok kata dia, bias sampai Rp60 ribu per karung.

“Kalau saya biasanya saya tampung dulu hasil produksi, nanti butuh baru dilepas. Kalau normal, harga bisa Rp80 ribu sampai Rp90 ribu yang kotor, yang bersih Rp100 ribu. Kalau stok jarang bisa sampai Rp120 ribu,” urainya.  

Usman mengaku sudah sekitar 25 tahun terjun di usaha tambak garam ini. Sejak usia TK, dia sudah dibawa oleh orang tuanya untuk mengolah garam.

“Kami turun temurun mengolah garam di sini. Kalau dihitung-hitung, sampai ke saya, sudah generasi kelima. Dulu nenek saya cerita, orang pribumi di sini cuma jual garam dan kelapa, lalu orang dari Selatan (Sulawesi Selatan red.), datang lewat dermaga di Limbuo, bawa bahan pokok untuk ditukar dengan garam. Para pedagang ini biasanya kawin dengan penduduk lokal dan akhirnya ikut mengolah garam,” ujarnya.

Menurut dia, para petani garam yang meninggal, ada cucu dan keponakannya yang menggantikan mengelola tambak. Ada juga kata dia, menggunakan sistem bagi hasil dengan pemodal yang meminjamkan modal untuk mengelola tambak.

Terkait zonasi kawasan pantai, di mana zona berbahaya atau ZRB IV yang ditetapkan antara 100-200 meter dari sempadan pantai, Aparatur Sipil Negara (ASN) di salah satu instansi di lingkup Pemerintah Provinsi Sulteng ini, mengaku belum mengetahui daerah mana yang kena zona dan mana yang tidak. Dirinya juga belum mengetahui apakah di pantai depan lokasi penggaraman tersebut juga akan dibangunkan tanggul penahan tsunami atau tidak.

“Sebelum gempa lalu, ada wacana lokasi penggaraman ini ingin dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH), namun kenapa ada bangunan rumah toko (ruko) yang dibangun di depan lokasinya. Kita bingung, bagaimana sebenarnya pengaturan kawasan ini,” ujar Usman heran.

Menurut Usman, jika nantinya ditetapkan kawasan penggaraman ini masuk zona merah dan harus dikosongkan, pihaknya menyerahkan urusan tersebut ke pemerintah, dengan tetap menuntut ganti rugi.

“Tinggal bagaimana dari pemerintah, karena ini tanah hidup dan bersertifikat. Kalau memang kena (zona merah), ya harus diganti rugi. Ada pro dan kontra terkait keberadaan pegaraman ini, namun kalau menurut saya, kawasan ini boleh dibilang aset penting bagi pemerintah, terutama untuk wisata, karena di seluruh Indonesia, mungkin cuma di sini yang lokasi penggaraman ada di tengah kota. Untuk rencana pembangunan di teluk ini, pemerintah harus terbuka,” jelas Usman.

Post a Comment

0 Comments