Berbicara
mengenai sejarah kawasan Vatutela tidaklah lepas dari pembicaraan mengenai
sejarah Kerajaan Parigi. Mengapa demikian? Karena wilayah Vatutela menjadi
salah satu tempat tujuan migrasi dari suku To Bulu Viro, penghuni Uesama yang
dipimpin oleh seorang kepala suku bernama Polimbu Ada. Polimbu Ada sendiri
diyakini oleh masyarakat Parigi sebagai ayah dari Makagero, Magau pertama
Kerajaan Parigi bergelar Magau Lomba yang memerintah antara tahun 1517-1535.
Uesama
merupakan tempat bermukim bagi suku To Bulu Viro. Suku To Bulu Viro merupakan
salah satu dari empat suku yang mendiami wilayah Parigi dan merupakan embrio
terbentuknya Kota Patanggota. Keempat suku dimaksud adalah Suku To Bulu Gavu,
sebuah suku yang mendiami Ngapa Katotio dimana masyarakatnya terkonsentrasi
dalam komunitas tani dan nelayan. Suku ini dipimpin oleh Loventasi sebagai
kepala suku[1].
cerita tentang suku To Bulu Gavu dapat kita dengar pada masyarakat Kelurahan
Masigi sekarang, sebab Katotio yang merupakan tempat bermukim Suku To Bulu Gavu
merupakan cikal bakal terbentuknya Kelurahan Masigi.
Selanjutnya,
Suku To Sido, suku ini terkonsentrasi pada satu pemukiman yang disebut Ngapa
Lantibu yang sekarang menjadi Desa Parigimpu’u. Masyarakat Lantibu juga hidup
dalam komunitas tani. Suku ini dipimpin oleh Sunjumbanua sebagai kepala suku.
Kemudian
Suku To Bulu Viro, yang bermukim di Uesama, yang saat ini menjadi Desa Binangga.
Kepala sukunya bernama Polimbu Ada. Masyarakat Parigi percaya bahwa Polimbu Ada
bersama istrinya yang bernama Savatuinta adalah orang tua dari Makagero yang
merupakan Magau pertama Kerajaan Parigi.
Terakhir,
Suku To Bulu Ngkalaki adalah suatu suku yang mendiami wilayah Ngapa Afulua.
Masyarakatnya hidup dan berkembang dalam komunitas tani dan nelayan. Suku ini
dipimpin oleh Tovenai sebagai kepala sukunya[2].
Uesama:
Antara Mitos dan Realita
Cerita mengenai Uesama dituturkan oleh masyarakat
Parigi melalui pemitosan. Mereka percaya bahwa Volombulava dan Irantea
merupakan cikal bakal penduduk Uesama. Cerita tersebut mengenai manusia yang
ditemukan di ruas pohon bambu kuning (Volombulava) dan seorang lagi yang
ditemukan di dalam gulungan daun kayu tea
(Irantea)[3].
Pemitosan ini adalah bukti dari ketidakmampuan masyarakat dalam menjelaskan
fenomena yang dilihat dan dirasakan secara rasional. Mitos tersebut
diriwayatkan seperti di bawah ini;
Dahulu kala ada seorang Kepala Suku (Maradika) yang
memerintahkan rakyatnya untuk mengambil bambu kuning. Salah seorang dari rakyat
dari kemaradikaan tersebut ikut mengambil bambu kuning untuk Maradika.
Selanjutnya ia memasuki hutan untuk mencari rumpun bambu kuning. Setelah orang
tersebut mulai memotong bambu kuning yang dimaksud, lantas terdengarlah suara
anak kecil dari dalam bambu kuning tersebut, dan berkata: “Hati-hati menebang
(memotong) bagian bawah nanti kena kakiku”. Selanjutnya anak kecil yang di
dalam pohon bambu kuning tersebut berkata lagi: “Hati-hati memotong bagian
pucuk (atas), jangan sampai kena kepalaku”.
