Membahas tentang sejarah terkait
sosok Dato Karama di Lembah Palu, selalu menyimpan sebuah misteri yang menarik
untuk dipecahkan. Kali ini, kami akan membedah cerita kedatangan Dato Karama,
berdasarkan cerita yang dituliskan oleh Kruyt dan Adriani dalam buku De Baree
Sprekende.
Dalam cerita tersebut disebutkan,
pada saat kedatangan Dato Karama, istri Pue Nggari tengah dalam keadaan hamil.
Ketikan anak tersebut lahir, Pue Nggari mengirimkan beberapa utusan kepada Dato
Karama, untuk menanyakan nama yang baik bagi bayi ini. Dato Karama baru saja selesai
sembahyang, ketika utusan tersebut datang. Dato Karama pun bertanya “siapa
orang (siapa taoe (tau)) ”?
Para utusan menyimpulkan bahwa pertanyaan
ini adalah nama yang diberikan untuk anak Pue Nggari yang baru lahir dan segera
kembali. Namun dalam perjalanan, mereka lupa bahasa Melayu untuk kata orang,
dan menggantikannya dengan bahasa lokal untuk penyebutan orang, yaitu Taoe
(Tau), sehingga mereka menginformasikan kepada Pue Nggari, bahwa anaknya harus
diberi nama Sapataoe (Sapatau), yang kemudian La Pataoe, (Lapatau), nama yang
umum bagi putra seorang penguasa di lembah Palu.
Kemudian, pada suatu ketika, La
Pataoe menderita sakit dan Pue Nggari mengirimkan pesan kepada Dato Karama, bahwa
jika Dato Karama bisa menyembuhkan anak tersebut, Dato Karama boleh menyunat
anak itu. Datu Karama lalu datang untuk menyembuhkan anak tersebut. Dia mengambil
air lalu berdoa. Dia lalu memberikan air yang telah didoakan tersebut untuk diminum.
La Pataoe kemudian sembuh dan menjadi orang islam pertama di Palu. Setelah
kematian ayahnya, dia memindahkan pusat kekuasaan di pesisir pantai, tempat
kekuasaan Kerajaan Palu saat ini.
La Pataoe kemudian menikahi
sepupunya dan mendapat putra dari pernikahan ini, yang namanya tidak lagi
diketahui, karena tidak ada yang mengenalnya. La Pataoe kemudian menikah lagi
dengan salah seorang sepupunya, tetapi dari pernikahan ini tidak ada anak yang
lahir.
Atas saran Datu Karama, putra La
Pataoe dari pernikahannya yang pertama, pergi ke Minangkabau dan menikahi
seorang anak penguasa di sana, di mana dia punya beberapa anak. Kemudian dia
kembali ke Paloe kembali, di mana dirinya menyesali, banyak keluarganya yang
telah meninggal.
Dari kesepakatan umum di Paloe
(Palu), diputuskan bahwa anak perempuan dari anak La Pataoe (Patau) yang berada
di Minangkabau, dipulangkan ke Palu dan ketika kapal tiba di Palu, musik gong
telah diperkenalkan di Palu sejak saat itu.
Gadis ini kemudian menikahi putra
penguasa Kaili dan dari pernikahan ini menurunkan penguasa selanjutnya di Palu.
Dari cerita ini, kami coba mengkomparasikannya
dengan sejumlah silsilah, seperti Silsilah Kita Santina, Stamboom Magaoe Palu
tahun 1920 dan 1927, silsilah Pue Nggari versi Lando hasil dokumentasi
Nazarudin Pakedo, serta sejumlah silsilah lainnya.
Dalam stamboom dan silsilah versi
Lando misalnya, Pue Nggari disebut memiliki dua anak dari istri madika Lando.
Istri masika Lando ini sendiri, diidentifikasi sebagai Pue Puti, karena dalam
buku De West Toradjas op Midden Celebes, Pue Puti disebut berasal dari Lando.
Dua anak dari Pue Puti ini dalam silsilah tersebut bernama I Dato Labugulili
dan Busi Imbaso. Menurut versi De West Toradjas, pernikahan Pue Nggari dan Pue
Puti dikaruniai tiga orang anak perempuan, yakni Tuwundjamaja yang menikahi
Lomba dari Tatanga, Pue Balo yang tidak menikah, dan Daelani yang menikahi
Masigi dari Tatanga.
