Siapakah I Dato Labugulili?

Siapakah I Dato Labugulili?

Siapakah sebenarnya sosok I Dato Labugulili, Magau kedua Kemagauan Palu, yang disebut sebagai anak dari pendiri Kemagauan Palu, Pue Nggari? Bagaimana sejarah perjalanan hidupnya dan mengapa di depan namanya terselip gelar Dato?


Riwayat tentang sosok yang satu ini terbilang sangat sedikit. Namanya tersemat dalam silsilah Kemagauan Palu yaitu Stamboom Magaoe Palu yang dibuat tahun 1927, sebagai anak dari Siralangi, Madika Kamonji dan saudara dari Imbaso. Siralangi sendiri diyakini merupakan podaenga (nama lain) dari Pue Nggari.

Di Silsilah Kita Santina yang disusun oleh Moh Noor Lembah tahun 1985, Labugulili disebut menikah dengan Daeasia (Pue Kuru Kire), Magau ke IV Tawaeli, yang diperkirakan memerintah antara tahun 1667-1697. Daeasia merupakan anak dari Garuda, Madika Sigi dan Dg Sareme, anak pertama Yuntonulembah (Langgo), Magau ke II Tawaeli, yang diperkirakan memerintah antara tahun 1575 hingga 1605.

Garuda sendiri menurut silsilah Kalindjo (Tompu) yang disusun oleh EF Podung, tanggal 9 Oktober 1981, merupakan cucu dari Linggulare dan Kalindjo. Linggulare dalam siisilah tersebut, disebutkan adalah Dayo Mpoluku. Dayo Mpoluku merupakan makam dari Mantikulore (Pajoe Gadera), yang merupakan kakak laki-laki dari ibu Lawegasi Bulava (Pue Nggari), Sodu Bulava.

Dalam Stamboom Sigi yang disusun tahun 1927, Garuda disebutkan sebagai anak Pue Peoro (kemungkinan Pue Peoro adalah Pengabulava atau pasangannya). Disebutkan dalam silsilah tersebut, Garuda memiliki dua saudara yaitu Bakakeke dan Bakabinggi. Bakakeke yang menikah dengan Iratonda menurunkan Lolontomene, yang menurunkan Dg Masiri dan Dindilembah. Dindilembah (Pue Mpoija) yang disebut sebagai Madika Malolo Sigi, menikah dengan Yahasia Andi Tondra, saudara perempuan Yangge Bodu Andi Tondra, Magau VII Tawaeli, yang memerintah antara 1800 hingga 1900. Perkawinan ini menurunkan Karandjalembah (Toma I Dompo), Wetoi Tungka Daetarende Mutia Simpa Daenisobu (I Tondei/Pue Langa) yang menikah dengan Magau Palu, Yodjokodi, Adi Bulava (Yole Kodi) yang menikah dengan Djaelangkara, Magau VIII Tawaeli, yang memerintah antara 1900 hingga 1906, serta Tangindjamaya.

Daeasia (Pue Kuru Kire), diangkat menjadi Magau ke IV Tawaeli, karena sang adik, Dg Djanuddin, tidak bersedia menjadi raja. Dg Djanudin memiliki tiga orang istri, yaitu Yasaudji (Madika Biromaru), madika lambuno Moutong, dan Ntina Panau, yang menurunkan Radjalembah (Lovengau), murid dari Daeng Konda (Bulangisi).

Selain menikah dengan Daeasia (Pue Kuru Kire), dalam Silsilah Kita Santina, Labugulili juga disebutkan menikah dengan Taopa, anak dari Bulangisi. Pernikahan ini menurunkan Datumpedagi (Pue Oge Nganga) yang menjadi Madika Matua pada masa pemerintahan magau ke VI Tawaeli Dg Pangipi (Madika Beli), yang memerintah antara tahun 1759-1800. Selain itu, Datumpedagi juga dikenal sebagai salah satu tokoh Islam yang merupakan imam pertama Masjid Jami Tawaeli. Datumpedagi juga tercatat pernah menjadi Wali Magau (Pelaksana Harian), saat keponakannya yang baru berusia 12 tahun, Yangge Bodu Andi Tondra, diangkat menjadi Magau ke VII Tawaeli di tahun 1800.

Kembali ke sosok Labugulili, selain terekam dalam dua silsilah yaitu Stamboom magaoe Palu 1927 dan Silsilah Kita Santina, asal usulnya juga terekam dalam silsilah Lando, yang menyebutkan Labugulili adalah anak Daelangi (Daelani?). Dalam Silsilah Kita Santina, disebutkan Daelani (Dei Bulava) merupakan istri kedua Pandjuroro (Pue Bongo) yang menurunkan Malasigi (Bulu Palo). Dalam silsilah tersebut, Daelani tidak disebutkan asal usul Daelani. Namun dalam Stamboom Magaoe Palu 1927, kita dapat mengidentifikasi sosok Daelani dengan nama yang berbeda. Dalam silsilah tersebut, disebutkan, putri Siralangi dan Madika Lando yang bernama Imbaso, menikah dengan Pandjuroro dan menurunkan Malasigi. Jika melihat hal tersebut, maka dapat diasumsikan Imbaso adalah Daelani yang dimaksud dan dapat diasumsikan, Daelani adalah saudara dari I Dato Labugulili.