Setibanya di rumah, bambu kuning itupun dibelah dan
ternyata di dalamnya terdapat seorang bayi perempuan yang mungil. Kemudian bayi
tersebut diberi nama Volombulava, karena ia ditemukan di dalam ruas bambu
kuning (Volombulava).
Satu bulan berselang, terdengar pula di kampung
lain seorang ibu tua menemukan seorang bayi laki-laki yang terbungkus di dalam daun
kayu tea (Irantea). Kedua berita ini kemudian tersiarlah kemana-mana dan
disambut oleh masyarakat banyak dengan penuh keyakinan dan kegembiraan.
Singkat cerita, setelah Volombulava memasuki masa
remaja, kepala suku (Maradika) mengadakan pesta dan melakukan sayembara
penyabungan ayam yang dilaksanakan di Banggoya atau Bantaya, dengan ketentuan
ayam jantan siapa saja yang mampu mengalahkan ayam jantan Maradika, maka dialah
yang mengawini si Volombulava.
Tiga hari berikutnya, sampailah berita ini kepada
Irantea. Pada malam itu setelah selesai makan, bersimpuhlah Irantea di hadapan
neneknya dan memohon doa restu agar ia dapat membawa ayamnya yang berasal dari
telur ular hitam yang diberinya nama Korontomanuru. Neneknya melarang dengan
alasan bahwa kita orang miskin, apabila ayam jantanmu kalah, kamu pasti dipukul
atau dibunuh orang, sebab mau bertaruh tapi tidak punya uang.
Selanjutnya
Irantea menjawab: “Saya pertaruhkan kepala saya apabila ayam ini kalah,
dan bersedia menjadi budak maradika.” Keesokan harinya berangkatlah Irantea
membawa ayamnya, masuk hutan keluar hutan, naik bukit turun bukit dan akhirnya
tibalah Irantea di tempat penyabungan ayam dengan selamat.
Kedatangan Irantea di medan laga mendapat sambutan
hangat dari para punggawa (penjaga keamanan) serta melaporkan pada Maradika
bahwa ada anak muda yang sangat tampan di halaman Banggoya serta membawa seekor
ayam jantan berwarna hitam. Setelah menerima laporan, kemudian Maradika
menyuruhnya menghadap. Seketika itu Irantea diantar di hadapan Maradika.
Kemudian Maradika bertanya: “Hai anak muda, dari mana kamu berasal?” Jawab
Irantea: “saya dari tempat yang jauh, tempat saya dapat ditempuh selama
setengah hari perjalanan. Selanjutnya Maradika bertanya lagi: kedua orang tua
saudara masih ada?”. Dijawab oleh Irantea: “Saya seorang yatim piatu yang
diasuh oleh seorang nenek tua.”
Rupanya Maradika masih penasaran, kemudian bertanya
lagi: “Nama saudara siapa?!”. Jawab Irantea: “Nama saya Irantea!”. Selanjutnya
Maradika bertanya lagi: “Apakah saudara sudah siap menyabungkan ayam milik
saudara dengan ayam jantan saya?”. Irantea menjawab: “Siap!!”. Sebab ia
teringat pesan neneknya, “Ayam hitam, apabila berlaga di waktu sore pasti
menang.” Karena pada waktu itu hari sudah menjelang sore maka Irantea yakin
benar bahwa ayam jantannya bakal menang.
Setelah “Korontomanuru” dilepas melawan ayam jago
dari Maradika yang bernama Pute Kiongkino, ternyata Pute Kiongkino hanya dapat
bertahan dengan lima kali pukulan. Dengan kemenangan Korontomanuru ini, maka
Maradika berteriak dengan suara lantang; “Saya selaku orang tua (kepala suku) yang menjadi panutan seluruh rakyatku, dengan ini
saya membuktikan janji saya untuk menngawinkan anak saya Volombulava dengan
anak muda ini (Irantea).”
