Lebaran Mandura, Bukti Akulturasi Budaya

Lebaran Mandura, Bukti Akulturasi Budaya

Selasa (12/7/2016) atau bertepatan dengan 7 Syawal 1437 H, masyarakat di wilayah Kelurahan Baru atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kampung Baru, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, menggelar perayaan Lebaran Mandura. Pelaksanaan Lebaran Mandura ini hampir serupa dengan lebaran ketupat yang dirayakan masyarakat Jawa, setelah menjalani enam hari puasa Syawal.
 
Perayaan Lebaran Mandura didahului oleh buka puasa Syawal bersama, salat magrib berjamaah, lalu kemudian prosesi perayaan di mana masyarakat secara bersama menyantap hidangan mandura. Mandura sendiri merupakan makanan khas lebaran yang terbuat dari beras ketan tiga warna, yaitu hitam, merah dan putih, dibentuk menggunakan potongan pipa atau bambu, lalu dibungkus dengan daun pisang kemudian direbus selama beberapa jam. Mandura ini, selain menjadi makanan khas lebaran di sekitaran Lembah Palu, juga menjadi makanan khas lebaran di daerah Sulawesi Selatan.

“Tahun ini kita siapkan sekitar 400an mandura. Kebetulan pihak kelurahan juga mewajibkan setiap RT untuk membuat Mandura. Selain itu ada juga sekitar lima buah Mandura berukuran jumbo yang disiapkan,” ujar Ketua Pengurus Masjid Jami Kampung Baru, Ust. Husein H. Muhammad Saleh, Selasa (12/7/2016).   

Mandura sendiri diyakini memiliki makna filosofis dari segi tekstur dan warnanya. Ketua Pengurus Masjid Jami Kampung Baru, Ust. Husein H. Muhammad Saleh mengatakan, tiga warna beras ketan yang digunakan untuk membuat Mandura memiliki makna filosofis masing-masing yaitu merah artinya berani, putih artinya suci, dan hitam artinya bijaksana.

Berbicara tentang perayaan Lebaran Mandura di Kampung Baru, tidak terlepas dari kehadiran Masjid jami Kampung Baru. Masjid yang diyakini sebagai masjid tertua di Kota Palu tersebut, menjadi saksi bisu cikal bakal tradisi Lebaran Mandura tersebut. Ketua Pengurus Masjid Jami Kampung Baru, Ust. Husein H. Muhammad Saleh mengatakan, tradisi perayaan Lebaran Mandura ini sudah ada sejak abad ke-18 atau sebelum Masjid Jami Kampung Baru didirikan.

Budayawan Sulteng, Dr. Amin Abdullah, dalam bukunya yang berjudul “Masjid Jami: Sejarah dan Perkembangannya” mencatat, ada banyak versi tentang tahun pendirian Masjid Jami Kampung Baru. Versi yang diyakini saat ini adalah Masjid Jami Kampung Baru pada awal pembangunannya, merupakan sebuah surau yang kapasitasnya masih sangat kecil. Haji Borahima (Pue Langgai), seorang saudagar kaya yang dikenal memiliki banyak lahan di wilayah Kampung Baru, mewakafkan tanahnya seluas 9 x 9 meter pada tahun 1812 untuk pembangunan surau tersebut.

Tahun pasti pembangunan surau yang menjadi cikal bakal Masjid Jami tersebut pun beragam. Selain tahun 1812, ada juga yang menyebutkan tahun 1895, tahun 1901, dan tahun 1906, bertepatan dengan pembangunan Masjid Al Amin di Wani. 

Beberapa narasumber cenderung sepakat bahwa tahun 1895 merupakan tahun pendirian surau tersebut. Kesimpulan tersebut diambil setelah melihat angka tahun 1923 di makam Siti Habsa, istri Pua Langgai. Dari keterangan lisan yang diperoleh Amin, Pua Langgai meninggal tidak lama setelah istrinya meninggal dunia. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa Pua Langgai meninggal dunia sekitar tahun 1923-1924. Dengan asumsi bahwa usia manusia pada umumnya mencapai 60 atau 70 tahun, dapat diperkirakan bahwa Pua Langgai lahir pada sekitar tahun 1853-1863. 

Berdasarkan asumsi tersebut, Amin berkesimpulan bahwa surau tersebut didirikan oleh orang tua Pua Langgai yaitu Latondro. Namun, jika tetap mengacu pada asumsi bahwa yang mendirikan surau tersebut adalah Pua Langgai, maka periode akhir abad 19 atau awal abad ke 20 merupakan waktu yang logis untuk memperkirakan waktu didirikannya Masjid Jami. Pada periode tersebut, Pua Langgai telah mencapai usia dewasa yang memungkinkan seseorang telah hidup dengan mapan sehingga dapat mewakafkan sebagian harta dan tanahnya untuk pembangunan masjid. 
    
Asumsi tersebut juga didasarkan pada catatan etnografer-missionaris Belanda, N. Adriani dan A.C. Kruijt pada tanggal 25 September 1898 yang menyebutkan bahwa pada saat itu telah berdiri sebuah masjid di lembah Palu dengan pola mengaji menggunakan bahasa Bugis. Dengan demikian, Amin mengambil kesimpulan bahwa masjid tersebut telah berdiri sebelum tahun 1898, di saat Pua Langgai berusia sekitar 45-55 tahun.

Tradisi Lebaran Mandura juga menandai periode ideologis dalam penyebaran Islam di lembah Palu, yang menurut Amin adalah periode penerapan syariat Islam. Dalam buku setebal 61 halaman tersebut, Amin menghadirkan sebuah realitas bahwa periode ideologis penyebaran Islam di lembah Palu di akhir abad 19 dan awal abad ke 20, didominasi oleh para mubaligh-pedagang Bugis, Makassar, dan Mandar, yang terlebih dahulu berdiaspora ke tanah Melayu (Malaysia, Singapura, Riau).

Realitas ini sejalan dengan apa yang dikatakan Christian Pelras, etnolog Prancis, dalam bukunya, Manusia Bugis, yang mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan dari orang-orang “selatan” pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Dampak dari perisitiwa tersebut yakni berubahnya pola perantauan dan pelayaran pelaut-pelaut “selatan” mencari kekayaan dan kejayaan, ke wilayah barat nusantara (tanah melayu).

Dengan melihat kenyataan bahwa Mandura juga merupakan makanan khas lebaran di wilayah Sulawesi Selatan, khususnya Bugis dan Makassar, maka dapat disimpulkan bahwa Mandura ini adalah bukti akulturasi budaya Bugis Makassar yang dibawa dari selatan dengan kebudayaan di Lembah Palu. Penerimaan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Lembah Palu, khususnya Kampung Baru, terbuka menerima kehadiran pendatang seperti masyarakat Bugis Makassar. 

Ust. Husein mengatakan, tradisi Lebaran Mandura ini kembali disemarakkan sekitar empat tahun terakhir. Menurutnya, tradisi ini perlu dilirik oleh pemerintah untuk dijadikan ritual tahunan yang menjadi salah satu ciri khas Kota Palu. Apalagi tahun ini, pihak pengurus Masjid jami Kampung Baru, bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat Kelurahan Baru, menggelar Kampung Baru Fair dari tanggal 12-14 Juli, untuk menyemarakkan tradisi Lebaran Mandura ini sekaligus memperkenalkannya ke dunia luar. Ust. Husein juga berharap, tradisi perayaan Lebaran Mandura ini dapat menjadi pintu masuk bagi upaya pengkajian sejarah peradaban islan di Lembah Palu.

Post a Comment

0 Comments