Jejak Diaspora Cikoang di Tawaeli

Jejak Diaspora Cikoang di Tawaeli

KETFOT: Makam Tua Sari, salah satu keturunan komunitas 
Cikoang di kompleks pemakaman Raja-raja Tawaeli di 
belakang Masjid Jami Tawaeli, Kelurahan Panau, Tawaeli. 
FOTO: JEFRIANTO  
Interaksi Tawaeli Dengan Dunia Luar: Sebuah Pengantar

Sejak masih berstatus sebagai sebuah Langganunu hingga beralih menjadi sebuah Kagaua/Kemagauan, wilayah Tawaeli (baca:Tavaili) tercatat menjalin interaksi dengan sejumlah wilayah kerajaan besar di sekitarnya. Interaksi yang terjadi ini, sebagian besar melalui proses perkawinan.

Menarik untuk melihat interaksi antara Tawaeli dengan dunia luar, terutama dengan wilayah-wilayah kerajaan besar di Sulawesi seperti Bone, Luwu, Gowa, Mandar, bahkan wilayah-wilayah di luar Sulawesi seperti Sumatera hingga Johor.   

Dalam Silsilah Kita Santina yang disusun Moh Noor Lemba pada tahun 1985 tercatat, interaksi pertama antara Tawaeli dengan dunia luar terjadi saat Madika Matijoe, Patjilangi, anak dari Langganunu I, Yanggamba, menikah dengan Dae Kanawe (Konawe), yang disebut sebagai Madika dari Kolaka. Kolaka sendiri merupakan salah satu wilayah di Sulawesi Tenggara. Hal ini mengindikasikan, hubungan antara Tawaeli dengan dunia luar, sudah mulai terjalin sejak pusat pemerintahan masih berada di wilayah perbukitan. Jika dianalisis lebih jauh, kemungkinan besar perkawinan tersebut terjadi di sekitar 1400an atau abad ke 15.


Saat status Tawaeli berubah menjadi sebuah Kagaua/Kemagauan, Magau ke II, Yuntonulemba (Langgo), tercatat pernah berkunjung ke Bone dan Luwu. Kepulangannya dari dua wilayah kerajaan besar di Sulawesi tersebut, mengilhami pembaharuan konsep pemerintahan dari Langganunu menjadi Kagaua/Kemagauan. Besar kemungkinan, Yuntonulemba mengunjungi kedua kerajaan tersebut, saat pamannya, Labulemba (Madika Tonavu Jara) masih menjabat sebagai magau. Diperkirakan, perisitwa tersebut terjadi di sekitar 1550an hingga 1575.

Pada saat Yuntonulemba menjabat sebagai magau, dikisahkan terjadi perang antara Tawaeli dan Palu. Wilayah Palu yang disebutkan berperang dengan Tawaeli adalah mereka yang bermukim di Pegunungan Ulajo, yang menjadi cikal bakal masyarakat Tatanga. Kruyt dalam bukunya, De West Toradjas op Midden Celebes mengungkap, dalam perang yang dimenangkan oleh Tawaeli dan Sigi tersebut, Mandar (To Mene) yang disebut membantu Palu, menuntut balas atas kekalahan mereka. Armada perang Mandar di bawah pimpinan tiga panglima yaitu Toniwosea, Magau Djanggo dan Pueta Karikatji (Pataikaci) berlabuh di Teluk Palu untuk menyerbu Tawaeli, namun akhirnya mengurungkan niat setelah disodorkan budak dan emas sebagai hadiah.

Interaksi antara Mandar dan Tawaeli juga terjadi saat kedatangan Daeng Kondang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pue Bulangisi, untuk menyebarkan Islam di Tawaeli, di masa pemerintahan Magau ke III Tawaeli, Daesalemba, pada sekitar 1600an awal. Keturunan dari Bulangisi juga tercatat menikah dengan raja atau keluarga raja di Lembah Palu, seperti Taopa, anak Bulangisi yang menikah dengan Magau II Palu, I Dato Labugulili. Selain itu, cucu Bulangisi, Limaeni, menikah dengan Gondalangi, keturunan dari Datumpedagi (Langgo).

