Abd. Rahman Dg. Maselo |
Penulisan
biografi khususnya biografi tokoh-tokoh lokal menjadi penting sebagai upaya
untuk mendokumentasikan perjalanan hidup tokoh-tokoh lokal yang memiliki andil
dalam pembangunan daerah. Perjalanan hidup tokoh-tokoh lokal ini mengiringi
perjalanan sejarah daerah di mana para tokoh ini mengabdi. Perjalanan hidup
tersebut kemudian ditulis dan diriwayatkan dalam sebuah biografi.
Menurut
Kuntowijoyo (2003:203), biografi atau catatan
tentang hidup seseorang itu, meskipun sangat mikro, menjadi bagian dalam
mosaik sejarah yang lebih besar. Biografi dapat digunakan untuk memahami para
pelaku sejarah, dan zaman yang menjadi latar belakang biografi, lingkungan
sosial-politiknya. Biografi yang baik adalah biografi yang memperhatikan empat
hal, yaitu (1) kepribadian tokohnya, (2) kekuatan sosial yang mendukung, (3)
lukisan sejarah zamannya, dan (4) keberuntungan dan kesempatan yang datang.
Sebuah
biografi yang baik juga melihat adanya pengaruh latar belakang keluarga,
pendidikan, lingkungan sosial-budaya, dan perkembangan diri dalam kehidupan
tokoh yang menjadi objek tulisan biografi. Penting juga untuk diceritakan
mengenai tikungan-tikungan yang menentukan jalan hidup selanjutnya dan membawa
perubahan penting dalam hidup tokoh yang menjadi objek tulisan biografi. Hal
yang tidak kalah penting adalah melukiskan zaman yang memungkinkan seseorang
muncul jauh lebih penting daripada pribadi atau kekuatan sosial yang mendukung.
Namun, banyak pula biografi yang tidak mencantumkan moment of truth itu.
Bertolak dari kenyataan tersebut, maka
penulisan biografi dianggap penting sebagai salah satu sarana “memperkenalkan”
tokoh-tokoh lokal dan sejarah lokal sebuah daerah. Penulisan sejarah yang
selama ini terkesan sentralistik mengakibatkan banyak tokoh lokal yang memiliki
andil besar dalam pembangunan tidak mendapat tempat dalam penulisan sejarah.
Setelah Orde Baru runtuh dan digantikan
oleh Orde Reformasi, sentralisasi penulisan sejarah perlahan mulai mengalami
perubahan. Kajian-kajian sejarah lokal khususnya biografi tokoh lokal mulai
mendapat tempat dalam penulisan sejarah. Perubahan tersebut melahirkan banyak
karya sejarah khususnya biografi tokoh lokal.
Sejalan dengan perubahan tersebut,
penulisan biografi tokoh lokal di Sulawesi Tengah mulai marak dilakukan. Kebanyakan
karya biografi yang ditulis adalah biografi kolektif (prosopography). Objek penulisan biografi kolektif tersebut sebagian
besar adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi
maupun kabupaten dan tokoh pahlawan lokal.
Penulisan biografi/prosopografi tokoh
lokal di Sulawesi Tengah tidak hanya dilakukan oleh sejarawan. Banyak biografi/prosopografi
tokoh lokal Sulawesi Tengah yang justru ditulis oleh kalangan akademisi dari
disiplin ilmu yang lain seperti; ilmu politik, sosiologi, agama, dan lain-lain.
Ada juga biografi/prosopografi tokoh lokal Sulawesi Tengah yang ditulis oleh kalangan
jurnalis. Karya dari kalangan non sejarawan tersebut dapat menjadi sumber
sejarah namun tidak dapat dikategorikan sebagai karya sejarah karena tidak
menggunakan metode sejarah.
Penulisan sejarah (biografi adalah salah
satu corak penulisan sejarah) nasional masih bersifat diskriminatif terhadap
tokoh-tokoh yang menganut paham Marxis-Leninisme, menjadi anggota/simpatisan
PKI dan organisasi underbouwnya, atau
yang terlibat Gerakan Tiga Puluh September (G30S) 1965. Mereka seakan tidak
mendapat tempat dalam penulisan sejarah. Hal tersebut juga terjadi dalam
penulisan sejarah lokal khususnya biografi tokoh lokal di Sulawesi Tengah. Para
tokoh yang sebenarnya memiliki andil dan jasa dalam pembangunan daerah namun karena
menganut paham Marxis-Leninisme, menjadi anggota/simpatisan PKI dan organisasi underbouwnya, atau yang
terlibat/dilibatkan dalam Gerakan Tiga Puluh September (G30S) 1965, kiprah dan
sepak terjang mereka tidak pernah ditulis untuk diketahui oleh masyarakat. Stigmatisasi
tersebut mengakibatkan nama mereka tenggelam seiring dengan proses “pelupaan”
massal yang dilakukan oleh pemerintah dan “pengingatan” akan kejahatan dan
kebiadaban yang sebagian besar di antara mereka tidak pernah melakukannya.