Setelah segala sesuatunya sudah dipersiapkan, dan
nenek tua pengasuh Irantea diambil oleh para Tadulako untuk menghadiri acara
pernikahan, maka pernikahan secara hadat dilaksanakan dengan meriah, sekaligus
Irantea dinobatkan untuk memimpin sebagian Kemaradikaan.
Berdasarkan mitos ini, Irantea kemudian dikenal
dengan nama Polimbu Ada, yang kemudian menjadi kepala suku To Bulu Viro di
Uesama sedangkan Volombulava dikenal dengan nama Savatuinta. Savatuinta sendiri
berasal dari Laejanga, yang sekarang adalah desa Porame Kabupaten Sigi.
Dari mitos tersebut dapat dilihat bahwa daerah asal
Polimbu Ada, berjarak setengah hari perjalanan dengan berjalan kaki dari
Laejanga (Porame) yang merupakan tempat asal Savatuinta. Dalam mitos ini tidak
disebutkan secara jelas mengenai kampung tempat Polimbu Ada berasal.
Kemungkinan besar, ia berasal dari daerah yang tidak terlalu jauh dari Laejanga
jika dilihat berdasarkan waktu tempuh dari daerah asalnya menuju Laejanga.
Dalam mitos tersebut juga dijelaskan bahwa setelah penobatan
dan pernikahan tersebut, Polimbu Ada diserahkan tugas memimpin sebagian Todea
(rakyat). Ini berarti, Polimbu Ada diserahi sebagian wilayah kekuasaan dari
mertuanya yang merupakan Maradika Laejanga.
Selanjutnya diceritakan bahwa pasangan suami istri
mengambil keputusan akan membawa rakyatnya mencari tanah yang subur untuk
bercocok tanam. Daerah yang menjadi tujuan ialah Kamataeona atau ke arah
matahari terbit. Mereka pun bergerak menuju wilayah pantai timur. Berdasarkan
mitos ini dapat kita lihat bahwa kemungkinan besar, kawasan Laejanga (Porame)
pada masa tersebut bukanlah wilayah yang subur seperti saat ini. Kondisi
tersebutlah yang memaksa mereka untuk bermigrasi mencari tempat lain yang lebih
subur.
Menurut mitos tersebut, rombongan migrasi yang
dipimpin oleh Polimbu Ada tersebut berjumlah 65 orang. Setibanya mereka di
tempat yang mereka sebut Kamataeona tersebut, mereka menempati dua wilayah. Satu
kelompok memilih Lantibu (Parigimpu’u) sebagai tempat bermukim dengan kepala
sukunya bernama Sunjumbanua, yang merupakan ipar dari Polimbu Ada. Kelompok
yang kedua menempati Uesama dan yang menjadi kepala sukunya adalah Polimbu Ada.
Di tempat yang baru ini, Polimbu Ada membagi
beberapa tempat air demi ketertiban agar tidak terjadi percampuran antara satu
dengan lainnya, terutama bagi muda-mudi. Ia membaginya menjadi empat tempat
yaitu:
1. Uelino (Uelutu) untuk permandian Maradika.
2. Uerandaa untuk permandian kaum ibu (wanita).
3. Uesama untuk ‘Todea Langgai” (Rakyat Laki-laki).
4. Ueroko bagi orang-orang yang berpenyakit TBC,
sebab pada masa itu, penyakit
TBC
yang paling dikhawatirkan.
Pada tahun pertama, Polimbu Ada memilih daerah
sekitar Uelino (Uelutu) sebagai tempat bercocok tanam. Karena ia merasa bahwa
lokasi tersebut terlalu jauh dari laut, maka pada tahun kedua, ia memindahkan
tempat perkebunannya di Langi Santula yang berada di atas Pelawa.
Di Langi Santula, hasil perkebunan terutama padi
tidak dapat dipanen, karena di saat padi mulai remaja, wilayah ini ditimpa
kemarau panjang, sehingga padinya mati layu (Namatelele). Musibah ini membuat penduduk Uesama didera kelaparan.
