Sedikit Cerita Dari Penelusuran Kampung Tua di Tawaeli

Sedikit Cerita Dari Penelusuran Kampung Tua di Tawaeli

Berangkat dari rasa penasaran akan peradaban Tawaeli sebelum masa kerajaan, saya berinisiatif mencari tahu jejak peradaban tersebut, lewat peninggalan sejarah, salah satunya adalah makam. Dengan secuil informasi dari Bapak Sofyan Farid Lemba (Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sulteng), yang juga putra asli Tawaeli, soal keberadaan makam salah satu magau di Kemagauan Tawaeli, yaitu Magau Daesalemba (Pue Baka Tolu). 
    
Di Silsilah Kita Santina revisi tahun 1985 yang disusun oleh Muh Noor Lembah, menyatakan bahwa Daesalemba, anak dari Rendanuama dan Daeng Pabila, merupakan Magau ke III Tawaeli, yang memrintah antara tahun 1605-1667. Rendanuama sendiri merupakan adik kandung dari Magau II Tawaeli, Yuntonulemba (Langgo), yang memerintah antara tahun 1575-1605. Keduanya merupakan anak Manukaluli (Marukaluli), Langganunu ke V, yang berkedudukan di Boya Peramba.     


Menurut beliau, makam Daesalemba tersebut berada di kilometer 5 jalan trans Palu-Parigi, di Desa Nupabomba, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala. Menurut beliau, makam tersebut sudah rata dengan tanah, tapi tetua adat sekitar masih ada yang mengetahui letak pastinya.

Berangkat dari informasi yang terbilang minim tersebut, saya pun berangkat menyusuri jalan trans Palu-Parigi. Pemberhentian pertama saya adalah di rumah Ketua Adat Desa Nupabomba, Abdul Latif. Dari kediaman beliau, saya tidak mendapatkan informasi pasti tentang keberadaan makam tersebut. Bahkan, mereka menyatakan tidak mengetahui nama Daesalembah.

Setelah menjelaskan ciri-ciri makam yang dimaksud, hanya ada satu informasi yang didapatkan yaitu ada sebuah makam di sekitar kilometer lima, yang terletak di pinggir jalan, dulunya makam tersebut tidak memiliki nisan, namun belakangan, ada pihak yang merenovasi makam tersebut, yaitu Bapak Darlan Gerua, Kepala SD Inpres 11 Liku.

Berbekal informasi tersebut, saya pun melanjutkan penelusuran ke kediaman Bapak Darlan Gerua. Penelusuran informasi terkait makam yang sama maksud pun menemui jalan buntu, karena ternyata menurut beliau, makam yang terletak di pinggir jalan tersebut, bukan makam Daesalembah, namun merupakan makam Bulu Sumba, yang menjabat sebagai Togelele, di masa kekuasaan salah seorang Langganunu. Langganunu sendiri merupakan gelar bagi pemimpin di wilayah perkampungan tua di kawasan pegunungan di sebelah timur dataran Tawaeli, sebelum gelar magau dipopulerkan sebagai gelar bagi pemimpin/raja. Gelar magau sendiri diyakini merupakan hasil akulturasi budaya dari”selatan” ke kerajaan-kerajaan atau wilayah-wilayah kekuasaan tradisional di Lembah Palu dan sekitarnya.

Langganunu sendiri berasal dari dua suku kata bahasa Kaili dialek Rai, yaitu Langga yang berasal dari kata Nilangga yang berarti diangkat atau ditinggikan, serta kata Nunu yang berarti pohon Beringin, yang memiliki makna filosofis, mengayomi dan melindungi. Jadi, gelar Langganunu sendiri dapat diartikan sebagai pemimpin yang ditinggikan, yang mengayomi dan melindungi rakyatnya.

Togelele sendiri dalam stuktur pemerintahan di masa perkampungan tua tersebut, memiliki makna sebagai pelaksana pemerintahan atau setara Madika Matua dalam struktur kemagauan. Adapun struktur pemerintahan di masa Langganunu meliputi, Langganunu sebagai kepala pemerintahan, Datu Oge sebagai wakil kepala pemerintahan, Togelele sebagai pelaksana pemerintahan, Toma Oge sebagai penguasa kampung/ngapa/boya, Tanggarene sebagai penghubung kampung, Mpolele sebagai bagian penerangan/penyebar informasi, Vulutumba yang mengurusi pertanian, Sobo sebagai penentu waktu bercocok tanam, Panjunju sebagai pembantu Sobo, serta Togurana Nu Ada sebagai tetua adat.

Di masa Langganunu, pusat perkampungan tua yang ada, seringkali berpindah tempat, walaupun masih dalam satu wilayah yang luas, yang dinamakan Boya Peramba. Pada masa Langganunu I, Yanggamba berkedudukan di Ranomalei, sebuah kawasan di sekitar sebuah danau yang di dasarnya berwarna merah seperti darah. Menurut Darlan Gerua, Ranomalei dapat dicapai dengan menyusuri Sungai Tawaeli ke arah timur, dengan waktu tempuh sekitar sehari. Lokasi perkampungan tua ini juga dapat dicapai dari Tanjung Angin, di jalur Trans palu-Parigi, di wilayah Kebun Kopi, dengan medan jurang yang cukup terjal. Darlan menyebut, kawasan ini berbatasan dengan Marantale, Kabupaten Parigi Moutong.

Menurut Darlan, di kawasan tersebut terdapat sebuah batu berbentuk kapal dengan rongga di dalamnya berbentuk seperti kamar-kamar, yang bisanya digunakan oleh para pengambil rotan untuk beristirahat. Batu berbentuk kapal tersebut, diyakini sebagai kapal milik Sawerigading.

