Presiden
Republik Indonesia yang baru dilantik, Joko Widodo atau yang lebih akrab disapa
Jokowi, membuat sebuah gebrakan dalam penunjukkan menteri dalam kabinetnya.
Beberapa orang menteri yang ia tunjuk, menuai perhatian dan kontroversi di
masyarakat. Salah satunya adalah Susi Pudjiastuti, yang ditunjuk sebagai
Menteri Kelautan dan Perikanan.
Penunjukkan
Susi sebagai menteri menuai banyak kontroversi. Apalagi setelah ia terekam
kamera sedang merokok di lingkungan Istana Negara. Sang menteri juga diketahui
memiliki tatto di tubuhnya. Yang paling menjadi perdebatan adalah bahwa sang
menteri hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Banyak pihak menilai,
penunjukkan Susi adalah sebuah blunder dalam pemerintahan Jokowi.
Namun,
jika melihat latar belakang Susi Pudjiastuti lebih jauh, kita akan disuguhkan
fakta yang cukup mencengangkan. Ia tercatat sebagai Presiden Direktur PT. ASI
Pudjiastuti Marine Product, eksportir hasil-hasil perikanan. Ia juga tercatat
sebagai Presiden Direktur PT. ASI Pudjiastuti Aviation atau yang lebih dikenal
dengan Susi Air. Perusahaan jasa penerbangan ini mengoperasikan 50 pesawat
dengan berbagai tipe seperti 32 Cessna Grand Caravan, 9 Pilatus PC-6 Porter,
dan 3 Piaggio P180 Avanti. Susi Air mempekerjakan 180 pilot, dengan 175 di
antaranya merupakan pilot asing. Pada tahun 2012, Susi Air menerima pendapatan
Rp. 300 miliar dan melayani 200 penerbangan perintis.
Atas
capaiannya dalam dunia bisnis tersebut, Susi banyak menerima penghargaan,
antara lain Pelopor Wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat
tahun 2004, Young Entrepreneur of The Year dari Ernst and Young Indonesia tahun
2005, Primaniyarta Award for Best Small and Medium Enterprise Exporter dari
Presiden Republik Indonesia pada tahun 2005, Metro TV Award for Economic
Inspiring Woman tahun 2005, Eagle Award tahun 2006, Indonesia Berprestasi Award
dari PT Excelcomindo, dan Sofyan Ilyas Award dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan pada tahun 2009.
Susi
juga dikenal sebagai sosok yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Pada musibah
tsunami yang terjadi di Aceh pada tahun 2004, Susi merupakan orang pertama yang
nekat menerbangkan pesawatnya untuk menyalurkan bantuan ke daerah bencana
tersebut. Pada saat musibah yang sama terjadi di Pangandaran, ia membuka tempat
pengolahan hasil lautnya sebagai tempat penampungan pengungsi bencana tersebut.
Melihat
pencapaian dan torehan yang berhasil diraih oleh Susi, tentu tidak berlebihan
jika Jokowi mengapresiasinya dengan menunjuk Susi sebagai menteri. Pengalaman
dan kegigihannya dalam membangun usaha dirasa cukup sebagai syarat untuk
memajukan sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Dari sekian banyak pihak
yang mencibir, tidak sedikit juga pihak yang optimis dengan penunjukkan Susi
sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Jika
kita berpikir jernih dan coba merenungkan kembali, penunjukkan Susi sebagai
menteri jelas menampar wajah sistem pendidikan Indonesia. Muncul pertanyaan
mengapa di tengah banyaknya ahli kelautan dan perikanan yang bertebaran di
Indonesia, Jokowi mantap memilih Susi yang hanya lulusan SMP. Tentu hanya
Jokowi yang tahu jawaban atas pertanyaan tersebut. Namun, jika melihat sepak
terjang Susi, saya secara pribadi juga memahami mengapa Jokowi lebih memilih
menunjuk Susi sebagai menteri ketimbang sederet ahli di bidang tersebut.
Saya
mengambil kesimpulan bahwa dengan fenomena tersebut, menjadi indikasi bahwa ada
yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia. Buktinya, seorang kepala
negara lebih cenderung memilih figur yang berpengalaman dan sudah terbukti
pencapaiannya, terlepas dari apapun latar belakang pendidikannya daripada
memilih seorang ahli yang dibentuk dan ditempa oleh pendidikan formal di
sekolah dan universitas. Hipotesis ini tidak bermaksud mencederai profesionalitas
seorang ahli atau membangun pemahaman baru bahwa pendidikan formal di sekolah
dan universitas tidak penting. Hipotesis ini hanyalah bagian dari kegelisahan
penulis dengan kualitas keluaran (baca: hasil) sistem pendidikan di Indonesia.
Dewasa
ini, kualitas keluaran sistem pendidikan di Indonesia makin dipertanyakan. Hal
ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa orientasi kerja sebagian besar keluaran
sistem pendidikan tersebut adalah menjadi abdi negara (baca: Pegawai Negeri
Sipil). Setiap penerimaan CPNS dibuka, begitu banyak lulusan universitas atau
SMA yang mengadu nasib di “lotere” tersebut. Fenomena tersebut menjadi indikasi
bahwa menjadi PNS merupakan tujuan utama para lulusan universitas dan SMA di
Indonesia. Hanya segelintir yang memutuskan untuk mengais rezeki di bidang lain
selain PNS.