Oleh sebab itu kelak, perkebunan yang telah berubah menjadi kampung tersebut
diberi nama Matelele.
Menghadapi musibah kelaparan, penduduk Uesama pada
waktu itu akhirnya tinggal mengolah Ondo (ubi hutan) untuk dijadikan makanan. Musibah
kelaparan inpun dimitoskan dan dihubung-hubungkan dengan tokoh Sawerigading
yang merupakan epos yang berasal dari Luwu (Sulawesi Selatan). Ini bukti bahwa
telah terjadi interaksi antara masyarakat asli dengan pendatang dari daerah
selatan pulau Sulawesi. Pemitosan tersebut sebagai berikut:
Pada saat-saat menghadapi kelaparan tersebut,
terdengarlah berita bahwa akan lewat perahunya To Baraka untuk membantu
orang-orang yang membutuhkan bantuan. Pemilik perahu To Baraka itu bernama
Sawerigading. Maradika memerintahkan beberapa Tadulako yang siap menghadap
Sawerigading. Pada malam yang sudah ditentukan, merekapun bersiap-siap untuk mbilava
(menantikan) perahu yang akan lewat tersebut. Tapi sayang Topelava
(orang yang menantikan) tersebut, semuanya tertidur lelap. Mereka nanti
terbangun setelah mendengar gong perahu Sawerigading sudah jauh di tengah laut,
dan barulah kemudian mereka melangkah (mengejar). Para penghalau tersebut
tinggal menemukan Sube (alat pertanian) bersama Vatunonju.
Dengan adanya
Sube dari Sawerigading ini, maka Polimbu
Ada menaruh harapan besar bahwa kali ini hasil pertanian mereka akan baik
(berhasil). Ia memerintahkan rakyatnya membuka hutan seluas-luasnya untuk
berladang.ladang tersebut ditanami dengan padi.
Singkat
cerita, setelah ladang ditanami padi, maka terlihat tumbuhnya sangat bagus yang
didukung oleh curah hujan yang teratur. Berhasilnya tanaman padi ini
menyebabkan penamaan lokasi pertanian disebut Kaboo. Pada waktu itu hasil padi
tidak mampu dipanen dan hancurlah sebahagian padi tesebut atau dalam bahasa
Kaili disebut Naboosantapi.
Berdasarkan mitos ini, kita dapat melihat bahwa masyarakat
pada masa itu bercocok tanam dengan peralatan yang masih sangat tradisional
sehingga ketika musim kemarau tiba, mereka tidak dapat mengantisipasi terjadinya
gagal panen. Baru setelah terjadi interaksi antara penduduk asli dan pendatang,
digunakanlah peralatan pertanian yang lebih modern seperti sube dan vatunonju.
Konsep yang digunakan pun masih konsep ladang berpindah yang bergabtung pada
curah hujan dan kedekatan lokasi dengan sumber air.
Setelah panen, para laki-lai dari komunitas
tersebut beramai-ramai memancing ikan. Sudah menjadi kebiasaan bagi kaum
laki-laki setiap habis panen selalu beramai-ramai memancing ikan. Dari sini
dapat dilihat bahwa selain berladang, komunitas ini juga telah mengenal laut
dan sebagian masyarakatnya selain menjadi peladang juga menjadi nelayan. Hal
inipun yang membuat mereka berinteraksi dengan dunia luar, seperti yang
dijelaskan dalam mitos di bawah ini mengenai interaksi mereka dengan
orang-orang Mindanau.
........ tapi pada suatu malam perahu yang turun
untuk memancing bertemu dengan perahu layar dari Mindanau yang menuju Banggai.
Perahu layar tersebut menabrak perahu sampan orang yang mengail, maka
terjadilah pertempuran antara To Uesama dengan To Mindanau yang dimenangkan oleh
To Uesama.
