Wisata sejarah dapat menjadi salah satu pilihan bagi
wisatawan yang berkunjung ke Kota Palu. Kota Palu sebagai bekas ibu kota Kemagauan
Palu memiliki banyak peninggalan sejarah yang memiliki nilai historis yang
sangat tinggi. Dewasa ini masih dapat kita temui sisa-sisa
bangunan yang merupakan peninggalan masa kemagauan
di Palu. Salah satunya adalah Souraja (Rumah Raja) atau yang biasa disebut Banua Oge.
Berwisata ke Souraja dapat menjadi pilihan bagi anda yang
menggemari wisata sejarah. Lokasinya yang terletak di tengah kota dapat
ditempuh dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Kondisinya yang masih cukup
terawat walaupun telah berumur ratusan tahun. Letak Souraja berdekatan dengan
pesisir pantai dan Jembatan Kuning (Jembatan Empat) yang juga menjadi salah
satu ikon Kota Palu. Bagi anda yang ingin mengisi liburan dengan nuansa
edukatif dan historis, objek wisata yang satu ini layak menjadi salah satu
destinasi utama anda jika berkunjung ke Kota Palu.
Souraja terletak di Jalan Pangeran Hidayat. Objek wisata ini berada di
wilayah administratif Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat. Dari Bandar Udara
Mutiara SIS Aldjufrie, berjarak kurang lebih 10 km dengan waktu tempuh kurang
lebih 15 menit. Dari Pelabuhan Pantoloan, berjarak kurang lebih 30 km dengan
waktu tempuh sekitar 30 menit. Dari pusat kota, Souraja hanya berjarak sekitar
5 km dengan waktu tempuh sekitar 5 menit.
Souraja terletak di daerah yang cukup dekat dengan
pantai. Untuk mencapai pantai, anda dapat berjalan kaki sekitar 1 km ke arah
barat laut. Di sana, anda akan melihat langsung ikon kota Palu lainnya yaitu
Jembatan Empat atau yang biasa disebut Jembatan Kuning. Anda juga dapat
menjumpai pasar ikan tradisional dan sebuah masjid “terapung” di sekitar
pantai. Di sepanjang pantai juga terdapat kafe-kafe tenda yang menyediakan
berbagai jenis makanan dn minuman. Ada juga anjungan tempat anda bersantai
sambil mencoba menyewa sepeda atau sepatu roda untuk mengisi waktu.
Di sekitar pantai juga banyak terdapat hotel-hotel berbintang seperti Mercure, Grand
Duta, Silk Stone, dan Swiss Bell yang dapat anda jadikan tempat menginap dengan
view langsung menghadap ke laut. Di sekitar kawasan pantai juga terdapat sebuah
pusat perbelanjaan yaitu Palu Grand Mall bagi kamu yang punya hobi belanja.
Souraja
dapat disebut sebagai
Istana Magau Palu, karena sejak
didirikannya,
bangunan ini ditempati oleh Magau-magau
Palu dan keluarganya silih berganti. Kepemilikan bangunan ini pun berlaku
secara turun-temurun.
Souraja
didirikan pada akhir abad ke XIX di tengah-tengah perkampungan Suku Kaili yang
merupakan masyarakat pendukung Kemagauan
Palu. Orang
Kaili mengatakan bahwa Souraja adalah rumah besar dengan pengertian mempunyai
kelebihan dan kekeramatan tersendiri. Kelebihan bangunan ini terdapat pada
fungsinya sebagai tinggal raja atau bangsawan, maka dengan sendirinya bangunan
ini pun dianggap keramat. Kekeramatan souraja dilekatkan pada kekeramatan raja
yang dipercaya merupakan keturunan
dari langit, “To Manuru”.
Corak bangunan Souraja merupakan hasil akulturasi dari
beberapa kebudayaan yang ada di Kerajaan Palu pada saat itu. Palu yang saat itu
menjadi salah satu daerah urban menyebabkan terjadinya proses akulturasi antara
kebudayaan masyarakat asli dengan masyarakat pendatang. Budaya-budaya
dari daerah lain ini pun memperkaya kebudayaan
masyarakat Palu
dari berbagai sendi kehidupan.
Hasil akulturasi budaya di Lembah Palu ini masih terlihat jelas di kehidupan
masyarakat suku Kaili. Salah satunya dapat disaksikan melalui keberadaan
Souraja.
Pada
masa pemerintahan Magau
Yodjokodi, tepatnya pada tahun 1892,
Souraja dibangun di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Menurut
Iksam, salah seorang ahli arkeologi dan sejarah dari Museum
Negeri Sulawesi Tengah, wilayah Kampung Lere
pada masa Magau
Yodjokodi merupakan bagian dari wilayah Siranindi. Siranindi merupakan salah
satu anggota patanggota Kemagauan Palu bersama Tatanga,
Besusu dan Lolu.
