Seorang pria paruh baya
mengenakan kaos polo bergaris dan celana pendek, nampak sibuk menata jala di
tiang jemuran dari bambu yang didirikannya. Ada sekitar enam batang jemuran
bambu berdiri menyangga jala yang panjangnya belasan meter tersebut.
Sambil menata jala di jemuran,
Akbar (53) mengecek ramuan dalam panci yang diletakkan di atas tungku. Buih dan
uap menyembul dari dalam panci ketika tutupnya dibuka. Nampak cairan mendidih
berwarna merah tua di dalamnya.
Akbar menjelaskan, ramuan
tersebut merupakan ramuan akar bakau, yang dalam bahasa Kaili dikenal dengan
nama Banggo. Banggo ini kata dia, banyak ditemukan di wilayah semenanjung
Banawa, juga kawasan Pantai Timur (Kabupaten Parigi Moutong).
“Akar Banggo ini direbus sampai
keluar warna merahnya. Setelah masak, ramuan ini dituang ke dalam perahu,
kemudian jala dicelupkan sedikit demi sedikit dalam ramuan tersebut, hingga
terkena ramuan seluruhnya,” jelas Akbar.
Menurut Akbar, ramuan akar Banggo
ini berguna untuk mewarnai juga memberi beban lebih pada jala, sehingga lebih
optimal dipakai untuk menangkap udang kecil, atau dalam bahasa lokal disebut
Lamale. Setelah diwarnai kata dia, warna yang ada bisa bertahan 7-10 hari,
kemudian setelah itu dilakukan pewarnaan kembali.
“Paling lambat 10 hari, kami
warnai ulang. Banggo yang kami beli berasal dari Lalombi, Kecamatan Banawa
Selatan, yang dijual di Buluri. Sebelum bencana, kami biasa beli Banggo dari
penjual yang mengambil di Pantai Timur. Sekarang yang dari Pantai Timur sudah
jarang, mungkin sudah dilarang diambil,” ujarnya.
Akbar adalah salah seorang
nelayan di pantai Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, yang mampu bertahan dan
bangkit pasca bencana gempa bumi dan tsunami meluluhlantakkan pantai yang
dulunya setiap sore menjadi tempat bersantai warga Kota Palu ini, pada 28
September 2018 lalu. Rumah Akbar yang terletak di Jalan Tembang, sekitar 200
meter arah selatan pantai, selamat dari amukan tsunami, namun mengalami
kerusakan yang lumayan parah, walaupun menurutnya masih dapat dihuni. Dirinya
masih lebih beruntung dari sejumlah nelayan lainnya, yang rumahnya habis
tersapu tsunami dan kini harus mendiami hunian sementara yang terletak di Jalan
Diponegoro.
***
Bachtiar (67), sedari tadi
memperhatikan tingkah pola Akbar mencelup jala di larutan ramuan yang telah
dituangnya di dalam perahu, lalu kemudian dibantu dua nelayan lainnya, menjemur
jala yang telah dicelupkan ramuan tersebut. Sore itu, Bachtiar dan anak
laki-laki satu-satunya, Anhar (38), yang juga berprofesi sebagai nelayan, asyik
memandangi aktivitas Akbar dan sejumlah nelayan lainnya, sambil menjaga
hamparan terpal berisi udang kecil yang dijemur untuk dikeringkan.
“Udang ini ada musimnya, biasanya
bulan Juli ini sampai tiga bulan kedepan. Kami turun pagi biasa kalau mau
memancing udang. Kalau harga jualnya, satu termos biasa dijual Rp150 ribu.
Dalam sehari, biasanya kami dapat sampai Rp300 ribu,” ujar Bachtiar.
Bachtiar dan Anhar adalah satu
dari sekian banyak nelayan di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, yang
kehilangan tempat tinggal, akibat diterjang tsunami yang meluluhlantakkan
pesisir Teluk Palu, 28 September 2018 lalu. Akibat bencana tersebut, Bachtiar
harus kehilangan istrinya, yang juga ibunda Anhar.
Saat ini, Bachtiar dan Anhar
bergabung bersama 200-an penyintas lainnya yang menghuni huntara yang terletak
di Jalan Diponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, atau sekitar 500
meter dari pantai. Ketika ditanyakan tentang kepastian relokasi ke hunian
tetap, Bachtiar tersenyum getir. Dirinya menyebut lokasi huntap Tondo, sebagai
lokasi yang mungkin menjadi tujuan relokasi dirinya bersama 205 penghuni
huntara tersebut.
Ayah lima anak ini mengakui,
sejatinya dirinya dan sejumlah nelayan lainnya, merasa berat jika harus
direlokasi ke Tondo. Lokasi huntap yang jauh dari pantai, belum lagi kenyataan
soal sulitnya akses air bersih dan ketakutan akan tidak menentunya jaminan
hidup yang diterima, menjadi pertimbangan Bachtiar untuk memilih tidak pindah.
“Kalau bisa, kami meminta
pemerintah agar dicarikan lokasi yang dekat dengan tempat kami mencari nafkah
di pantai ini. Pindah ke lokasi yang jauh dari pantai, cukup menyulitkan kami
untuk menyambung hidup, terlebih kami tidak ingin terus tergantung dengan
bantuan,” ujarnya.
Wacana pembangunan tanggul
penahan tsunami di Teluk Palu yang digulirkan oleh Pemerintah Provinsi Sulteng
bersama Kementerian PUPR dengan sokongan dana hibah dari Japan International
Cooperative Agency (JICA), juga telah diketahui oleh Bachtiar, Akbar, Anhar,
maupun nelayan lainnya di lokasi tersebut. Ketiganya mengaku, sejatinya menolak
rencana pembangunan tanggul tersebut, karena akan mematikan mata pencaharian
mereka.
“Semoga pembangunan tanggul ini,
ada lokasi yang disiapkan untuk tempat sandar perahu kami,” ujar Akbar.
Bachtiar yang menggantungkan
hidup dari hasil melaut mengatakan, dirinya sebenarnya menolak rencana
pembangunan tanggul penahan tsunami ini. Namun, dirinya juga kasihan dengan
warga yang rumahnya tidak terdampak tsunami tapi harus terkena dampak banjir
akibat pasangnya air laut, yang masuk hingga ke pemukiman mereka, akibat tidak
adanya tanggul.
“Mau bagaimana lagi, kami juga
kasihan dengan mereka. Di satu sisi, kami juga berpotensi direlokasi, karena
tidak dibolehkan lagi membangun di bekas rumah kami, yang katanya saat ini
masuk dalam zona merah,” ujarnya.
Sementara itu, Anhar,
mempertanyakan soal zonasi yang dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya, zonasi
ini hanya menguntungkan sebagian kalangan saja, bukan menguntungkan masyarakat.
Jika memang harus pindah nanti, jika masa tinggal di huntara sudah selesai,
pihaknya berharap mendapat lokasi relokasi yang tidak jauh dari pantai.
“Kalau jauh dari pantai, apa
gunanya kami diberi bantuan perahu ini, apalagi nanti kalau ada tanggul, tambah
susah kami melaut,” ujarnya gelisah.
***
0 Comments