Kenyataan
tersebut hanyalah salah satu dari beragam permasalahan yang menggelayut dalam
sistem pendidikan di Indonesia. Banyaknya keluaran sistem pendidikan di
Indonesia yang menggantungkan harapan pada penerimaan CPNS merupakan bukti
bahwa kualitas SDM yang dihasilkan masih cukup rendah. Timbul pertanyaan kemudian
mengenai proses mencetak keluaran tersebut. Pertanyaan tersebut tentu harus
dijawab oleh institusi pendidikan selaku garda terdepan dalam sistem pendidikan
di Indonesia.
Namun,
institusi pendidikan seakan belum mampu menjadi jawaban atas permasalahan tersebut.
Mereka malah sibuk bersaing untuk bersolek agar dilirik pada saat pergantian tahun
ajaran. Konsep persaingan antar institusi pendidikan untuk menyandang gelar
favorit dan unggulan memunculkan opini bahwa sistem pendidikan kita telah
mengarah ke arah persaingan bisnis. Institusi pendidikan berlomba-lomba
meningkatkan mutunya baik itu mutu pelayanan, sarana, maupun mutu
pendidikannya. Mereka juga menjalin kerjasama dengan penerbit-penerbit buku
teks pelajaran yang ternama dengan maksud meningkatkan mutu proses
pembelajarannya.
Persaingan
mungkin berimbas pada peningkatan mutu namun berimbas juga pada peningkatan
biaya pendidikan. Institusi pendidikan berlabel favorit dan unggulan boleh jadi
kini tinggalah impian bagi mereka yang kategori ekonominya menengah ke bawah.
Biaya pendidikan yang semakin hari semakin mahal jelas bertentangan dengan
tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ki Hadjar
Dewantara pun menjelaskan bahwa pendidikan Indonesia haruslah pendidikan yang
memerdekakan siswa. Pendidikan harus membimbing anak-anak agar menjadi
orang-orang yang sungguh merdeka lahir dan batin. Namun, bagaimana
pendidikannya dapat memerdekakan jika sistemnya masih menjajah mereka yang
lemah? Model dan sistem pendidikan yang seperti ini tidak akan dapat
memaksimalka tujuan hakiki pendidikan yaitu memanusiakan manusia.
Permasalahan
tidak hanya sampai di situ saja. Kualitas pendidikan yang diterima juga masih
dapat dipertanyakan. Tenaga pengajar
dengan mudah menginstruksikan kepada si peserta didik untuk mencari
materi pembelajaran lewat internet ketimbang mencari di buku. Dampaknya pun
terlihat jelas dengan rendahnya minta baca dan lengangnya aktivitas edukatif di
perpustakaan. Ibarat kata, dari seribu orang, hanya satu orang yang terinfeksi
virus baca tersebut. Kebutuhan akan referensi juga menjadi semakin sulit dengan
tidak adanya toko buku yang memadai. Jadi, jangan heran jika praktik copy-paste
dan plagiat masih menjadi “andalan” untuk mengerjakan tugas.
Kualitas
pendidikan menentukan mental si pengenyam pendidikan. Jika kualitas
pendidikannya rendah, maka jangan berharap mental keluarannya akan baik.
Parahnya, hal ini seakan dipelihara bahkan dibiarkan membudaya di lingkungan institusi
pendidikan. Praktik copy-paste, dan plagiarisme sudah sedemikian terstruktur,
sistematis, dan masif sehingga jaringannya ibarat jaringan sindikat mafia yang
memiliki impunitas dan seakan tak tersentuh.
Sekelumit
permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab
bersama untuk menyelesaikannya. Pemerintah memang merupakan pihak yang paling
bertanggung jawab untuk menata kembali sistem pendidikan Indonesia menuju arah
yang lebih baik. Namun, kita tidak selalu harus menunggu pemerintah untuk dapat
andil dalam tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak sarana pendidikan
alternatif yang bermunculan di tengah-tengah ketidakpastian arah pendidikan
kita. Tentu saja ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia yang
masih tertutup awan kelabu.
Momentum
suksesi pemerintahan yang baru saja kita lewati, diharapkan menjadi titik balik
bagi dunia pendidikan Indonesia menuju arah yang lebih baik. Wajah sistem
pendidikan Indonesia yang diibaratkan “bopeng sebelah” saat ini adalah cambuk
bagi semua pihak untuk turut andil dalam membangun kembali sistem pendidikan
Indonesia yang menghasilkan keluaran yang siap menghadapi persaingan dan teruji
kemampuannya. Apalagi saat ini sistem pendidikan Indonesia digadang-gadang
berada di tangan sosok yang tepat. Jadi, mari berhenti mengumpat,
mendiskreditkan, bahkan mencemooh untuk kemudian bersama mewujudkan sistem
pendidikan Indonesia yang bersaing dan berkarakter.
0 Comments