Interaksi dengan Mandar juga dapat dilihat saat Magau ke V Tawaeli, Mariama Daesalemba menikah dengan Dg Patopo, Madika dari Mandar. Anak dari saudara Mariama, Pengadila Daesalemba, yaitu Hamima, juga menikahi Madika Mandar yaitu Dg Malawa.

Di masa Yuntonulemba, juga terjadi interaksi dengan Johor, saat saudara perempuan Yuntonulemba, Dg Ligude, disebut menikah dengan puteri Johor. Namun Kruyt, dalam De  West Toradjas op Midden Celebes mengatakan, Dae Legoede (Dg Ligude) ditangkap oleh perampok laut (perompak) dan tidak pernah kembali ke tanah kelahirannya. Johor sendiri sejak 1500an dikenal sebagai wilayah persimpangan jalur perdagangan di selat Malaka.

Dalam Silsilah Kita Santina disebutkan, pernikahan Dg Ligude dengan puteri Johor tersebut dikaruniai seorang puteri yang menikah dengan Syekh Djalaludin Al Idrus dari Baghdad, Irak. Pernikahan ini dikaruniai dua orang anak yaitu Husain yang digelari Toposakaya Ompa yang berlabuh di kawasan Ipi Kadongo (Kelurahan Panau saat ini) dan Alwi yang kemudian bermukim di Ternate.

Interaksi selanjutnya dengan dunia luar terjadi saat Andi Tondra (La Tonda), cicit dari Puang Tjamba, salah satu bangsawan Bone, menikahi Magau VI Tawaeli, Dg Pangipi (Madika Beli) yang kemudian menurunkan Magau ke VII Tawaeli, Yangge Bodu.   

Kagaua Tawaeli juga tercatat pernah menjalin interaksi dengan Berau (Brow), Kalimantan Utara. Interaksi ini terjadi saat anak Madika Matua Kagaua Tawaeli, Nurudin Daesalemba, Dae Palaka dipersunting oleh Manriala, anak Sultan Berau. Selain itu, Anak dari Dae Palaka dengan suami keduanya, Ivodjo, Naba Intan juga menikah dengan pria dari berau yaitu Abdul Karim.    

Cikoang di Tawaeli: Lebih Dari Sekedar Diaspora        

Sebelum membicarakan mengenai hubungan antara Cikoang dengan Kagaua Tawaeli, terlebih dahulu kita harus melihat hubungan secara luas antara Gowa dan Tawaeli. Dalam Silsilah Kita Santina tercatat, interaksi tersebut mulai intens sekitar 1800an, saat Karaeng Galesong dipercaya menjabat sebagai Madika Mamboro oleh Magau Tawaeli saat itu, Yangge Bodu. Mamboro sendiri dikenal sebagai kawasan yang diberikan kepada rombongan yang berasal dari Gowa oleh Magau Tawaeli, Yangge Bodu.

Interaksi lainnya dapat dilihat dari perkawinan antara anak dari Gondalangi, Kodi dengan Dg Bunga, yang disebut sebagai Madika Gowa. Sebelumnya, Kodi juga menikah dengan Sayyid (Saiye) dari Cikoang bernama Abusama.

Sebelumnya, di masa pemerintahan Magau VI Tawaeli, Dg Pangipi, anak dari pamannya, Wumbulabu Daesalemba, Yaseria Wumbulabu, juga tercatat menikahi Madika Gowa yaitu Datu Lolo. Saudara Yaseria, Daelira juga menikah dengan Madika Gowa yaitu Abdul Muluk.     
Selain itu, anak dari saudara tiri Magau VI Tawaeli, Dg Pangipi, yaitu Djumpulemba (Pue Ratovo), yaitu Dg Matjino menikahi Madika Gowa, Tuan Garuda. Panggilan “Tuan” sendiri ditujukan bagi mereka yang merupakan keturunan Sayyid dan Syarifah, yang bernasab pada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fatimah RA, anak bungsu Rasulullah SAW. Di Sulawesi sendiri, komunitas Sayyid dan Syarifah ini berasal dari nasab Sayyid Jalaludin Bafaqih Al Aidid, ulama asal Hadramaut yang menyebarkan Islam di Cikoang, sekitar abad 17. Istilah Tuan ini sendiri setelah dipengaruhi oleh dialek Kaili, berubah menjadi “Tua”, karena akhir kata dalam dialek Kaili tidak mengenal huruf konsonan (huruf mati).

