Dentuman gimba (gendang) saling
bersahut-sahutan dengan lantunan doa-doa yang keluar dari mulut sejumlah tetua
adat, sambil sesekali diselingi teriakan histeris sejumlah warga yang menambah
aroma mistis dalam ritual yang sedang dijalankan. Pagi itu, Rabu (2/3/2016),
suasana Kelurahan Kawatuna, Kecamatan Mantikulore, nampak lengang. Tidak nampak
aktivitas berarti di kelurahan yang berada di kaki Bulu (gunung) Masomba.
2 kilometer arah barat dari Jalan Bulu
Masomba, nampak riuh rendah masyarakat seperti sedang sibuk menggelar sebuah
acara. Baruga yang berada di kaki gunung tersebut sesak dipenuhi tetua adat dan
tokoh masyarakat dari dua kelurahan yaitu Kawatuna dan Lasoani. Mereka terlihat
sibuk mempersiapkan ritual adat Pora’a Uve (mengalirkan darah di air).
Ritual adat Pora’a Uve tersebut digelar
oleh lembaga adat Kelurahan Kawatuna dan Lasoani.
Ritual ini dilakukan
untuk meminta hujan, setelah beberapa bulan terakhir, Kota Palu mengalami musim kemarau
berkepanjangan, sehingga menyebabkan lahan pertanian kering dan debit air di
sungai Uwentumbu yang menjadi sumber air masyarakat 3 kelurahan yaitu Kawatuna,
Lasoani, dan Petobo, berkurang. Padahal, sungai ini menjadi satu-satunya sumber
air yang digunakan masyarakat untuk mandi, minum, dan lain-lain.
Para tetua adat percaya, kekeringan yang
melanda tersebut salah satunya disebabkan karena sudah beberapa lama ritual
tersebut tidak digelar. Seblumnya, mereka rutin menggelar ritual adat tersebut
sehingga walaupun terjadi musim kemarau, debit air di sungai tidak berkurang
dan hujan pun selalu turun.
Memasuki area sekitar baruga tempat
pelaksanaan ritual, aroma mistis mulai terasa. Dentuman gimba (gendang) yang ditabuh oleh sekelompok
pemuda, bersahutan dengan teriakan histeris para topeaju yang memecah kesunyian
lembah di kaki gunung tersebut.
Teriakan dan tarian bernuansa mistis
para topeaju tersebut menyambut sejumlah tamu penting yang berdatangan seperti
anggota DPRD Kota Palu, Thompa Yotokodi dan Walikota Palu, Hidayat. Mereka dijemput
oleh para tetua adat dan digiring menuju baruga adat sambil ditaburi beras
kuning oleh para perangkat adat.
Sebelum ritual puncak di baruga adat,
ritual adat Pora’a Uve ini diawali dengan menziarahi sejumlah makam leluhur untuk mompakoni (memberi sesajen sekaligus
mendoakan). Makam pertama
yang diziarahi oleh para tetua adat adalah makam (Dayo) Pue Sola Onge, yang berjarak sekitar 300 meter dari baruga
adat.
Menurut Ketua Adat Kelurahan Kawatuna,
H. Sudin Mandiguni, ritual ziarah ini dilakukan dalam rangka pamitan sekaligus berdoa
kepada
leluhur agar diberikan kelancaran dan kemudahan dalam menggelar ritual adat. Dalam
ritual ziarah tersebut, para tetua adat meletakkan sesajen yang berisi sambulu
gana dan beberapa jenis penganan khas Kaili, sambil diiringi oleh dentuman
gimba yang bersahutan dengan teriakan masyarakat yang hadir.
Setelah selesai meminta doa dan izin di Dayo Pue
Sola Onge,
rombongan tetua adat
menuju ke sungai
yang
berjarak sekitar 500 meter dari baruga untuk melaksanakan ritual puncak Pora’a
Uve. Tepat pukul
11.30 WITA, ritual puncak Pora’a Uve dilaksanakan dengan menyembelih seekor kambing berbulu putih dan seekor ayam putih dan darah hewan sembelihan
tersebut dialiri ke sungai hingga menyentuh sejumlah tetua adat berpakaian
putih yang duduk di tengah aliran sungai dan di atasnya dibentangkan kain
berwarna merah. Mereka yang dimandikan dan memandikan harus merupakan keturunan asli Kawatuna yang mayoritas
didiami masyarakat Kaili dialek Tara.
Sejumlah tetua adat ini dimandikan dengan air yang
bercampur dengan darah hewan sembelihan tersebut. Air yang digunakan untuk memandikan
tersebut dialiri ke setiap orang yang dimandikan lewat kain merah tersebut.
Ritual memandikan ini diiringi oleh dentuman gimba dan teriakan-teriakan yang
saling bersahutan. Ritual ini diakhiri dengan memercikkan air sungai kepada
seluruh masyarakat dan tamu yang menyaksikan ritual.
Usai ritual mandi tersebut, para tetua adat
diiringi oleh dentuman gimba dan tarian topeaju, berjalan kembali menuju baruga
adat. Pada saat mendekati baruga adat, rombongan tersebut juga disambut oleh
dua penari topeaju lainnya yang berteriak saling bersahutan dengan penari
topeaju yang mengiringi rombongan. Rombongan kemudian menaiki baruga sambil
ditaburi beras kuning.
Setelah semua rombongan berkumpul di
baruga adat, para tetua adat kemudian membacakan doa keselamatan dan permohonan
agar rezeki dimudahkan dan debit air di sungai serta hujan selalu bertambah.
Usai pembacaan doa tersebut, para tetua adat bersama para tamu dan masyarakat
makan siang bersama sekaligus menutup seluruh prosesi ritual.
Walikota Palu, Hidayat, dalam sambutanya mengharapkan kedepan ritual adat seperti lebih rutin digelar
setiap tahun, sebab generasi muda saat ini cenderung tidak lagi mengetahui dan mendalami
budaya dan adat, sehingga banyak terjadi konflik karena yang muda sudah mulai berperilaku kurang ajar pada yang lebih tua.
0 Comments