Pembangunan
Souraja dikepalai oleh Hj. Amir Pettalolo, menantu dari Yodjokodi. Dalam
pembangunan Souraja, sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari Banjar
sehingga nampak
beberapa corak Banjar di
bangunan tersebut. Souraja digunakan oleh Yodjokodi sebagai tempat tinggal dan
pusat pemerintahan.
Souraja beberapa kali mengalami
pergantian fungsi yaitu, pada tahun 1921-1942, Souraja masih digunakan sebagai
tempat tinggal magau
dan pusat pemerintahan. Pada tahun 1942-1945, tepatnya pada masa pendudukan
Jepang, Souraja dialihfungsikan sebagai tangsi militer tentara Jepang walaupun
fungsi Souraja masih sebagai kantor pemerintahan Kemagauan Palu. Pada masa Jepang
itu, kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Tengah berubah nama menjadi sucho.
Kemudian pada tahun 1945-1948, Souraja
kembali difungsikan sebagai pusat pemerintahan Kemagauan Palu. Pada tahun 1958, ketika
Permesta memberontak di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, Souraja hadir
dengan fungsi baru sebagai asrama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Souraja
dijadikan markas tentara dalam kegiatan Operasi Penumpasan Pemberontakan
Permesta di Sulawesi Tengah. Peran ini berlangsung hingga tahun 1960.
Bangunan Souraja terakhir ditempati oleh
Magau Palu Tjatjo Idjazah yang juga merupakan magau terakhir Kemagauan Palu.
Tetapi Tjatjo Idjazah tidak menetap di Souraja
karena ia lebih sering berada di rumahnya di kawasan sekarang jadi Apotik
Pancar. Setelah Kerajaan Palu resmi dibubarkan, bangunan ini dikelola oleh Andi
Tjatjo Parampasi dan Andi Tase Parampasi. Andi Tjatjo merupakan anak ke 4 dari
Raja Palu, Parampasi. Setelah Andi Tjatjo Parampasi mangkat pada tahun 1974,
pengelolaan rumah ini diserahkan kepada anaknya, Andi Harun Parampasi.
Pada tahun 1982, bangunan ini
diinventarisasi oleh pemerintah dan kemudian dilakukan pemugaran. Sepuluh tahun
kemudian, tahun 1991-1992, dilakukan pemugaran secara keseluruhan terhadap
bangunan ini yang dilakukan oleh pemerintah. Saat ini, bangunan ini dikelola
oleh pemerintah sebagai salah satu cagar budaya.
Saat ini, bangunan Souraja
masih berdiri tegak walaupun telah berusia ratusan tahun. Namun, di bagian
belakang (dapur), dindingnya telah digantikan dengan seng. Hal ini tentu saja
mengurangi keindahan dan nilai historis bangunan tersebut. Kemudian, hal yang
paling meresahkan adalah pengecetan kembali bangunan tersebut yang tidak sesuai
dengan warna aslinya. Hal ini juga tentunya mengurangi nilai historis bangunan
cagar budaya ini.
Selain itu, upaya promosi yang
terkesan kurang maksimal dari pemerintah daerah menyebabkan objek wisata yang
satu ini cukup sepi pengunjung. Sesekali hanya anak-anak sekolah dan mahasiswa,
sejarawan dan peneliti, yang terlihat berkunjung ke objek wisata ini.
Hal ini juga mengindikasikan
bahwa pengetahuan dan penghargaan terhadap budaya dan sejarah lokal terutama
Kota Palu dan Sulawesi Tengah masih kurang. Tidak adanya pendidikan sejarah dan
budaya berbasis kelokalan di daerah nampaknya menjadi penyebab kurangnya
pengetahuan dan pemahaman terhadap sejarah dan budaya lokal tersebut.
Oleh karena itu, kiranya sangat
penting untuk menanamkan kembali nilai-nilai sejarah dan budaya lokal lewat
jalur pendidikan dengan mengenalkan sejak dini generasi muda terhadap peninggalan-peninggalan
sejarahnya. Hal ini juga nantinya akan meningkatkan jumlah pengunjung objek
wisata sejarah tersebut. Selain itu, perlu adanya pendidikan kembali mengenai
tata cara merawat situs peninggalan sejarah, agar perawatan yang dilakukan tidak
terkesan asal-asalan dan malah mereduksi nilai historis dari objek wisata
sejarah tersebut.
Untuk lebih mengenal Souraja
dan Kemagauan Palu, anda dapat membaca sebuah artikel tentang Souraja dan
hubungannya dengan Kemagauan Palu yang telah saya tulis di blog sebagai pengantar awal mengenai apa itu Souraja
dan bagaimana hubungannya dengan sejarah Kota Palu. Langsung saja disimak di
link ini: http://jefriantogie.blogspot.com/2012/12/souraja-dan-silsilah-raja-palu-jefrianto.html.
0 Comments