Generasi Muda Sulawesi Tengah Berkarakter: Wacana Kurikulum Sejarah Berbasis Kelokalan

Generasi Muda Sulawesi Tengah Berkarakter: Wacana Kurikulum Sejarah Berbasis Kelokalan



Pada pelaksanaan Olimpiade Sejarah Nusantara yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 16 Oktober 2014, muncul sebuah fenomena unik. Pada babak final yang mempertemukan tiga SMA yang cukup populer di kota Palu yaitu; SMAN 3 Palu, SMAN 2 Palu dan SMKN 2 Palu, muncul lima butir soal rebutan yang menyangkut sejarah lokal Sulawesi Tengah. Dari kelima butir soal tersebut, tidak ada satupun yang berhasil dijawab dengan benar oleh para peserta. Para audiens yang hadir terutama dari kalangan guru sejarah pun tidak mampu menjawab soal tersebut. Lima butir soal yang ditanyakan pun cukup sederhana yaitu;

a.      1. Siapa nama lengkap Guru Tua yang merupakan pendiri perguruan Alkhairaat?
b.      2. Siapa nama penyebar islam pertama di Sulawesi Tengah?
c.       3. Siapa nama pahlawan daerah Sulawesi Tengah yang berasal dari Kabupaten Sigi?
d.      4. Siapa nama gubernur pertama Sulawesi Tengah?
e.    5. Siapa nama tokoh yang memimpin perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda di Salumpaga pada tahun 1919?


Bagi sebagian pihak, fenomena tersebut mungkin tidak terlalu menjadi persoalan. Namun, bagi kalangan pemerhati sejarah, fenomena tersebut merupakan indikasi bahwa sejarah lokal terutama sejarah lokal Sulawesi Tengah belum mendapat tempat dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Hal tersebut berakibat pada kurangnya pemahaman sejarah peserta didik akan sejarah lokal daerahnya sendiri. Ini tentu menjadi masalah serius jika tidak disikapi secara serius. Ketakutan terbesar yang menanti adalah generasi muda Sulawesi Tengah terancam lupa terhadap sejarah lokalnya. 

Fenomena tersebut jelas menggambarkan bahwa sejarah lokal kurang mendapat perhatian dalam pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, terutama di Sulawesi Tengah. Kurikulum yang menekankan pada pembelajaran sejarah Indonesia (sejarah dalam lingkup nasional) menyebabkan sejarah lokal seakan tidak mendapat tempat dalam kurikulum pembelajaran sejarah. Padahal, sejarah lokal dapat dijadikan salah satu instrument pembelajaran untuk menanamkan pendidikan karakter bagi peserta didik. Nilai-nilai kearifaan lokal yang terdapat dalam sejarah lokal dapat dijadikan landasan nilai dalam upaya pembentukan karakter. 

Sejarah lokal khususnya sejarah lokal Sulawesi Tengah banyak menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk pembentukan karakter generasi muda. Kearifan lokal tersebut berupa semangat kepahlawanan, keteladanan, dan persatuan yang terdapat dalam sejarah local khususnya sejarah lokal Sulawesi Tengah. Nilai-nilai kearifan lokal seperti itu yang seharusnya diejahwantahkan dalam pendidikan karakter yang diperuntukkan bagi peserta didik.

Kenyataan di atas sudah lebih dari cukup untuk mencerminkan bahwa wawasan dan pengetahuan generasi muda di Sulawesi Tengah mengenai sejarah terutama sejarah lokal masih kurang. Kenyataan ini jelas merupakan kerugian besar dalam usaha untuk membentuk masyarakat khususnya generasi muda yang berkarakter. Kurangnya kepedulian terhadap wawasan sejarah lokal ini mengakibatkan nilai-nilai kelokalan tersebut mulai dilupakan.

Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah khususnya Dinas Pendidikan yang berada di provinsi maupun kabupaten harus mengusulkan agar sejarah lokal dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran sejarah di sekolah. Hal tersebut perlu dilakukan karena peserta didik terutama di Sulawesi Tengah terindikasi tidak mengetahui sejarah lokal dan tidak mengenal tokoh-tokoh lokalnya. Indikasi tersebut disebabkan oleh kurikulum pembelajaran sejarah yang hanya menekankan pada pembelajaran sejarah Indonesia (sejarah nasional) dan tidak menyertakan aspek-aspek sejarah lokal dalam pembelajaran.

Masuknya sejarah lokal dalam kurikulum pembelajaran sejarah di sekolah mutlak diperlukan dan sebaiknya dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kurikulum mata pelajaran sejarah maupun IPS pada kurikulum 2013. Mata pelajaran sejarah yang mengalami peningkatan jam pelajaran dari 2 jam pelajaran/minggu menjadi 4-6 jam pelajaran/minggu membuka peluang bagi sejarah lokal untuk masuk dalam kurikulum pembelajaran sejarah. Sekarang tinggal bagaimana para pemangku kebijakan melihat peluang ini sebagai langkah awal penanaman pendidikan karakter bagi generasi muda.

Media Pembelajaran Sejarah Lokal:  Masalah-Masalah di Sekitarnya  
Namun, permasalahan tidak hanya sampai di situ saja. Pembelajaran sejarah lokal membutuhkan media pembelajaran yang memadai pula seperti buku-buku maupun situs-situs sejarah. Buku-buku sejarah lokal yang nantinya akan dijadikan buku teks pelajaran sejarah di sekolah hendaknya berdasarkan pada hasil penelitian sejarah lokal yang komprehensif dan dapat dipertanggung jawabkan.

