FOTO: BASRI MARZUKI |
Lelaki itu baru saja selesai
mengimami shalat isya di Masjid Kompleks Pangkalan TNI AL Palu Utara. Gurat-gurat
tua usia senja telah mengegrogoti wajah dan tubuhnya. Baju koko, peci dan
sarung telah menjadi pakaian kesehariannya. Bantam, lelaki itu, kini sering
menjadi imam shalat di masjid tersebut.
Selepas shalat isya, Bantam
beranjak pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 200 meter. Tubuhnya sudah
melengkung membungkuk dimakan usia, akan tetapi semangat hidupnya tetap tinggi.
Orang yang baru mengenalnya tidak akan menduga kalau kakek yang satu ini adalah
seorang mantan tentara yang menyimpan rahasia sejarah kelam selama
bertahun-tahun dalam dirinya.
Ahmad Bantam lahir di Ambon pada
5 November 1929. Ayahnya bernama Mohammad Saleh Bantam merupakan seorang
pedagang. Bantam dibesarkan dalam keluarga yang religius. Pada tahun 1940,
Bantam kecil mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Ambon.
Pada tahun 1950, saat usianya 21
tahun, Bantam bergabung dengan Pasukan Merah Putih untuk membantu Angkatan
Perang Indonesia Serikat (APRIS) untuk menumpas gerakan separatis Republik
Maluku Selatan (RMS) pimpinan Soumokil. Setelah RMS berhasil ditumpas, pada
tahun 1951 Bantam mendaftar masuk APRIS. Bantam mengaku bahwa masuk APRIS
merupakan keinginannya sendiri.
Setelah diterima masuk APRIS,
Bantam pun menempuh pendidikan militer di Bantaeng, Sulawesi Selatan, selama
enam bulan. Bantam mengikuti pendidikan bersama 300 orang lainnya. Selepas
menempuh pendidikan militer di Bantaeng, Bantam ditugaskan di Batalyon
Infanteri (Yonif) 714 Manado dengan pangkat Kopral, pada 1952. Bantam bertugas
di sana selama delapan tahun. Selama bertugas, Bantam pernah terlibat operasi
penumpasan Permesta pada 1958.
Setelah delapan tahun bertugas di
Manado, Bantam kemudian menjejakkan kaki di Bumi Tadulako. Dan ditugaskan di
Komando Resort Militer (Korem) 132 Tadulako. Setelah bergabung di Korem 132
Tadulako, pangkat Bantam dinaikkan menjadi Sersan II. Bantam ditugaskan sebagai
Staf I bagian Intelijen. Dia ingat ada 14 orang yang ditugaskan sebagai Staf I,
termasuk Bantam sendiri. Mereka membentuk sebuah kelompok Intelijen.
Paska G 30S, Staf I ditugaskan
untuk memangkap dan memeriksa orang-orang yang diduga terlibat dengan gerakan
tersebut. Ketika tentara lainnya memutuskan untuk tinggal di Asrama Korem yang
terletak di Tanamodindi, Bantam memilih tinggal di luar lingkungan asrama.
Sebuah rumah panggung di daerah Lere menjadi pilihan Bantam untuk tinggal
bersama istri dan tiga orang anaknya hasil pernikahan mereka sewaktu masih
bertugas di Manado, sekitar tahun 1955. Bergabungnya Bantam di Korem 132
Tadulako, mengubah jalan hidupnya. Dia terlibat dalam sebuah peristiwa yang
tidak pernah dilupakan seumur hidupnya. Memang cerita tentang peristiwa G 30S
sempat dirahasiakannya bertahun-tahun. Namun, hati nuraninya berbicara lain.
Menerawang Masa Lalu: Membuka Lembaran Hitam
Bantam mulai mengernyitkan dahi
tatkala mulai ditanya mengenai tragedi terburuk sepanjang sejarah Indonesia
itu. Dia mulai mengumpulkan kembali ingatan masa lalunya. Kata demi kata mulai
keluar dari mulutnya untuk menggambarkan kembali peristiwa tersebut.
Bantam ingat empat tahun setelah
bergabung dengan Korem 132 Tadulako, terdengar kabar pecahnya G 30 S di
Jakarta. Tujuh perwira Angkatan Darat diculik, dibunuh dan dimasukkan ke dalam
sumur tua di Lubang Buaya. Seketika suasana Indonesia menjadi mencekam dan PKI
yang dituding sebagai dalang di balik gerakan tersebut. Dengan dalih tersebut,
PKI dan pihak-pihak yang disangka terkait dengannya menjadi sasaran empuk
kemarahan massa.
