Tragedi
1965/1966 merupakan periode kelam dalam sejarah Indonesia. Tragedi ini
menyisakan dampak yang sampai saat ini masih dirasakan tidak hanya oleh mereka
yang dinyatakan terlibat, tetapi juga dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Berpuluh-puluh tahun masyarakat “dipaksa” menelan mentah-mentah stigma yang
dilekatkan oleh penguasa kepada mereka yang dinyatakan terlibat. Stigma
tersebut melekat sampai hari ini. Tidak sedikit masyarakat yang akhirnya
menjadi phobia dan antipati terhadap mereka yang dinyatakan terlibat, karena
stigmatisasi tersebut. Akibatnya, terjadi pengucilan dan pengasingan yang terus
dialami oleh mereka yang dituduh dan dinyatakan oleh pemerintah sebagai pihak
yang terlibat dan harus memikul tanggung jawab atas tragedi tersebut.
Tragedi
1965/1966 dilatarbelakangi oleh pertentangan antara dua kutub politik saat itu
yaitu PKI dan Angkatan Darat (AD). Kedekatan PKI dengan Presiden Soekarno jelas
membahayakan posisi Angkatan Darat dalam peta persaingan politik pada saat itu.
PKI melancarkan isu Dewan Jenderal sebagai sarana propaganda kepada Bung Karno
bahwa ada beberapa perwira tinggi AD yang ingin merebut kekuasaan. Di dalam
tubuh AD sendiri telah terjadi perpecahan dengan banyaknya perwira menengahnya
yang menjadi anggota PKI. Seiring dengan beredarnya isu bahwa Bung Karno sakit
keras, muncul spekulasi tentang siapa pengganti beliau. Tak ingin didahului
oleh AD, Aidit, beberapa anggota Politbiro PKI, dan beberapa perwira menengah
AD yang telah dibina oleh PKI merencanakan suatu gerakan untuk mengamankan
posisi mereka jika kelak Bung Karno wafat. Gerakan tersebut dinamakan Gerakan
Tiga Puluh September (G30S) dan dipimpin oleh Letkol Untung yang merupakan
Komandan Resimen Cakrabirawa.
46 tahun
setelah tragedi tersebut, masyarakat Indonesia masih saja phobia terhadap
komunisme. Hal tersebut adalah akibat dari stigmatisasi buruk terhadap PKI dan
komunisme yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Stigmatisasi tersebut juga
mengakibatkan para eks tahanan politik (tapol), mendapatkan perlakuan yang
tidak adil baik dari pemerintah, masyarakat, maupun lingkungan sekitar. Mereka
yang terlibat dan dituduh terlibat harus menjalani hari-hari yang penuh
penderitaan bahkan setelah Orde Baru runtuh.
Pada saat momentum reformasi menggelora, Majelis Permusyawaratan Rakrat
Republik Indonesia (MPR RI) pernah mengakui bahwa negara (baca: Orde Baru)
telah melakukan “berbagai pelanggaran hak asasi manusia, antara lain dalam
bentuk tindak kekerasan, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan”. MPR RI
menyerukan agar negara melakukan “penyelesaian secara adil” dan mewujudkan
sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi
manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran.
Salah satu buah dari seruan tersebut adalah pengesahan Undang-Undang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) pada tahun 2004, yang merupakan mekanisme
resmi untuk mengungkap kebenaran dan reparasi bagi korban pelanggaran hak asasi
manusia. Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga membentuk pengadilan
hak asasi manusia untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida
berdasarkan mandat UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Namun, berbagai langkah maju tersebut kemudian surut dan akhirnya menemui
kebuntuan. Para pelaku yang diseret ke pengadilan hak asasi manusia , pada
akhirnya bebas dari jeratan hukum. Bahkan Kejaksaan Agung tidak meneruskan
hasil penyelidikan Komnas HAM atas tujuh kasus kekerasan di masa lalu yang
diduga sebagai pelanggaran Ham berat. Para korban juga harus menghadapi
kebuntuan dalam memperoleh reparasi dan pemulihan karena mekanisme tersebut
baru dapat dilaksanakan jika ada rekomendasi dari pengadilan. Puncak
kebuntuannya terjadi ketika Mahkamah konstitusi membatalkan UU KKR pada tahun
2006.
Saat
upaya rekonsiliasi di tingkat nasional masih menemui jalan berliku bahkan
buntu, jauh
dari pusat pemerintahan Negara, tepatnya di Palu ibukota provinsi Sulawesi
Tengah, upaya-upaya rekonsiliasi
telah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Solidaritas Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah telah melakukan berbagai cara untuk
merekonsiliasi dan merangkul para “korban” tragedi 1965/1966 demi
memperjuangkan hak-hak yang selama ini di ’kebiri’ oleh Negara. Sulawesi Tengah
memiliki jumlah korban pelanggaran HAM 1965/1966 yang cukup banyak namun korban
jiwa yang ada merupakan jumlah yang “terkecil” di Indonesia. Mereka yang
menjadi korban pelanggaran HAM tersebut digolongkan ke dalam berbagai kasus
seperti; Kerja Paksa, Penganiayaan, Pemerkosaan, Penghilangan Paksa, dll.
Perjuangan
untuk merehabilitasi hak-hak korban pelanggaran HAM 1965/1966 di Sulawesi
Tengah mendapat tanggapan positif oleh pemerintah daerah khususnya Kota Palu.