Namun dalam Stamboom tersebut, Daelani (Daelangi), disebutkan merupakan anak dari Pue Lomba, Madika Tatanga dan adik Pue Bongo. Daelangi disebutkan menikah dengan I Gili, Madika Labuan, menurunkan Dg Marota, Djalalemba, Lamoenta (Lemuinta) dan I Wanga. Sedangkan dalam Silsilah Kita Santina, Djalalemba adalah anak Dei Pailu dan Dg Ntalili, Madika Tatanga. Dei Pailu disebutkan adalah anak Dei Panggewa dan Madika Sidondo. Dei Panggewa adalah anak Royambulava (Dandilia) dan Iralavalemba (Madika Bangga). Royambulava merupakan anak dari Mpuselembah dan Sangapinile (Pue Bola). Mpuselembah merupakan anak Mambanga (Guru Bulava), Madika Karama Labuan sedangkan Sangapinile merupakan anak Saremaburi (Pue Kede Nganga) dan Dg Mbasu. Saremaburi merupakan cucu dari Siolemba, Langganunu ke III Boya Peramba yang berkedudukan di Bomba.  

Jika melihat versi Santina dan dicocokkan dengan versi Stamboom, maka adik Pue Bongo yang dinikahi oleh Pue Lomba, mungkin saja adalah Dei Panggewa dan Dei Pailu, mungkin saja adalah Daelangi yang dimaksud. Namun, di silsilah Santina, Suami Dei Panggewa adalah Madika Sidondo, bukan Pue Lomba, Madika Tatanga.  

Dalam silsilah ini juga disebutkan, Dg Ntalili juga menikah dengan Pinggagingili (Pue Mbaso), anak keempat Labugulili. Pernikahan itu menurunkan Sinugale (Pue Mpanji) yang menikah dengan Rapalembah dan menurunkan Goba, Padamani, Kunggu, Doda Intan, Dg Manota yang menikah dengan Kolomboy, serta Sinologi. 

Dalam buku De West Toradjas op Midden Celebes, Kruyt menjelaskan, pernikahan Lawegasi Bulava (Pue Nggari) dan Pue Puti menurunkan tiga orang anak yaitu Tuvu Njamaja, Pue Balo, dan Daelani. Kruyt menyebutkan, Daelani disebut menikah dengan Masigi dari Tatanga, menurunkan Kodi Palo. Adapun Tuvu Njamaja, adalah anak Pue Nggari dan Pue Puti yang disebut menikahi Lomba (Pue Lomba) dari Tatanga. Versi Kruyt ini mengindikasikan sejumlah hal, pertama, Tuvu Njamaja mungkin saja adalah istri lain dari Pue Lomba, atau malah ada indikasi kekeliruan dalam penyusunan Stamboom. Kedua, Daelani yang dimaksud Kruyt, mungkin saja bukan Daelangi yang merupakan anak Pue Lomba, namun malah Imbaso, saudara Labugulili. Kemungkinan kedua ini lebih mendekati versi Kruyt.

Dalam buku tersebut, dijelaskan juga bahwa Iralavalembah (Ralawa) memiliki empat orang anak, yaitu Pandjuroro dan Pue Balo. Pandjuroro disebut menikah dengan Pue Mbaso (Imbaso) sedangkan Pue Balo menikah dengan Pue Pomada dari Kaili. Dua saudara Pandjuroro lainnya yaitu Pue Panggetundu dan Pue Loli. Pue Panggetundu menikah dengan Vatutela dan menjadi Penguasa Tawaeli, sedangkan Pue Loli, disebut menetap di Palu dan menikah dengan Pue Lomba dari Tatanga.

Melanjutkan asumsi di atas, mungkin saja Pue Loli ini adalah ibu dari Daelangi yang dimaksud dalam Stamboom Magaoe Palu. Namun, asumsi bahwa anak Pue Nggari, Daelani, adalah orang yang sama dengan Daelangi, perlu ditelusuri kembali. Dalam Stamboom, Daelangi disebut sebagai magau Palu ke III menggantikan Labugulili. Pengganti Labugulili ini bisa saja saudaranya yaitu (Imbaso, yang diasumsikan adalah Daelani) atau Daelangi.