Media massa turut berperan dalam
menyulut kemarahan massa itu melalui pemberitaan yang mendeskripsikan
pembunuhan para perwira AD dilakukan secara keji dan di luar batas peri
kemanusiaan. Bantam mengetahui berita tentang meletusnya gerakan tersebut dari
radio yang dimilikinya di rumah. Saat suasana di kota-kota lain semakin
memanas, suasana di kota Palu relatif kondusif. Hal tersebut terlaksana berkat
koordinasi Rapat Panca Tunggal yang menghimbau semua pihak untuk tidak
terburu-buru mengambil tindakan dan menunggu kejelasan berita dari pusat.
Beberapa saat setelah itu baru
terjadi gelombang demonstrasi dan penangkapan aktivis dan simpatisan PKI
beserta organisasi underbouw-nya di Sulawesi Tengah. Kantor CDB PKI di Maesa
dan kantor-kantor cabang PKI lainnya dirusak. Bantam bersama 13 orang anggota
Staf I lainnya ditugaskan untuk menangkapi dan memeriksa aktivis dan simpatisan
PKI beserta organisasi underbouw-nya. Mereka dapat memeriksa 15 orang setiap
malamnya. Pemeriksaan dilakukan oleh satu tim yang dipimpin oleh Kapten Umar
Said.
Dari hasil pemeriksaan, diketahui
bahwa kebanyakan yang ditangkap masuk dalam Golongan C. Tapol G30S dibagi dalam
3 golongan yaitu A, B, dan C. Penggolongan menurut klasifikasi ini didasarkan
atas Inpres No13/Kogam/7/1966. Menurut Kamus Gestok, Tapol Golongan C adalah
mereka yang menjadi anggota ormas yang seazas dengan PKI, mereka yang simpati
atau terpengaruh PKI, dan mereka yang pernah terlibat dalam Peristiwa Madiun.
Penyelesaian terhadap mereka yang pegawai negeri atau perusahaan milik negara
dibagi dalam tiga golongan yaitu Golongan C1, diberhentikan dengan tidak
hormat; Golongan C2 dan C3 dikenakan tindakan administratif lainnya, dengan
memperhatikan berat ringan keterlibatan yang bersangkutan. Dari beberapa
kesaksian, mereka masuk PKI karena diiming-imingi alat-alat pertanian dan
sebidang tanah. Penangkapan tersebut berlangsing selama kurang lebih setahun.
Di tengah situasi yang tidak
menentu ini dan demi menyelamatkan diri dari kejaran massa, pimpinan PKI yang
terdiri dari Abd. Dg. Maselo, S. Chaeri Ruswanto, dan Sunaryo memilih untuk
mengungsi ke Parigi. Di sana mereka mendapatkan perlindungan dari kepala
kepolisian Distrik Parigi. Namun di tempat yang seharusnya melindungi
masyarakat inilah nasib mereka mulai tak menentu.
Beberapa hari setelah menginap,
mereka dijemput oleh Mayor Jamber Wardana dari Korem. Keempatnya lalu dibawa
kembali ke Palu dan dirumahkan di salah satu rumah pejabat, sebelum akhirnya
dimasukkan ke LP Maesa tahun 1966. Berselang satu tahun sejak penahanannya di
LP Maesa, awal tahun 1967, Abd. Dg. Maselo dkk ini dipindah ke penjara
Donggala. Ketiga tahanan politik itu kemudian dijemput oleh Staf Bagian I Korem
Tadulako. Bantam, yang saat itu berpangkat sersan turut datang menjemput
bersama koleganya di Bagian I Korem, Kopral Mangadil dan Efendi.
Bantam mengatakan bahwa sampai
awal April 1967, Ibu Mariam, istri dari Abd Rahman Dg Maselo, masih menerima
surat dari suaminya. Dalam sebuah surat yang diterima Ibu Mariam, suaminya
mengabarkan bahwa mereka bertiga sedang menjalankan mogok makan sebagai protes
larangan menerima pembesuk selama berada di penjara Donggala.
Sebulan kemudian, pada akhir Mei
1967, Sersan Bantam, Kopral Mangandil, dan Efendi diperintahkan oleh Letnan
Satu Umar Said untuk mengambil tiga tahanan tersebut di penjara Donggala. Tiga
orang tentara ini pun berangkat menuju penjara Donggala. Sebelum sampai di
Donggala, mereka diperintahkan untuk menggali lubang di kawasan antara Loli dan
Watusampu. Bantam mengakui dia juga ikut menggali lubang yang dia sendiri tidak
tahu disiapkan untuk siapa.
