Sengketa Lahan: Bara Dalam Sekam di Kota Palu

Sengketa Lahan: Bara Dalam Sekam di Kota Palu

Akhir-akhir ini, permasalahan sengketa lahan di berbagai wilayah di Kota Palu marak diberitakan. Belum lekang dari ingatan kita, kasus penyegelan dua SD di Kelurahan Tatura oleh pemilik lahan sekolah, kasus warga Kelurahan Tondo yang melapor ke DPRD Kota Palu hingga ke DPR-RI terkait penyelesaian sengketa tanah, sengketa kepemilikan tanah di Kelurahan Mamboro, tumpang-tindih kepemilikan tanah di Kelurahan Baiya yang berujung ke pengadilan, dan kasus tarik ulur pembebasan lahan di Kelurahan Talise dan Pantoloan. 

Motif sengketa pun berbeda-beda dari setiap kasusnya. Ada yang bermotif human interest, penggarap vs pemilik sertifikat, pendatang vs tuan rumah, ganti rugi yang tidak sesuai, pemilik lahan vs oknum pemerintah dan pemilik lahan vs mereka yang ngaku-ngaku.

Sengketa lahan, sebagian besar diawali oleh adanya minat terhadap lahan dengan nominal yang menggiurkan. Alasan pengembangan tata ruang kota dan perumahan, masuknya investasi, berkembangnya industri, dan peningkatan ekonomi menjadi harapan dari pemerintah untuk mendorong lahan-lahan menggiurkan tersebut segera masuk daftar belanja. 

Nominal yang menggiurkan, juga membuat banyak warga berbinar-binar matanya. Akal sehatnya hilang tergerus lembar demi lembar rupiah. Lahan warisan nenek moyang segera berpindah tangan.

Banyak juga yang masih agak waras untuk menimbang-nimbang, tawar-menawar harga. Perkalian tidak masuk akal pun jadi perhitungan matematis. Harga pun melambung tinggi, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah per meternya. Pemerintah kalang kabut, pemodal ogah-ogahan, karena masyarakat jual mahal. 

Iming-iming pundi rupiah tak punya mata. Tak kenal siapa kawan ataupun lawan. Ibarat anak perawan, ia diperebutkan dua jejaka bernama pemilik lahan dan penggarap. Kronik perebutannya tak hanya sebatas euforia cerdas cermat tingkat kelurahan. Eskalasinya bahkan bisa mengundang ribuan massa berhadap-hadapan di jalanan, dua seteru mengais keadilan di meja hijau, dan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah. 

Yah... sengketa lahan ibarat bara dalam sekam. Pandai tak pandai mengatasinya, bara bisa jadi kobaran api nan dahsyat, membakar semua yang ada di hadapannya. Pemerintah sebagai empunya kewenangan, punya sejuta jurus memadamkan api. Namun apa daya, si jago merah terlalu silit di padamkan jika sudah dilanda amarah. 

Aturan yang seharusnya jadi pemadam, kadang dipreteli dan disalahgunakan oleh pemerintah. Yah kadang, mereka tidak mau pulang hampa juga. Pantang pulang hampa katanya. Api pun kadang mereka yang ciptakan, yah...walaupun kadang mereka tak sanggup memadamkan. 

Apapun motifnya, sengketa lahan adalah api yang jika tidak dijaga, ia akan berkobar hebat menghanguskan apa saja yang dilewatinya. Kini tinggal bagaimana peran pemerintah menjaga api ini agar tidak berkobar hebat, lewat penegasan aturan main. Ia harus jadi mediator, bukan provokator. Ia harus jadi fasilitator, bukan negosiator. ***

Post a Comment

0 Comments