Kembali ke soal Labugulili, saya sampai saat ini masih berasumsi jika suami Daeasia ini adalah cucu dan bukan anak dari Pue Nggari. Ada dua hal yang mendasari asumsi ini, pertama, Kruyt meriwayatkan, Pue Nggari memiliki anak laki-laki bernama Lapatau, pada saat kedatangan Dato Karama (Abdullah Raqi) di sekitar 1605. Dalam riwayat tersebut, diceritakan anak laki-laki tersebut menderita sakit dan tidak ada yang mampu mengobati. Pue Nggari pun disebut meminta bantuan Dato Karama untuk mengobati anak tersebut, dan setelah meminum air putih yang telah dibacakan doa oleh Dato Karama, anak laki-laki tersebut pun sembuh. Adapun Pue Nggari, saat Dato Karama mengobati sang anak, bernazar bahwa jika sang anak sembuh, maka anak tersebut akan diikutkan kepada Dato Karama untuk memperdalam agama di negeri Minang. Setelah beberapa lama anak laki-laki tersebut di berada di Minang, diriwayatkan ia pun kembali ke Lembah Palu dan mendapati keluarganya tidak ada lagi dan telah meninggal dunia.

Dari cerita tersebut, jika dikaitkan dengan riwayat kedatangan Dato Karama dengan atribut lengkap bersama sanak keluarga menggunakan Kapal Kora-Kora, yang disambut oleh Pue Njidi, maka saya mengasumsikan, mubaligh bergelar Dato Karama yang disambut oleh Pue Njidi tersebut adalah I Dato Labugulili. Mengapa demikian? Dalam riwayat tersebut, tidak disebutkan apakah Dato Karama setelah pulang ke Minang, kembali lagi ke Lembah Palu. dan jika melihat rentang periode (merujuk pada Silsilah Kita Santina), Pue Nggari mungkin saja sezaman dengan Magau II Tawaeli, Yuntonulembah (1575-1605) atau Magau III Tawaeli, Daesalembah (1605-1667).

Menurut Abdi Losulangi, dalam riwayat silsilah Loli dan Mandar, Pue Njidi merupakan adik sepupu Pue Nggari, dengan rentang usia yang terpaut cukup jauh. Ayah Pue Njdi, diketahui merupakan saudara dari Sodu Bulava, ibu Pue Nggari. Dengan usia yang terpaut cukup jauh tersebut, rasional jika Pue Njidi, sebagai orang tua yang tersisa dalam keluarga, yang kemudian menyambut Dato Karama (Labugulili), yang sudah diketahui berita kedatangannya. Istilah Karampe sendiri menurut Mohamad Herianto, bukan berarti karam, namun dari asal kata Rampe (mengingat), dengan alasan, di kawasan tersebut, keluarga menanti kedatangan keturunan Lapatau, yang selalu diingat-ingat oleh keluarga di Lembah Palu.

Kedua, jika jalur silsilahnya ditarik ke atas, Labugulili dan istrinya, Daeasia, berasal dari leluhur yang sama, yaitu Sandilana, yang menikah dengan pria Mandar bernama Sambarani, yang merupakan keturunan campuran Sendana-Balanipa. Sandilana menurunkan Pajoe Gadera (dalam silsilah Loli disebut Pinju Gadera) atau yang lebih dikenal dengan Mantikulore, yang menurunkan Pengabulava, Pengabulava kemudian menurunkan Garuda, yang menurunkan Daeasia dan Dg Djanuddin.

Adik dari Pajoe Gadera (Pinju Gadera), yaitu Sodu Bulava, yang menikah dengan Sompoa (Pue Kalindjo), menurunkan Lawegasi Bulava (Pue Nggari), yang menikah dengan Pue Puti. Dalam De West Toradjas op Midden Celebes, pernikahan ini menurunkan tiga orang anak perempuan yaitu Tuvunjamaja, Pue Balo, dan Daelani. Namun dalam tulisan Kruyt lainnya (Van Poso Naar Parigi, Sigi en Lindu atau De Baree Sprekende?), sebagaimana diriwayatkan oleh Hans Hagerdahl, Pue Nggari memiliki seorang anak laki-laki bernama Lapatau. Besar kemungkinan, saat melakukan penelusuran di tahun 1897 di Lembah Palu, Kruyt tidak mendapatkan informasi tentang Lapatau, karena Lapatau memang telah meninggalkan Lembah Palu sejak kecil, di sekitar 1600an awal.

Jika dilihat dari jalur silsilah tersebut, Daeasia merupakan cicit dari Mantikulore (Linggulare) dan cucu dari Penggabulava. Dari sini, besar kemungkinan, Labugulili adalah cicit dari Sodu Bulava dan cucu dari Pue Nggari. Jika Labugulili adalah anak Pue Nggari, maka Daeasia adalah keponakan dari Labugulili. 

Post a Comment

0 Comments