MEMBANGUN GENERASI KRITIS DAN KONTRIBUTIF: JAWABAN ATAU TANTANGAN?

MEMBANGUN GENERASI KRITIS DAN KONTRIBUTIF: JAWABAN ATAU TANTANGAN?




“Pemuda adalah tulang punggung bangsa”  

Ungkapan ini menunjukkan betapa pemuda memiliki peran sentral dalam sejarah perjalanan bangsa. Sejarah membuktikan bahwa pemuda berperan penting pada sebagian besar perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut terjadi karena kesadaran akan pentingnya perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.

Sejarah mencatat bahwa sejak masa pergerakan dari tahun 1908-1945 dan masa kemerdekaan (1945-sekarang), pemuda berperan penting terhadap momentum perubahan bangsa ini. Budi Utomo yang merupakan penanda kebangkitan nasional, didirikan oleh sekelompok pemuda (mahasiswa STOVIA) di tahun 1908, sumpah pemuda tahun 1928 diprakarsai oleh para pemuda, Proklamasi 1945 tidak akan terjadi jika tidak ada peristiwa Rengasdengklok yang juga dibidani oleh para pemuda, dan tentu saja aksi mahasiswa tahun 1966 saat menumbangkan orde lama dan tahun 1998 saat menumbangkan orde baru juga adalah bukti keterlibatan pemuda dalam perubahan di negeri ini.  


Dari perubahan-perubahan tersebut, dapat kita lihat bahwa ada sebuah spirit yang hadir dalam setiap momentum perubahan yang melibatkan peran pemuda yaitu kesadaran akan pentingnya perubahan menuju Indonesia yang lebih baik. Kesadaran tersebut muncul sebagai respon atas kondisi bangsa yang terpuruk hampir di segala bidang, menghadapi ancaman dari luar, atau karena kegagalan sebuah sistem pemerintahan. Kesadaran tersebut tidak akan lahir tanpa adanya sikap kritis dari para pemuda untuk ikut andil menentukan nasib bangsanya.

Indonesia baru saja merayakan hari jadinya yang ke 69. Dalam 69 tahun terakhir, negeri ini mengalami berbagai macam peristiwa, jatuh-bangun, dan pergantian tampuk kepemimpinan. Total sudah tujuh orang presiden memimpin negara ini. Di usianya yang semakin tua, negeri ini terus bersolek agar tetap kelihatan cantik di masa tuanya. 

Namun ibarat seorang wanita, negeri ini tak mampu menjaga kehormatannya. Ia malah dijerumuskan oleh mucikari-mucikari yang menamakan dirinya pemimpin, untuk melacurkan diri kepada negara-negara lain. Tidak terhitung berapa banyak aset negara ini yang dikuasai asing atau dikorupsi, berapa kali negeri ini diremehkan kedaulatannya, dan berapa banyak rakyatnya yang menjadi korban dari keadaan tersebut. 

Keterpurukan ini sedemikian terstruktur, sistematis, dan masif. Ia ibarat virus yang semakin hari semakin mengerogoti kondisi tubuh negara ini dan kemudian lemah hingga mati perlahan-lahan. Ia menggerogoti segala aspek kehidupan di dalam bangsa ini. 

Saat keterpurukan tersebut sudah sedemikian masif, Negeri ini mencanangkan target “Indonesia Emas 2045”. Tahun 2045 adalah peringatan 100 tahun atau satu abad usia Indonesia. Diharapkan, di usianya yang ke 100 ini, Indonesia telah memiliki generasi emas yang siap untuk menghadapi tantangan globalisasi dan mampu bersaing dengan negara-negara berkembang maupun maju lainnya. 

Menuju Indonesia Emas 2045: Tantangan Pemuda Indonesia Saat Ini
Proyeksi utama dari Indonesia Emas 2045 adalah pemuda. “Masa depan bangsa ada di tangan pemuda” demikian pepatah lama mengatakan. Ungkapan ini bukan kata belaka melainkan memiliki semangat konstruktif bagi pembangunan dan perubahan. Pemuda dianggap memiliki daya pikir revolusioner yang menjadi kekuatan utama. Sebab, dalam mengubah tatanan lama, dibutuhkan pola pikir baru, muda dan segar dari kalangan muda.