Jika diidentifikasi di sejumlah
silsilah seperti Stamboom 1920 dan 1927, Tuwundjamaja dapat diidentifikasi
sebagai adik Pue Bongo atau Panjuroro, karena dalam silsilah tersebut, Pue
Lomba disebutkan menikahi adik Panjuroro dan menurunkan Dae Langi yang
diidentifikasi sebagai Dae Ntalili, ayah dari Djalalembah. Hal ini setidaknya
mengidentifikasi, ada yang keliru, entah dari cerita yang ditransliterasi Kruyt
atau silsilah yang disusun tersebut.
Kemudian nama Pue Balo sendiri,
dalam stamboom 1920 dan 1927, tidak disebutkan sebagai anak Pue Nggari, namun
disebut sebagai anak dari Pue Lomba yang menikah dengan adik Panjuroro. Pue
Balo di sini disebut sebagai adik dari Dae Langi, yang diidentifikasi sebagai
Dae Ntalili. Hal ini mengindikasikan, beberapa kemungkinan, yaitu terjadi
kesalahan identifikasi yang dilakukan oleh Kruyt atau kesalahan pencatatan
dalam Stamboom.
Kemudian soal Daelani,
kemungkinan besar, terjadi kesalahan identifikasi, baik oleh Kruyt maupun Stamboom.
Karena dalam stamboom, Daelani (Dae Langi) disebutkan adalah seorang laki-laki
yang menurunkan Djalalembah. Dalam Silsilah Kita Santina, sosok laki-laki yang
menurunkan Djalalembah adalah Dae Ntalili, yang menikahi Dei Pailu, anak dari
Dei Panggewa yang disebutkan merupakan adik dari Panjuroro. Sementara itu, Dae
Lani di De West Toradjas, disebutkan menikah dengan Masigi, menurunkan Kodi
Palo.
Dari cerita di De West Toradjas,
tidak disebutkan Pue Nggari memiliki seorang putra. Kemungkinan terbesarnya,
sosok Lapatau tidak lagi dikenal oleh generasi di bawahnya, namun nama yang
sama digunakan untuk penamaan saudara Djalalembah yang menurunkan Radja Maili.
Sosok pertama yang menggunakan nama tersebut mungkin terlupakan, namun
kenyataannya, nama yang sama digunakan untuk penamaan generasi selanjutnya.
Kemudian, sosok Lapatau sendiri
tidak termuat dalam sejumlah silsilah terkait Kerajaan Palu. sejumlah silsilah
seperti Stamboom Magaoe Palu tahun 1920 dan 1927, hanya menyebut nama I Dato
Labugulili. Jika merujuk pada keterangan di De Baree Sprekende, sosok I Dato
Labugulili ini, disinyalir merupakan anak Lapatau yang berangkat ke
Minangkabau, menikah dengan anak penguasa di sana dan kembali ke Palu, beberapa
waktu setelahnya. Asumsi ini didasarkan pada gelar Dato yang disandang I Dato
Labugulili, yang lebih lekat dengan penyebutan Minang, daripada penyebutan khas
“selatan” seperti Datu. Asumsi ini sendiri masih butuh pembuktian secara
ilmiah, namun jika memang kemudian asumsi ini benar, berarti, ada satu generasi
yang hilang dalam penulisan silsilah Kerajaan Palu, yakni generasi Lapatau.
Kemudian, sosok cucu perempuan
Lapatau yang menikahi penguasa Kaili, inipun masih menjadi misteri. I Dato
Labugulili sendiri, yang diasumsikan sebagai anak Lapatau yang berangkat ke
Minang, dalam beberapa silsilah, memiliki tiga istri, yakni Dae Sabiba (Pue
Odo) yang merupakan Madika Biromaru. Dae Sabiba ini, menurut silsilah lainnya
yang disusun kembali oleh Andi Alimudin Rauf, adalah anak dari Muladu, Raja Gorontalo.