Untuk mendapatkan buku teks sejarah lokal yang memenuhi syarat tersebut dibutuhkan peran serta dari para pemerhati sejarah, terutama akademisi yang bergelut dengan keilmuan sejarah agar dapat produktif untuk menghasilkan karya yang komprehensif. Hasil karya yang komprehensif tentu saja akan didapatkan melalui proses penelitian yang komprehensif pula. 

Media pembelajaran yang berikutnya berupa situs-situs sejarah. Situs-situs sejarah ini menjadi penting sebagai media pembelajaran yang paling efektif untuk mengenalkan sejarah lokal Sulawesi Tengah. Namun, banyak masalah terkait situs-situs sejarah yang ada di Sulawesi Tengah. Masalah-masalah yang hadir antara lain; Pertama, kurangnya upaya promosi yang dilakukan oleh dinas terkait terhadap kehadiran situs-situs sejarah. Kedua, pemeliharaan situs yang kurang baik dan tidak mengindahkan aspek-aspek arkeologis dan sejarah. Ketiga, kurangnya sarana dan prasarana memadai di sekitar situs sejarah, dan Keempat, kurangnya wawasan pengetahuan kesejarahan pegawai dinas terkait, masyarakat, dan generasi muda.  

Berkaca dari Realitas: Menemukan Solusi dan Menjawab Permasalahan
Untuk menjawab permasalahan di atas, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Perlu usaha yang keras untuk merubah tatanan yang sudah mengakar tersebut. Usaha tersebut dimulai dari elemen paling dasar yaitu pendidikan. Salah satu instrumen penting adalah guru-guru sejarah. 

Guru-guru sejarah sebagai ujung tombak pelaksana di sekolah pun harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup tentang sejarah lokal bahkan sejak dari tingkat mahasiswa. Karena, menyandang gelar sarjana pendidikan di bidang keilmuan sejarah bukan jaminan kalau sang guru menguasai kajian sejarah lokalnya. Model pendidikan satu arah yang tidak jarang diterapkan dalam perkuliahan dan budaya intelektual yang masih rendah menjadi salah satu dari sekian banyak alasan di balik munculnya keraguan tersebut.

Dari sekian banyak masalah yang muncul dalam upaya mengenalkan sejarah lokal sejak dini kepada generasi muda Sulawesi Tengah sebagai upaya membangun generasi muda Sulawesi Tengah yang tidak lupa dengan akar sejarahnya, ternyata masih ada titik terang untuk mewujudkannya. Titik terang tersebut adalah kepedulian segelintir pihak yang menjadi pemerhati sejarah dan pemerhati pendidikan untuk turut serta dalam upaya pengenalan ini. Dukungan dari pihak pemerintah juga mulai nampak dengan sokongan bantuan dalam proses pencarian sumber sejarah lokal sebagai bahan edukasi untuk masyarakat, khususnya generasi muda walaupun sokongan tersebut masih terbatas dalam balutan proyek. Kegiatan-kegiatan seperti olimpiade sejarah juga harus rutin dilaksanakan dengan menyisipkan sejarah lokal dalam penyusunan butir soalnya. 

Satu hal yang paling mendasar adalah munculnya kesadaran dari generasi muda itu sendiri untuk turut andil dalam mempelajari sejarah lokalnya. Sejarah lokal banyak menyimpan nilai kearifan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penyusunan kebijakan seperti pembangunan kota, pemeliharaan situs sejarah, event-event budaya, dan lain-lain. Hal yang paling urgent adalah bagaimana nilai-nilai sejarah lokal yang di dalamnya banyak terdapat kearifan ini dapat digunakan sebagai sarana untuk meredam konflik yang semakin marak terjadi di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah yang diakibatkan oleh mulai terdegradasinya nilai-nilai kearifan lokal di masyarakat.  

Degradasi nilai-nilai kearifan lokal tersebut yang sering kali menyebabkan terkikisnya rasa toleransi, saling menghargai, dan menghormati sehingga masyarakat terutama generasi muda sering gampang terprovokasi dan akhirnya berujung pada terjadinya konflik dan kekerasan komunal. Konflik dan kekerasan tersebut menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi kemajuan daerah terutama daerah yang sedang berkembang seperti Sulawesi Tengah. Akibatnya, Sulawesi Tengah dikenal secara luas bukan karena pemberitaan media tentang perkembangan daerahnya tetapi karena pemberitaan media tentang konflik antar masyarakat yang terjadi di berbagai daerah di Sulawesi Tengah.

Pembelajaran sejarah lokal adalah salah satu wacana yang bukan hanya harus dilirik tetapi ditindaklanjuti oleh pemangku kepentingan di bidang pendidikan di tengah usaha pemerintah untuk menciptakan pendidikan yang berkarakter. Pendidikan karakter yang paling awal harus diterima adalah bagaimana peserta didik mengetahui dan memahami nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam sejarah lokal dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi penting dalam upaya membangun generasi muda Indonesia khususnya Sulawesi Tengah yang berkarakter dan familiar dengan sejarah lokalnya. 

*(Artikel ini mendapat juara ke II dalam Lomba Penulisan Essay dalam rangka Silo Langi’s Day ke 7 tahun 2014) 

Post a Comment

0 Comments