Orang-orang Mindanau yang berhasil melarikan diri
kemudian membuat suatu peta yang menunjukkan bahwa di Buluntiva (Gunung
Melintang) yang berada di atas Desa Pelawa, tepatnya di Matalele, ada
penduduknya. Setelah orang-orang Mindanau tadi kembali ke daerahnya, mereka langsung
memberitahukan pada Pemerintah Portugis bahwa pada peta yang mereka buat, di
situ ada lokasi yang berpenduduk dan sudah pernah menghadang mereka hingga
menewaskan beberapa anak buah kapal.
Mendengar
berita buruk itu, Portugis sangat marah dan segera membuat rencana untuk
menggempur Uesama. Setelah sebaga sesuatunya dipersiapkan, mereka bertolak ke
Pelawa. Mereka mendaratkan pasukannya pada sore hari, di saat masyarakat Uesama
sedang memancing ikan di pantai (Nondoa).
Pemancing inilah yang memberi kabar ke Uesama bahwa kapal layar yang pernah mereka
hadang beserta dua kapal lainnya berlabuh di dekat pantai, tepatnya di Kayu
Bura. Pemancing tersebut mengilustrasikan kedatangan kapal tersebut dengan
bahasa “ane manusia mokagoli-goli ri puu
mubulu efa manu nokanggafu” artinya kedatangan kapal beserta orang-orangnya
tersebut seperti ayam yang sedang mandi di debu. Itulah sebabnya gunung di
antara desa Pelawa dan desa Jangi dinamakan Bulu Kanggafu.
Masyarakat Uesama melakukan persiapan perang dengan
taktik Nopoposiga Fatu dan Nopamuduka. Mereka
membuat patung dari batu yang menyerupai manusia, dan kemudian dipakaikan Siga
(ikat kepala) dan di mulut patung itu diletakkan Pamuduka (bambu yang berisi
tembakau). Jadi patung tersebut menyerupai seorang Tadulako yang siap untuk
berperang.
Pasukan Portugis kemudian menyerang di waktu subuh.
Ketika melihat “Tadulako Batu” yang sedang menghisap Pamuduka, orang-orang
Mindanau segera berebutan untuk menebas (memotong) patung tersebut (yang dikira
adalah manusia). Setelah melihat pedang-pedang musuh sudah tumpul dan patah,
maka keluarlah pasukan Uesama dari persembunyiannya dan sekaligus menyerang
pasukan Portugis dari Mindanau tersebut. Kejadian ini yang disebut Pertempuran
Vatu Pomai yang dimenangkan oleh pasukan Uesama. Vatu Pomai ini sendiri berada
diatas desa Pelawa.
Setelah kekalahan menyakitkan tersebut, Portugis
tidak menyerah begitu saja. Mereka menggunakan cara licik yaitu dengan membawa piring-piring adat, dulang (baki),
tempat siri dari tembaga sebagai
hadiah. Mereka bermaksud mengajak
bekerjasama dan kemudian mengelabui secara halus. Kedatangan mereka kali ini tidak lagi berlabuh di Pelawa, tapi berlabuh di Loji (Pelabuhan Parigi sekarang). Saat berlabuh di Loji, orang-orang Portugis melihat orang-orang
dari suku Lantibu yang sedang mengambil Katue. Saat inilah mula pertama perkenalan orang Lantibu dengan orang Mindanau yang
datang bersama orang Portugis. Orang-orang Lantibu ini kemudian diberi hadiah berupa pakaian dan bagi Maradika (kepala suku) diberi hadiah piring batu
(piring adat), Dula Palangga (Baki berkaki), tempat siri dari tembaga dan
sebagainya.
Karena dengan kebaikan hati
tamunya tersebut, maka kepala suku Lantibu
menerimanya dengan penuh rasa hormat. Mereka kemudian memulai pembicaraan. Bahasa pengantar yang
dipakai adalah bahasa Bajo. Oleh sebab itu, mereka selalu menyebut orang
Mindanau dengan nama Bajokuba. Dalam pembicaraan tersebut, terlontar dari mulut
orang Portugis bahwa “anda sudah tua, perlu sudah
mencari pengganti yang lebih muda”. Ujar orang Portugis seraya menunjuk anak menantu
dari Sunjumbanua yang bernama Makagero. Makagero ini adalah anak dari kepala suku Uesama yang bernama Polimbu Ada.