Hal ini ditunjukkan oleh permintaan maaf secara terbuka yang disampaikan oleh
Walikota Palu Rusdi Mastura dalam dialog terbuka yang diadakan oleh SKP-HAM
Sulawesi Tengah. Pernyataan maaf ini setidaknya mengurangi sedikit luka yang
telah dipendam oleh para korban pelanggaran
HAM 65 di Sulawesi Tengah selama puluhan tahun.
Sebagai tindak lanjut dari permintaan maaf tersebut, Walikota Palu kemudian menerbitkan Peratiran Walikota
(Perwali) nomor 25 tahun 2013 tentang Rancangan Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM) Daerah. Perwali tersebut lahir dalam bingkai Palu sebagai kota Sadar
HAM yang menjunjung, menghormati, dan melindungi hak asasi warganya.
Pada saat ini, Pemerintah Kota Palu bekerja sama dengan SKP-HAM untuk
melakukan proses verifikasi terhadap korban pelanggaran HAM peristiwa 1965 di
kota Palu untuk mendapatkan layanan khusus dari pemerintah kota Palu.
Pemerintah kota Palu juga kemudian melakukan kerjasama dengan beberapa
institusi pemerintah yaitu KOMNAS HAM, KOMNAS Perempuan, dan LPSK untuk
memperkuat “pelaksaan pemajuan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia di kota Palu”.
Dalam rangka momentum Hari HAM yang diperingati setiap tanggal 10 Desember,
SKP-HAM Sulawesi Tengah bekerja sama dengan Pemerintah Kota Palu mengadakan
beberapa kegiatan selama empat hari mulai tanggal 19-22 Januari 2014. Rangkaian
kegiatan tersebut mengambil tema “Hak Asasi Manusia dan Kebijakan Pemerintah
Daerah”. Kegiatan yang dilaksanakan semala 4 hari tersebut adalah Pameran Foto,
Pembacaan Puisi, Pemutaran Film, Diskusi, Dengar Kesaksian dan Peluncuran buku.
Rangkaian kegiatan tersebut dilaksanakan di Taman Budaya Sulawesi Tengah yang
terletak di Jalan Abdullah Raqie, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat
Pameran foto berisi foto-foto korban hasil verifikasi yang dilakukan oleh
SKP-HAM, foto-foto dokumen (surat pembebasan, surat panggilan, dan lain-lain),
foto surat-surat pribadi korban kepada keluarga, dan foto-foto selama korban
menjalani masa penahanan dan kerja paksa. Pameran ini merupakan buah kerja sama
SKP-HAM dan Emhan Saja dari Yayasan Tadulako.Pemutaran Film yang dilaksanakan
adalah pemutaran film “Senyap” karya Joshua Oppenheimer dan sebuah film yang
bercerita tentang Lekra.
Kegiatan dengar kesaksian yang dilaksanakan menghadirkan lima orang
perwakilan korban dari lima kecamatan di kota Palu yang menjadi lokasi
verifikasi yaitu Kecamatan Tawaeli, Kecamatan Palu Utara, Kecamatan Palu Timur,
Kecamatan Mantikulore, dan Kecamatan Palu Selatan. Dengar Kesaksian ini bukan
yang pertama kali dilakukan oleh SKP-HAM Sulawesi Tengah. Pada tahun 2012,
SKP-HAM dan KKPK pernah mengadakan kegiatan serupa. Dengar Kesaksian merupakan
ruang bagi korban untuk berbicara mengenai ketidak adilan yang menimpa mereka,
sekaligus menjadi ruang untuk menyuarakan tuntutan mereka.
Dengar kesaksian kali ini akan dihadiri oleh perwakilan negara yang terdiri
dari Komnas HAM, LPSK, dan Komnas Perempuan. Perwakilan pemerintah Kota Palu
yang terdiri dari Walikota Palu, dan Bappeda Kota Palu. Perwakilan warga kota
Palu yang terdiri dari Budayawan (Dra.
Hj. Intje Mawar L. Abdullah) dan Sejarawan (Wilman Darsono Lumangino).
Perwakilan warga dan koalisi LSM HAM nasional (KKPK dan AJAR). Kegiatan ini
juga akan dihadiri oleh pemerintah lokal, lembaga agama, tokoh adat, organisasi
perempuan, pemuda, asosiasi veteran, asosiasi guru, partai politik lokal,
aparat keamanan, organisasi korban, pelajar, kalangan akademisi, dan media.
Kegiatan yang akan menutup rangkaian peringatan hari HAM tersebut adalah
peluncuran sekaligus diskusi buku “Menemukan Kembali Indonesia”. Buku ini
merupakan hasil kerja KKPK selama 2 tahun (2012-20140 untuk mengumpulkan
dokumentasi, mengurai persoalan, mendengarkan suara-suara korban, membangun
kerjasama dengan pemerintah di tingkat lokal dan nasional hingga membangun
diskusi dengan kelompok muda. Buku ini memiliki satu tujuan yaitu mencari jalan
keluar menuju Indonesia yang lebih baik ke depan.
Proses kerja keras selama dua tahun tersebut berhasil mengumpulkan ribuan
kasus pelanggaran HAM di seluruh Indonesia juga Timor Leste (sebelum jajak
pendapat). Ribuan persoalan pelanggaran HAM tersebut termasuk di dalamnya
kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Sulawesi Tengah. Buku ini
mengajak seluruh anak bangsa untuk melihat lebih dalam, lebih jujur terhadap
sejarah kelam bangsa kita.
0 Comments