Setelah lubang selesai digali,
mereka pun melanjutkan perjalanan ke Donggala. Sesampainya di Penjara Donggala,
ketiga tahanan ini dikeluarkan dari tahanan dan dinaikkan di mobil. Sebelum
dinaikkan di mobil, terlebih dahulu Abd. Dg. Maselo dkk diikat dengan tali di
ibu jari dengan posisi berjejer dengan jarak antara satu dengan yang lain yaitu
sepanjang satu siku orang dewasa.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba
datang Letnan Satu Umar Said bersama satu orang berpakaian sipil. Mereka
mengendarai mobil milik Komandan KOREM 132 Tadulako, M. Jasin. Bantam kaget
dengan kedatangan Umar Said dan orang yang tidak dikenalnya tesebut. Ia menduga
orang tersebut adalah jenderal yang datang dari pusat. Tahanan kemudian dibawa
dari penjara Donggala menuju Palu.
Di tengah perjalanan mobil
tiba-tiba berhenti. Mobil berhenti di kawasan antara Loli dan Watusampu. Para
tahanan diperintahkan turun dari mobil. Mereka digelandang naik menuju
perbukitan di sebelah kanan jalan. Bantam heran dengan kejadian tersebut. Dalam
hati dia bertanya mengapa tahanan diturunkan di tengah jalan. Bantam
diperintahkan untuk menjaga mobil. Empat orang lainnya beserta tiga tahanan
tadi naik menyusuri bukit.
Beberapa saat kemudian,
sayup-sayup terdengar suara tembakan. Bantam yang mendengar suara tembakan
tersebut ketakutan dan bergumam dalam hati “sudah mati mereka itu”. Tidak lama
kemudian, empat orang tadi turun menyusuri bukit tetapi ketiga tahanan tadi
sudah tidak ada. Dugaan Bantam makin kuat kalau ketiga tahanan tadi telah
dieksekusi di atas bukit. Letnan Satu Umar Said turun menyusuri bukit sambil
menempelkan jari telunjuk di bibirnya pertanda untuk diam.
Kemudian mereka kembali
melanjutkan perjalanan menuju Palu. Rombongan ini pun singgah di lokasi proyek
Komando Kali Palu. Rafin Pariuwa (tapol yang ditugasi mengkoordinir rekannya
sesama tapol yang kerja paksa di proyek Komando Kali Palu) mencurigai ada yang
tidak beres dengan kawan-kawannya yang dipindahkan ke penjara Donggala.
Kecurigaannya muncul di suatu sore saat dia menunggu Sersan Bantam di gudang
tempat penyimpanan alat yang dipakai kerja paksa membendung kali Palu. Dari
arah Donggala datang Kopral Mangadil, Efendi, Nopo, Poneke, dan Letnan Satu
Umar Said sebagai pimpinan sekaligus yang mengendarai mobil.
Rombongan ini datang dalam
keadaan basah kuyup padahal cuaca sedang cerah. Sersan Bantam turun membawa
tiga buah cangkul. Setelah itu mobil Umar Said langsung pergi. Rafin lalu
mengabarkan apa yang dilihatnya kepada kawan sesama tahanan di penjara. Mereka
pun curiga dengan kejadian yang disaksikan Rafin tadi.
Mereka bersepakat untuk mencari
tahu keadaan yang sebenarnya. Mereka mengutus Subagyono, adik dari Sunaryo yang
mengikuti kerja paksa Komando Kali Palu (KKP), untuk memberitahukan kepada ibu
dan kakak iparnya (istri Sunaryo) agar membesuk ke penjara Donggala. Ibu dan
istri Sunaryo mendatangi penjara pada keesokan harinya. Mereka membawa kabar
kurang baik. Abd Rahman Dg Maselo, S Hairi Ruswanto, dan Sunaryo ternyata sudah
tidak berada di penjara Donggala. Kedua perempuan ini mendapat penjelasan dari
petugas penjara, bahwa kemarin sekitar jam tiga sore Sunaryo dan dua kawannya
telah dibon atau diambil oleh Letnan Satu Umar Said dibawa ke Palu untuk
diperiksa.
Ibu dan istri Sunaryo berupaya
melapor ke CPM tapi jawaban yang didapatkan bahwa CPM tidak tahu menahu, tidak
ada tahanan dari Donggala yang dibawa ke Palu. Setelah kejadian itu tidak
terdengar lagi kabar tentang keempat orang yang telah dihilangkan.