Usul ini diterima dengan baik oleh Sunjumbanua dan kemudian disampaikannya kepada Polimbu Ada. Hal
ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa umur Polimbu Ada lebih tua dari Sunjumbanua, Polimbu Ada adalah ayah dari Makagero.
Setelah usul tersebut disampaikan kepada Polimbu Ada, beliau menolaknya dengan alasan bahwa
penggantian ini dapat merubah adat istiadat yang selama ini mereka junjung selama ini.
Tapi penolakan tersebut tidaklah membuat orang Portugis tidaklah
berputus asa. Pada bulan berikutnya, mereka berkunjung lagi ke Lantibu. Kedatangan kedua ini rupanya bertepatan dengan pesta duka (Notofalika) atas mangkatnya Sunjumbanua. Orang-orang Portugis
mendapati Polimbu Ada juga sedang berada di rumah duka.
Pimpinan rombongan bangsa Portugis yang bernama
Fransisco Lesa kemudian
berbicara dengan Polimbu Ada sekaligus memohon restu agar Makagero
yang menjadi pengganti mertuanya. Usul orang Portugis ini mendapat sambutan yang serius dari Polimbu Ada, dengan syarat, pada saat pelantikan, akan diambilkan tanah dari
Salumparigi yang akan dibuat tembikar segi empat
untuk tempat duduk raja atau magau yang dilantik. Syarat berikutnya adalah raja atau magau yang dilantik harus disiram dengan air jernih
(Uelino) dengan ucapan sumpah bahwa “semua anak dan turunanku, apabila mati, harus dimulai dengan siraman
Uelino (dengan sebutan Portugis “Lutu”, dari sinilah mulanya nama Uelino
berubah menjadi Uelutu)”. Parigimpu’u menjadi tempat pelantikan raja atau magau ini[4].
Upacara pelantikan ini dihadiri oleh tiga kepala
suku, yaitu:
(1). Kepala Suku Katotio
yang bernama Loventasi.
(2). Kepala Suku Tokalaki
bernama Tovenai.
(3). Kepala Suku To Bulu
Viro yang bernama Polimbu Ada.
Kedatangan bangsa Portugis yang dipimpin oleh
Fransisco Lesa telah mengubah struktur pemerintahan kesukuan menjadi struktur
pemerintahan kerajaan dengan mengukuhkan Makagero, putera kepala suku To Bulu
Viro, Polimbu Ada sebagai Magau Kerajaan Parigi pada tanggal 26 Desember 1517[5].
Pengukuhan Makagero sebagai Magau Kerajaan Parigi dilakukan saat Makagero telah
mempersunting Uwelida, puteri kepala suku To Sido, Sunjumbanua. Pengukuhan ini dilakukan
dengan ritual adat kesukuan. Makagero berdiri di atas altar tembikar empat
sudut yang disirami air dari Uwelino yang berasal dari Ngapa Uwe sama.
[1]
Konsep pemerintahan
prakerajaan di Parigi Moutong menggunakan system “Big Power” dengan memilih
kepala suku yaitu orang yang terkuat di wilayahnya. Sistem ini masih banyak
digunakan di daerah-daerah pedalaman di Indonesia.
[2]
Laporan Penelitian Sejarah kabupaten
Parigi Moutong, Kerjasama Dinas Pariwisata & Seni Budaya Kab. Parigi
Moutong dengan Pusat Penelitian Sejarah universitas Tadulako, 2008. Hal. 26
[3]
Catatan Husni Hamzah
“Volombulafa dan Irantea”, Oleh Suprin Naa dan Akram Pibete
[4]
Catatan Husni Hamzah, disusun
oleh Suprin Naa dan Akram Pibete
[5]
Ibid. Hal 28
0 Comments