Tuan Garuda sendiri menurut analisis pribadi penulis, merupakan peletak dasar terbentuknya komunitas Sayyid dan Syarifah di Tawaeli. Anak semata wayangnya hasil pernikahan dengan Dg Matjino, Syarifi, memiliki dua orang istri, yang keturunannya kemudian melestarikan eksistensi komunitas ini di Tawaeli sejak 1800an.

Dalam Silsilah Kita Santina, Syarifi tercatat memiliki lima anak dari istri pertama dan satu anak dari istri kedua. Anak pertamanya, Hadidjah, menikah dengan Bagindali, anak dari Tua Sari (Sayyid Syarif) dan cucu dari Abusama, Sayyid dari Cikoang, serta cicit dari Gondalangi.

Diketahui, dua orang saudara dari Hadidjah yaitu Saripa dan Daeni tidak menikah hingga wafat karena tidak menemukan pendamping yang sesuai. Keturunan Sayyid atau Syarifah diketahui tidak dapat menikah dengan orang di luar komunitas mereka. Adik perempuan bungsu mereka yaitu Tua Isa, diperistri oleh Magau X Tawaeli, Yoto Labulemba.

Salah satu anak dari Bagindali, Abusama dipercaya menjabat sebagai Ketua Adat Tawaeli di periode awal 1900an. Ini membuktikan bahwa diaspora komunitas Cikoang ini di wilayah Kerajaan Tawaeli, bukan hanya sekedar bermigrasi, membaur dan menetap, namun juga mampu menunjukkan eksistensi sebagai suatu komunitas yang memiliki kedudukan strategis dalam interaksinya dengan keluarga kerajaan.  

Penutup

Komunitas Cikoang merupakan salah satu komunitas pendukung eksistensi Kagaua Tawaeli di periode 1800an hingga 1900an. Kini, komunitas tersebut tersebar di wilayah Kelurahan Panau, Kecamatan Tawaeli dan sebagian telah menetap di wilayah lain di Kota Palu. komunitas ini juga dapat dijumpai di wilayah Besusu, Kecamatan Palu Timur dan Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat. Kehadiran komunitas Cikoang ini, semakin memperkaya khasanah sejarah lokal, khususnya peranan mereka dalam syiar Islam, sebab tidak mungkin mereka diterima dalam keluarga kerajaan, jika tidak memiliki ilmu agama yang mumpuni. Komunitas ini juga mempengaruhi budaya Islam di wilayah yang didiaminya, seperti tradisi perayaan Maulu (Maulid).  

Penulis: Jefrianto (Wartawan Mercusuar, pegiat di KHST)
Dilarang mengcopy atau menyadur tulisan ini tanpa mencantumkan sumbernya. 

Post a Comment

4 Comments

  1. terimakasih atas kepeduliaannya terhadap komunitas cikoang. untuk mengetahui lebih detail mengenai komunitas, silahkan berkunjung ke website : www.bafagihaidid.com

    ReplyDelete
  2. kerukunan keluarga sunuhJanuary 2, 2018 at 8:55 AM

    maaf kenapa hubungan antara dae mpangulu yang juga berasal dari mandar yang anaknya dikawini oleh yangge bodu tidak tercatat ya ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya yah, karna setau saya yangge bodu juga menikah dengan raja mandar.

      Delete
  3. Setau saya yangge bodu juga menikah dengan raja mandar

    ReplyDelete