Setahun kemudian, Bantam
menderita penyakit usus buntu. Bantam pun memeriksakan diri ke dokter. Saat itu
belum tersedia alat-alat untuk melakukan operasi usus buntu di Palu. Bantam pun
memutuskan untuk melakukan operasi usus buntu di Manado. Setelah operasi,
bukannya sembuh, Bantam malah mengalami infeksi pada luka bekas operasinya yang
membuat Bantam absen selama 2 tahun dan akhirnya dipensiunkan dini.
Pada tahun 1975 terjadi gelombang
penangkapan keempat atas tuduhan gerakan PKI Gaya Baru dihembuskan. Komandan
Korem (Danrem) 132 Tadulako pada saat itu yaitu M. Roesli menginstruksikan
untuk menangkap dan menahan oknum-oknum yang dituduh terlibat PKI Gaya Baru.
Tuduhan Gerakan PKI Gaya Baru tersebut dialamatkan kepada mereka yang
diindikasi menyimpan buku-buku Marxis, memperlajari Marxis, dan menyebarkan
ajaran Marxis. Ketiga hal tersebut jelas bertentangan dengan Tap MPRS No: 25
Tahun 1966 tentang pembubatan, dan pelarangan berkembangnya ajaran Marxis di
Indonesia.
Umar Said yang menjadi dalang
penangkapan dan penghilangan para tapol ikut ditangkap daerah atas tuduhan
terlibat gerakan PKI Gaya Baru. Umar Said memberikan kesaksian bahwa Ahmad
Bantam yang mengeksekusi tiga orang tersebut. Menurut Umar Said, ketika ketiga
orang tapol ini ditembak oleh Bantam karena mencoba melarikan diri saat minta
izin untuk buang air kecil dalam perjalanan dari penjara Donggala untuk
dipindahkan ke penjara Palu.
Ahmad Bantam pun dijemput oleh
CPM untuk memberikan keterangan. Ahmad Bantam pun membeberkan kronologis
eksekusi yang sebenarnya yaitu sebelum ke penjara Donggala, mereka berhenti di
antara Watusampu-Loli dan di daerah itu Bantam bersama dua orang rekannya
diperintahkan oleh Umar Said untuk menggali dua lubang. Setelah selesai
menggali lubang, Bantam bersama dua rekannya menyusul dengan menumpang truk ke
penjara Donggala dan mendapati Umar Said sudah mengeluarkan ketiga tapol
tersebut untuk dibawa ke Palu. Umar Said datang bersama seseorang berpakaian
preman.
Dalam perjalanan pulang membawa
ketiga tapol tersebut ke Palu, mereka singgah kembali di tempat Bantam menggali
lubang. Karena letak lubang tersebut berada di atas bukit, maka Bantam disuruh
untuk menjaga mobil di pinggir jalan. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi
berisik seperti suara tembakan. Umar Said, dua rekan Bantam, dan orang
berpakaian preman tersebut kembali ke mobil namun ketiga tapol tersebut tidak
kembali lagi.
Setelah pernyataan Bantam
dikonfrontir dengan pernyataan Umar Said, Umar Said akhirnya mengaku bahwa ia
mendapatkan perintah dari Kodam 13 Merdeka Manado untuk membunuh empat (tiga
secara bersamaan, satu terpisah) orang tersebut. Setelah kejadian tersebut,
Bantam dibebaskan dari segala tuduhan. Dia mendengar kabar bahwa Umar Said
dipenjara. Namun tidak sampai setahun, Umar Said pun dibebaskan. Konon
kabarnya, Umar Said tidak terbukti terlibat PKI Gaya Baru tersebut.
Setelah dibebaskan, seluruh gaji
dan tunjangan Umar Said dibayarkan. Setelah itu Umar Said pulang ke Madura.
Bantam menjalani kehidupannya paska pensiun dini seperti orang biasa. Cerita
tentang pembunuhan tiga tahanan politik 1965 tersebut ditutupnya rapat-rapat
tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya. Rahasia tersebut disimpannya dengan
rapi selama puluhan tahun. Bantam ragu untuk mengungkapkan rahasia tersebut
apalagi dia tahu bahwa Orde baru dengan tentaranya begitu superior dengan
kekuasaannya. Dia kuatir jika rahasia itu diungkapkannya, bisa saja
membahayakan keselamatan diri dan keluarganya.