Muladu sendiri dalam arsip Tomini Landen, Posjo Todjo, disebut sebagai anak
dari Raja Houg Goa dan cucu dari Raja Limboto.
Pernikahan I Dato Labugulili
dengan Dae Sabiba, menurunkan Dae Malino (Indjola) yang kemudian menikah dengan
Malasigi Bulupalo dan menurunkan Lamakaraka. I Dato Labugulili juga menikahi
putri Magau Sigi, Garuda, yakni Daeasia (Inturo) dan menurunkan Dae Pangipi
(Madika Beli) yang menjadi Magau ke VI Tawaeli, lalu Habiba, Baesugi,
Pingganggingili yang menikah dengan Dae Ntalili, serta Lawawo yang mati muda.
Di Tawaeli, I Dato Labuguili juga diketahui menikahi Taopa, anak dari Bulangisi
(Daeng Kondang) penyebar Islam di Tawaeli. Pernikahan ini dikaruniai dua orang
anak, yakni Datumpedagi (Pue Oge Nganga) dan Djumpulemba (Pue Ratovo).
Dalam silsilah I Dato Labugulili,
tidak dijelaskan bahwa ia memiliki istri atau anak dari Minang. Ada beberapa
kemungkinan, pertama, seperti yang dikatakan Kruyt, tidak ada lagi yang
mengetahui kisah ini, sedangkan kemungkinan kedua, I Dato Labugulili bukanlah
anak laki-laki Lapatau yang dimaksud. Kemungkinan selanjutnya, I Dato Labugulili
adalah anak dari cucu perempuan Lapatau yang pulang dari Minangkabau dan
menikah dengan putra penguasa Kaili?
Berkaitan dengan sosok Dato Karama, tidak ada yang menyangsikan jika Abdullah Raqie bergelar Dato Karama, adalah sosok pertama yang menerima gelar tersebut, sebagai mubaligh yang menyebarkan Islam di lembah Palu. kedatangannya pun dikisahkan oleh Kruyt dan Adriani dalam De Baree Sprekende, dengan cerita bahwa kedatangan Abdullah Raqie, teridentifikasi oleh laporan seorang petani garam yang melihat Abdullah Raqie sedang salat di atas sajadah, di tepi pantai.
Sementara itu, Muh Djaruddin Abdulah, dalam bukunya, Mengenal Tanah Kaili, yang terbit tahun 1975 menuliskan, kedatangan Dato Karama terjadi saat malam hari. dari jauh, telah dibunyikan 'tabea'tanda memberi penghormatan, dengan dentuman meriam sebanyak 3 kali. lalu disusul bunyi gong tanda selamat dalam perjalanan. Kedatangan Dato Karama dan rombongan ini, disambut oleh Pue Njidi.
Menjadi pertanyaan kemudian, terkait versi ini, apakah kedatangan Dato Karama sudah diketahui sebelumnya, sehingga dilakukan penyambutan? atau mungkinkah sosok yang disebut Dato Karama ini, merupakan orang Palu yang kembali ke kampung halaman, setelah merantau ke Minangkabau?
Hal ini dapat diidentifikasi dengan istilah penyebutan Karampe sebagai istilah untuk menamakan lokasi terdamparnya perahu Dato Karama. Karampe sendiri selama ini dimaknai sebagai kata istilah untuk menggambarkan perahu yang karam. sedangkan menurut kamus Kaili Ledo karya Donna Evans, istilah karam atau tenggelam dalam bahasa Kaili Ledo disebut Natala. Rampe sendiri, dalam kamus tersebut, diartikan sebagai istilah 'menyebut nama' atau nerampe.
Dari cerita tentang Dato Karama di De Baree Sprekende, dapat kita lihat bahwa anak laki-laki Lapatau merantau ke Minangkabau, untuk menikah dengan anak penguasa di sana. terdapat kemungkinan, anak laki-laki Lapatau inilah sosok yang disebut-sebut namanya (nirampe/nerampe), karena diketahui akan segera pulang ke kampung halamannya. Kemungkinan kedua, versi kedatangan Dato Karama yang dituliskan oleh Kruyt dan Adriani maupun Muh Djaruddin Abdullah, harus dikaji kembali keakuratan sumbernya datanya.
0 Comments