Langganunu ke II, Djaelangga, memindahkan pusat kekuasaan ke wilayah Bodi, yang saat ini merupakan salah satu dusun di Desa Nupabomba. Djaelangga digantikan oleh cucunya, Pialembah (Siolembah), sebagai Langganunu ke III, yang memindahkan pusat kekuasaan ke Bomba. Bomba sendiri kini merupakan wilayah gabungan beberapa dusun di Desa Nupabomba, yang terdiri dari kawasan perbukitan.

Sebelum Pialembah memindahkan pusat kekuasaan ke Bomba, ibunya yang bernama Patjilangi, memindahkan pusat kekuasaan dari Bodi ke kawasan Matijoe di sebelah timur Bomba, di mana kawasan tersebut kini ditandai dengan adanya sebuah air terjun. Patjilangi yang merupakan anak Djaelangga, menikahi Madika Kolaka, yang kini masuk dalam wilayah Sulawesi Tenggara, Dae Kanawe (Konawe). Hal ini mengindikasikan, di masa tersebut sudah terjalin kontak antara Kolaka dan Boya Peramba, yang diperkirakan terjadi di sekitar tahun 1400an atau pada abad ke 15.

Di Kolaka sendiri sejak abad ke 13 telah berdiri sebuah kerajaan dengan wilayah mencakup Kolaka Raya, yaitu Kerajan Mekongga. Kerajaan ini didirikan oleh dua bersaudara, Sangia Larumbalangi dan saudaranya, Wekoila. Jika diasumsikan kontak antara Boya Peramba dan Mekongga terjadi di awal abad 15, maka saat itu, Kerajaan Mekongga dipimpin oleh Sangia Lagaliso (1380-1430), yang dilanjutkan Sangia Lamba-Lambasa/Rumbalasa (1430-1490).

Pialemba (Siolemba) digantikan oleh adik perempuannya, Basanuama (Basanurina) sebagai Langganunu ke IV, dengan pusat kekuasaan di Bomba. Basanuama kemudian digantikan oleh Manukaluli (Marukaluli) sebagai Langganunu ke V. Manukaluli merupakan cucu Siolembah dan anak dari Rondjala (Pondjala) dengan Daeng Mangulu Pembalata, Madika Bora Pantoloan.

Pada masa pemerintahan Marukaluli, pusat kekuasaan dan pemerintahan dipindahkan dari Bomba ke dataran rendah di sebelah barat yang banyak ditumbuhi pohon Kaili. Dataran luas tersebut kini terbagi atas dua kelurahan, yaitu Kelurahan Lambara dan Kelurahan Panau. Banyaknya pohon Kaili yang tumbuh di dataran tersebut, melahirkan nama Tavaili yang berasal dari kata Tava Kaili yang artinya daun dari pohon Kaili.

Selain memindahkan pusat pemerintahan, Marukaluli juga merupakan orang pertama yang menciptakan motif bunga dari daun Bomba di kain Ivo, kemudian di kain sutera, sehingga populer sampai sekarang disebut Sarung Bomba (Vuya Bomba).

Marukaluli digantikan oleh adik laki-lakinya, Labulemba. Pada masa Labulemba, struktur pemerintahan dirubah menjadi struktur kemagauan. Labulemba sebagai Magau Tawaeli pertama, memiliki gelar Madika Tonavu Jara. Labulemba diperkirakan memerintah antara tahun 1550-1575.

Di masa Magau Labulemba, beliau menginstruksikan kepada penduduk yang masih bermukim di kawasan pegunungan dan perbukitan, untuk bermigrasi ke dataran Tawaeli. Pada masa pemerintahannya, Tawaeli juga telah menjalin kontak dengan kawasan Sigi dan Palu. Jika dirunut secara periodik, masa pemerintahan Labulembah diperkirakan sezaman dengan nenek Pue Nggari, Sandilana.

Magau Labulemba digantikan oleh keponakannya, Yuntonulemba (Langgo), sebagai Magau ke II Tawaeli, yang memerintah antara tahun 1575 sampai 1605. Yuntonulemba (Langgo) merupakan anak dari Marukaluli. Dalam Silsilah Kita Santina, Yuntonulemba disebut sebagai pembaharu struktur pemerintahan di Kemagauan Tawaeli, dengan pengaruh yang didapatkannya setelah pulang dari Bone dan Luwu. Pada masa pemerintahannya, dikisahkan juga terjadi perang antara Tawaeli dengan Palu, di mana pihak Tawaeli dibantu pihak Sigi. Perang ini sendiri dikisahkan, dimenangkan oleh Tawaeli dan Sigi.

Yuntonulemba digantikan oleh keponakannya, Daesalemba sebagai Magau ke III. Masa kepemimpinan Daesalemba yang diperkirakan antara 1605-1667, diprediksi bersamaan dengan masa pemerintahan Pue Nggari, saat bermigrasi dari Vonggi dan mendirikan Kemagauan Palu.


Daesalembah dikenal sebagai magau Tawaeli pertama yang memeluk Islam, seiring dengan kedatangan ulama asal Mandar, Daeng Kondang bergelar Pue Bulangisi, yang diyakini merupakan murid Syekh Yusuf di Gowa. Daesalembah pula yang memindahkan pusat pemerintahan ke Sampaga Biru Liku (sekarang Dusun Liku, Kelurahan Lambara).   

Post a Comment

0 Comments