Sepenggal Cerita Malam Mingguku

Sepenggal Cerita Malam Mingguku

Malam ini, sebenarnya saya hendak langsung pulang ke rumah setelah selesai mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) yang dilaksanakan oleh PWI Sulteng sejak tadi pagi. Namun, ingatan bahwa masih ada kerjaan yang menunggu di kantor, membuatku tidak langsung pulang. Malam minggu ini, saya masih harus mengawal Koran terbitan edisi minggu yang minggu ini menjadi piketku.

Setelah selesai menjalankan tugas piket, saya iseng-iseng membuka facebook, sekedar ingin tahu informasi. Di kolom pesan facebookku muncul pesan seorang kawan yang memintai tolong mengeditkan opini yang dikirim oleh seseorang di surelnya, untuk dipublikasi di website komunitas yang dikelolanya. Kawan yang satu ini pernah terlibat bersama untuk mengawal website ini dan sesekali saya masih didapuk untuk mengedit sebagian tulisan-tulisan di website tersebut.


Saya pun mengunduh tulisan opini tersebut dan segera membacanya. Pada awal tulisan, si penulis mengutip bait-bait puisi Wiji Tukul yang berjudul Derita Sudah Naik Seleher. Yah… puisi magis dari aktivis 98 yang sampai saat ini raib entah kemana tersebut cukup ampuh untuk menggugah minat saya melanjutkan editan.

Di sepenggal pertama tulisan, si penulis membeberkan situasi politik pra dan pasca orde baru, kelahiran reformasi, dan situasi negeri saat ini. Menurutnya, keadaan saat ini jauh lebih carut marut, dengan kenyataan bahwa generasi muda negeri ini kini menjadi generasi konsumtif yang jauh dari produktif.

Pada beberapa sisi, saya sepakat dengan argument ini. Namun, perlu juga dilihat bahwa perkembangan jaman dan teknologi tidak selalu berdampak buruk. Kalaupun berdampak buruk, mungkin hari ini kita tidak akan jumpa dengan gadget, celana jeans, baju distro, laptop, bahkan kendaraan bermotor.

Kesan benci terhadap teknologi menguat pada beberapa bagian tulisan ini. Teknologi dan perkembangan jaman menjadi kambing hitam kegagalan generasi muda kita menjadi generasi muda harapan bangsa. Yah.. jaman sekarang tidak susah mencari kambing hitam, yang susah adalah bagaimana cara menjaga si kambing hitam agar tidak lari.

Dengan perkembangan dan pesatnya kemajuan jaman saat ini, teknologi tidak harus selalu dijadikan musuh, terlebih jika kita sendiri masih menggunakannya. Mengkambinghitamkan generasi muda kita pun bukan solusi untuk memecahkan masalah sedemikian serius ini. Pemecahan masalah ini tidak sama dengan ringannya langkah Bayern Muenchen atau PSG merengkuh titel domestic meninggalkan pesaingnya. Ini adalah kisah penuh perjuangan para peri di Leicester City yang mendobrak kemapanan tim-tim papan atas Liga Inggris.    

Kembali ke tulisan tadi, pada paragraf-paragraf berikutnya, si penulis mencoba mengaitkan apa yang dialami oleh generasi muda saat ini dengan kebijakan pendidikan, terutama perguruan tinggi. Menurutnya, beberapa kebijakan perguruan tinggi saat ini justru mengekang daya kritis mahasiswanya. Sampai di sini saya masih bersepakat dengan argument yang ditawarkan oleh penulis, terutama saat sembari mengingat masa-masa kuliah saya selama 8 tahun terakhir di kampus tersebut.

Di sepertiga terakhir tulisan, saya disuguhi sebuah hipotesis mencengangkan. Kebijakan-kebijakan kampus yang disebutkan mengekang di atas, dianggap sebagai salah satu biang peristiwa berdarah yang terjadi di kampus tersebut. Tanpa mengesampingkan faktor-faktor lain yang menyelubungi peristiwa tersebut, saya dengan berat hati mengatakan hipotesis ini masih sangat prematur, jika mungkin hanya didasarkan pada satu atau dua perspektif saja.

Apa yang terjadi di kampus tersebut belum lama ini, adalah sebuah pukulam telak bagi civitas akademika, utamanya mahasiswa. Betapa tidak, mahasiswa yang notabene agen perubahan social yang mestinya berada di depan untuk membela kepentingan masyarakat, justru dibenturkan dengan masyarakat oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Akibatnya, bukan hanya kerugian materil yang muncul namun juga fisik dan psikis.

Sampai pada titik ini, saya belum mampu menjawab pertanyaan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Masing-masing pihak mempertahankan kebenaran yang diyakininya. Dan memang, tidak ada gunanya memperdebatkan siapa yang benar dan siapa yang salah saat ini, karena hanya akan menambah keruh suasana dan membuka luka yang belum kering.
Peristiwa berdarah tersebut hendaklah menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk introspeksi diri dan tidak saling klaim diri yang paling benar. Saya hanya mebayangkan seandainya kampusku itu letaknya seperti UGM atau UNJ yang terletak di pusat kota, pasti tidak akan ada lagi jam malam.

Kampus yang terkurung dari pemukiman dan gelap gulita di saat malam jelas mengundang hal-hal negatif di dalamnya. Saya sendiri pastinya akan melakukan sebagian hal yang mungkin akan dibayangkan akan dilakukan dalam situasi tersebut (minus mencuri dan minum-minum). Keadaan gelap gulita juga pasti mengundang sikap represif, apalagi jika sudah pernah ditemukan hal yang mencurigakan, walaupun tidak semua hal mencurigakan. Dalam hal ini, saya pun tidak sepakat dengan pemberlakuan jam malam, namun kondisi gelap gulita dan jarak antar ruangan yang terlampau jauh membuat siapapun pasti sempat terlintas pikiran macam-macam di kepalanya.

Kepada para staf pengamanan di kampusku ini, saya juga meminta agar kalian lebih ramah dan santun kepada penghuni kampus. Saya juga dengan sangat meminta kalian lebih sabar dalam menghadapi mereka. Dalam beberapa hal, saya tidak membela mereka, namun saya juga tidak terlalu ngeh dengan sikap kalian yang sudah saya rasakan sendiri.

Kepada bapak rektor tercinta, saya hanya menitipkan pesan agar kampusku tercinta tersebut tidak lagi dikotori dengan lumuran darah. Sudah cukup dulu ternak membuat kotor kampusku. Bapak sendiri pastipun memiliki seorang anak dan kami pun adalah anak-anak bapak yang mungkin sedikit nakal. Saya pun pernah dipukuli ayah saya sewaktu kecil dan saya merasakan manfaatnya sekarang. Saya berharap perisitiwa tersebut bukan pukulan seorang ayah untuk kami.

Akhirnya, pada baris terakhir tulisan itu, saya mendengar pekik-pekik penyemangat ala mahasiswa yang membuat saya teringat kenangan beberapa tahun silam. Alamak, sudah cukup lama juga ternyata dan kenangan itu membuat saya merasa sedikit ‘tua”. Tapi ah…sudahlah, saya harus menyelesaikan editan ini dan langsung pulang. Istri dan anakku menunggu di rumah.    

         

Post a Comment

1 Comments