Namun, menengok ke dalam kondisi kepemudaan bangsa Indonesia saat ini, kita akan disuguhkan kepada kenyataan bahwa generasi muda Indonesia sedang berada di titik nadir. Kebanyakan dari mereka terjebak dalam hedonitas sebagai efek samping dari kemajuan jaman. Sikap skeptis dan pragmatis muncul seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Sikap ini menjadikan kita individu yang apatis, dan terkesan acuh dengan keadaan lingkungan sekitarnya. Kita lebih memilih menghabiskan waktu dengan gadget yang kita punya daripada meluangkan waktu untuk melihat keadaan sekita atau yang paling sederhana, bercengkerama dengan orang di dekat kita. 

Sikap kritis yang sedari dulu melekat pada diri pemuda kita juga mulai tergerus oleh waktu. Mereka lebih sibuk mengikuti berbagai kontes, olimpiade, dan lain-lain ketimbang ikut menyuarakan jeritan rakyat kecil yang selalu jadi korban dari sistem di negara ini. Sikap individual nampak jelas perlahan di bangun di negara yang makin hari makin liberal ini. 

Institusi pendidikan pun tidak mampu menjadi jawaban atas permasalahan ini. Mereka sibuk bersaing untuk bersolek agar dilirik pada saat pergantian tahun ajaran. Konsep persaingan antar institusi pendidikan untuk menyandang gelar favorit memunculkan opini bahwa sistem pendidikan kita telah mengarah ke arah persaingan bisnis. Institusi pendidikan berlomba-lomba meningkatkan mutunya baik itu mutu pelayanan, sarana, maupun mutu pendidikannya. Mereka juga menjalin kerjasama dengan penerbit-penerbit buku teks pelajaran yang ternama dengan maksud meningkatkan mutu proses pembelajarannya.  

Persaingan memang berimbas pada peningkatan mutu namun berimbas juga pada peningkatan biaya pendidikan. Institusi pendidikan berlabel favorit boleh jadi kini tinggalah impian bagi mereka yang kategori ekonominya menengah ke bawah. Biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ki Hadjar Dewantara pun menjelaskan bahwa pendidikan Indonesia haruslah pendidikan yang memerdekakan siswa. Pendidikan harus membimbing anak-anak agar menjadi orang-orang yang sungguh merdeka lahir dan batin. Namun, bagaimana pendidikannya dapat memerdekakan jika sistemnya masih menjajah mereka yang lemah?

Model dan sistem pendidikan yang seperti ini tidak akan dapat memaksimalkan pendidikan karakter yang menjadi point utama dalam penyusunan kurikulum pendidikan di negeri ini. Jadi jangan heran bila masih banyak pemuda yang masih bergulat dengan hedonitas, terjerat pergaulan bebas, dikuasai oleh gadget, dan terlibat dalam konflik. 

Memahami Budaya dan Sejarah sebagai Langkah Pembentukan Karakter
Kenyataan di atas sudah lebih dari cukup untuk mencerminkan bahwa wawasan dan pengetahuan generasi muda mengenai budaya dan sejarah terutama budaya dan sejarah lokal masih kurang. Kenyataan ini jelas merupakan kerugian besar dalam usaha untuk membentuk masyarakat khususnya generasi muda yang berkarakter. Kurangnya kepedulian terhadap wawasan kearifan lokal ini mengakibatkan nilai-nilai kelokalan tersebut mulai dilupakan.   

Budaya dan sejarah lokal tersebut banyak menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk pembentukan karakter generasi muda. Kearifan lokal tersebut berupa semangat kepahlawanan, keteladanan, dan persatuan yang terdapat dalam budaya dan sejarah lokal. Nilai-nilai kearifan local seperti itu yang seharusnya diejahwantahkan dalam pendidikan karakter yang diperuntukkan bagi generasi muda.

Pembelajaran nilai-nilai kearifan lokal tersebut adalah salah satu alternatif yang bukan hanya harus dilirik tetapi ditindak lanjuti di tengah usaha untuk menciptakan pendidikan yang berkarakter. Pendidikan karakter yang paling awal harus diterima adalah bagaimana peserta didik mengetahui dan memahami nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam budaya dan sejarah local dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi penting dalam upaya membangun generasi muda Indonesia khususnya Sulawesi Tengah yang berkarakter dan tidak “amnesia” nilai-nilai kearifan lokalnya.
 
Membangun Generasi Kritis dan Kontributif: Jawaban atau Tantangan?
            Berdasarkan wacana di atas, kita dapat melihat sekelumit permasalahan yang menghinggapi bangsa ini dan generasi mudanya. Negeri ini tidak lagi butuh individu-individu yang hanya bisa mengkritisi tanpa memberikan solusi. Kritik tanpa solusi hanya akan membuat suasana semakin keruh dan tidak kondusif. 