Puluhan tahun hidup Bantam didera
perasaan ragu dan bimbang. Di satu sisi, dia merasa perlu untuk memberitahu
keluarga ketiga orang yang hilang tersebut agar mereka tidak terus-terusan
mencari mereka dalam ketidakpastian. Tapi di satu sisi, dia takut untuk
membeberkan rahasia tersebut karena mengkuatirkan keselamatan diri dan
keluarganya.
Bantam dihadapkan pada pilihan
yang sulit antara berbicara atas nama kemanusiaan atau menyimpan rahasia ini
rapat-rapat. Namun keraguan itu pelan-pelan Bantam tepis. Bantam akhirnya
membuat keputusan untuk mencari keluarga ketiga orang yang dieksekusi tersebut.
Dia memutuskan untuk menceritakan perihal kematian tiga orang tersebut kepada
keluarganya.
Bantam yang telah pensiun dari
militer, bekerja di sebuah perusahaan yang sedang dalam proses membangun
Pelabuhan Pantoloan. Dengan pekerjaan baru tersebut, Bantam memutuskan untuk
pindah dari Lere ke Tawaeli. Ia memilih tinggal di daerah Salumbavo, Kelurahan
Baiya, berdekatan dengan pangkalan TNI AL. Dari beberapa orang masyarakat
sekitar, Bantam mengetahui bahwa salah satu dari tiga orang yang dieksekusi
tersebut memiliki keluarga di Tawaeli. Dia pun mencari tahu keberadaan keluarga
korban tersebut. Dari masyarakat dia mengetahui bahwa adik beserta ipar dari
Abd. Rahman dg. Maselo yaitu Andi Adi dg. Maselo dan Maid Halim berjualan di
Pasar Tawaeli. Bantam pun menemui kedua orang tersebut dan kemudian
menceritakan tentang peristiwa pembunuhan ketiga orang tersebut.
Mendengar cerita Bantam, Maid
awalnya tidak percaya karena saat itu berhembus kabar kalau Maselo dan dua
orang lainnya berhasil melarikan diri dengan menumpang kapal Rusia yang saat
itu berlabuh di pelabuhan Donggala. Desas-desus menyebutkan bahwa mereka lari
ke Jakarta. Ada juga yang mengatakan bahwa mereka lari ke Cina (RRC). Bantam
kemudian berusaha menyakinkan Maid bahwa Maselo beserta dua orang lainnya telah
dieksekusi di daerah antara Loli-Watusampu. Maid pun akhirnya percaya dan
mengatakan akan mengabarkan kepada istri dan anak Abd. Rahman dg. Maselo
mengenai kabar tersebut.
Pada tanggal 13 Maret 2013,
Bantam diundang oleh SKP-HAM Sulawesi Tengah beserta beberapa korban tragedi
1965/1966 dalam rangka pertemuan bulanan SKP-HAM Sulawesi Tengah. Dalam
pertemuan tersebut, Bantam dipersilahkan untuk menceritakan dengan jelas
mengenai kronologi eksekusi tiga orang pimpinan PKI tersebut. Dalam pertemuan
tersebut hadir pula Rahim Marhab, aktivis PKI yang juga merupakan suami dari
Ida Nusiploo. Ida merupakan istri dari Chaeri Ruswanto yang juga turut
dieksekusi bersama Maselo dan Sunaryo. Setelah suaminya “hilang”, ia menikah
dengan Rahim Marhab.
Setelah mendengar cerita dari Bantam,
para korban kemudian mencocokkan cerita tersebut dengan desas-desus yang
beredar. Dari situ diketahui bahwa jenazah ketiga pimpinan PKI ini dikebumikan
di halaman KOREM 132 Tadulako. Setelah selesai bercerita, Bantam mengatakan
bahwa dengan menceritakan peristiwa tersebut perasaannya sudah lega dan tenang.
Tidak ada lagi beban yang harus dipikulnya. Baginya, kebenaran suatu saat akan
terungkap. Ia berharap bahwa dengan cerita tersebut, keluarga mengetahui secara
pasti nasib dari ketiga orang tersebut sehingga tidak terus-terusan mencari.
Kini di hari tuanya, Bantam yang
dulunya tentara, menjalani rutinitas sebagai imam masjid dan tokoh masyarakat.
Rahasia yang dulu dia tutup rapat-rapat kini diketahui oleh khalayak. Baginya
itu bukan persoalan karena dia percaya bahwa dengan terungkapnya kebenaran, semuanya
akan menjadi lebih indah. Saat ini Bantam lebih memilih mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta sembari berharap bahwa kelak sejarah kelam negeri ini akan
terungkap. ***
(Tulisan ini pernah dimuat di
Jurnal ASASI edisi khusus tahun 2013)
0 Comments