            Berbekal nilai-nilai karakter yang didapat dari kearifan lokal di masing-masing daerah, para pemuda bisa mengkolaborasikannya dengan pengetahuan yang didapatkan dari institusi pendidikan. Hal ini menjadi penting karena banyak orang yang pintar, namun tidak berkarakter.
            Sudah saatnya kita menjadi generasi yang tidak hanya kritis dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi di bangsa ini, tapi juga berkontribusi untuk mengisi kemerdekaan yang sudah susah payah diperjuangkan oleh para pendahulu kita. Pemuda adalah harapan bangsa ini untuk lepas dari berbagai keterpurukan. 

Dalam menghadapi kenyataan seperti ini, pemuda harus menyiapkan langkah konkret. Langkah konkret tersebut adalah kita mulai menanamkan pada diri kita arti penting dari sebuah idealisme. Selain itu, kita harus mulai bersikap peka dengan lingkungan sekitar kita. Dengan bersikap peka, kita akan lebih mengerti dan memahami bagaimana sebenarnya keadaan di lingkungan sekitar kita khususnya dan masyarakat pada umumnya

Oleh karena itu sebagai penerus tongkat estafet perjuangan pemuda-pemuda dari masa sebelumnya, kita harus mulai membangun karakter diri sejak dini. Karakter diri yang dimaksud adalah integritas, idealisme, tanggung jawab, kepekaan sosial, dan intelektual. Dengan menanamkan karakter diri sejak dini, niscaya kita juga telah mulai membentuk karakter bangsa menjadi lebih baik. Karena, di pundak kitalah kelak,nasib bangsa ini dipertaruhkan.
 
Kita juga dapat merefleksi sekaligus bercermin dari semangat perubahan yang dilakukan oleh para pemuda sejak 1908-1998. Semangat pembaruan yang lahir dari pemikiran mereka merupakan buah dari kerja keras dan disiplin. Sebagai penerus tongkat estafet perjuangan yang menjadi simbol kemajuan suatu bangsa, kita wajib meneladani semangat dan idealisme mereka agar kelak lahir Soekarno-Soekarno baru, Soe Hok Gie-Soe Hok Gie baru, serta pemikir-pemikir baru yang memiliki pola pikir baru, kreatif dan segar.

 Sudah saatnya generasi muda Indonesia kembali menggali pemikiran-pemikiran brilian dalam dirinya  demi masa depan yang lebih baik. Banyak hal positif yang bisa dikaji dan ditumbuh kembangkan agar pemuda lebih kreatif, idealis, intelektual, mandiri, dan profesional. Jangan sampai tergerus oleh zaman dan sejarahnya sendiri, karena tidak mampu melawan arus zaman.

Penutup
Di tengah persoalan bangsa yang semakin pelik, bangsa ini membutuhkan generasi muda yang sadar akan nasib bangsanya. Generasi muda yang tidak hanya kritis tapi juga kontributif. Generasi muda hendaknya bertindak sesuai dengan statusnya sebagai agen perubahan sosial. Tetapi saat ini, generasi muda tidak cukup hanya menjadi agen tetapi juga dituntut menjadi aktor dari perubahan itu sendiri. Ingat bahwa setiap generasi berhak menulis sejarahnya sendiri. Jangan sampai mahasiswa malah berubah menjadi leviathan, meminjam istilah Thomas Hobbes, yang malah menjadi aktor di balik carut-marutnya kondisi negara ini.
   
Bercermin pada masa lalu menjadikan kita lebih arif. Manusia dengan potensi jiwa yang selalu menyuarakan kebenaran dan berbuat benar, pasti beroleh ketenangan. Jika ia telah sampai di halte terakhir kehidupan, dirinya akan dikenang dan dikagumi sebagai generasi emas yang tak pernah lekang dalam ingatan kolektif masyarakat bangsanya. Sekarang tinggal bagaimana kita memaknai apakah membangun generasi muda yang kritis dan kontributif adalah sebuah jawaban atas segala permasalahan atau justru tantangan bagi generasi muda untuk mewujudkannya?


Artikel ini mendapat Juara ke II dalam lomba penulisan essay dalah rangka Dies Natalis LPM Qalamun ke

Post a Comment

1 Comments

  1. Thanks infonya. Oiya ngomongin generasi muda, masalah yang dihadapi saat ini bisa dibilang lebih rumit sih, salah satunya terkait masalah finansial. Makanya ga heran kalo anak-anak muda disarankan buat investasi sedini mungkin. Lalu, apa sih alasan sebenarnya di balik hal itu? Yuk cek jawabannya di sini: Alasan harus investasi sejak muda

    ReplyDelete