Abdul Rahman Dg. Maselo merupakan salah
satu dari sekian banyak tokoh lokal yang menjadi korban stigmatisasi tersebut. Jabatannya
sebagai Ketua Comitte Daerah Besar (CDB) PKI Sulawesi Tengah, membuatnya
terstigmatisasi dan tersingkir dari arus sejarah. Tidak banyak yang tahu bahwa
sosok pencinta seni ini, sebelum tragedi 1965 merupakan anggota Front Nasional
yang turut andil dalam perjuangan Sulawesi Tengah memisahkan diri dari Provinsi
Sulawesi Utara-Tengah. Berdasarkan keterangan teman-teman seperjuangannya yang
kini telah berusia lanjut, ia turut serta dalam rombongan yang menjemput
pejabat Gubernur Sulawesi Tengah yang pertama yaitu Anwar Gelar Datuk Madjo
Baso nan Kuning dengan menggunakan kapal laut. Namun karena stigma yang
dilekatkan oleh pemerintah pasca tragedi 1965, nasib Abdul Rahman Dg. Maselo
tidak jauh berbeda dengan nasib para pimpinan PKI Pusat di Jakarta yaitu
“dihilanngkan” atau dieksekusi. Abdul Rahman Dg. Maselo bersama dua kawannya
yaitu Chaeri Ruswanto dan Sunaryo meregang nyawa di ujung senjata algojo
pengeksekusi di sebuah bukit di antara Watusampu-Loli.
Perjalanan
hidup Abdul Rahman Dg. Maselo sebagai seorang tokoh lokal menarik untuk dikaji
lebih jauh. Latar belakang sebagai seorang guru dan seniman, pertemuannya
dengan Ketua CDB PKI Sulawesi Tengah Partowijoyo yang membuatnya bergabung
dengan Pemuda Rakyat, menggantikan Partowijoyo sebagai Ketua CDB PKI Sulawesi
Tengah tahun 1962, keterlibatan dalam Front Nasional, peran dalam proses
berdirinya Provinsi Sulawesi Tengah tahun 1964, antiklimaks kehidupannya
setelah tragedi 1965, berita tentang kehilangannya yang simpang siur hingga terungkapnya
rahasia tentang berita kematiannya setelah puluhan tahun dirahasiakan oleh
tentara, menjadikan perjalanan hidupnya layak untuk dituliskan sebagai biografi
seorang tokoh lokal terlepas dari ideologi yang ia anut.
Menurut
Asvi Warman Adam (2009:x), tujuan
penulisan biografi bukanlah agar dapat menilai melainkan memahami pikiran dan
tindakan seorang pelaku sejarah. Banyak biografi dikaitkan dengan aspek
kultural yang mendukung tokoh. Pemahaman (verstehen)
bisa didapatkan dengan mempertemukan dimensi luar (mengetahui) dan dimensi
dalam (menghayati).
Dasar
pemikiran di atas yang membuat penulis memilih judul “Abdul Rahman Dg. Maselo: Sebuah Biografi Politik”. Penulis memberi
batasan yaitu biografi politik untuk melihat berapa besar peran tokoh dalam
percaturan politik Sulawesi Tengah pada awal berdirinya, hubungan antara latar
belakang kehidupan dengan karier politiknya, sepak terjang di Pemuda Rakyat dan
CDB PKI Sulawesi Tengah, dan sikap politik yang diambil setelah tragedi 1965.
Setiap biografi seharusnya mengandung
empat hal, yaitu (1) kepribadian tokohnya, (2) kekuatan sosial yang mendukung,
(3) lukisan sejarah zamannya, dan (4) keberuntungan dan kesempatan yang datang.
Empat hal tersebut digunakan untuk mengidentifikasi masalah, memahami para
pelaku sejarah, zaman yang menjadi latar belakang biografi, dan lingkungan
sosial-politiknya.
Pertama,
kepribadian tokoh. Sosok Abdul Rahman Dg. Maselo memiliki kepribadian yang unik
di mata orang-orang yang mengenalnya. Asman Yodjodolo (Ketua IPPI Sulawesi
Tengah periode 1964-1965), yang merupakan salah seorang sahabat Abdul Rahman
Dg. Maselo pernah mengatakan bahwa;
“Saya mengenal
PKI secara mendalam atas keterangan yang dipaparkan secara gamblang oleh Abdul
Rahman Dg. Maselo. Selain satu kampung, saya masih memiliki ikatan kekeluargaan
dengan Ketua CDB PKI Sulawesi Tengah itu. Pada masa kepemimpinannya, PKI
menjadi partai yang sangat maju karena pimpinannya hebat, serba bisa, berjiwa
seni, pandai mengaji, hebat dalam berorasi, pemain voli handal, piawai bermain
gitar, suaranya bagus, dan memiliki wajah yang ganteng”.
Selain
Asman Yodjodolo, Mariam Labonu yang merupakan istri Abdul Rahman Dg. Maselo
juga memiliki kenangan tentang kepribadian suaminya tersebut. Ia menggambarkan
bahwa, Abdul Rahman Dg. Maselo adalah seorang pemuda yang sangat menonjol dan
banyak diminati oleh para gadis. Dia adalah orang yang multitalenta, mempunyai
banyak keterampilan, utamanya di bidang seni musik karena hampir semua alat
musik yang ada, mampu dimainkannya. Selain itu, sifatnya humoris, cerdas, dan
berjiwa seniman.
Sehubungan
dengan kepribadian tokoh, sebuah biografi perlu memperhatikan adanya latar
belakang keluarga, pendidikan, lingkungan sosial-budaya, dan perkembangan diri.
Abdul Rahman Dg. Maselo berasal dari latar belakang keluarga yang paham dengan
arti penting pendidikan bagi masa depan. Lingkungan keluarga yang demikian
membuat ia dan saudara-saudaranya dapat mengenyam pendidikan pada saat itu.
Abdul
Rahman Dg. Maselo mengenyam pendidikan hingga Sekolah Guru Bawah (SGB). Setelah
tamat, ia menjadi guru di Sekolah Rakyat 2 Donggala. Karakter seorang guru
sebagai pengayom dan sifat humoris yang menjadikan Abdul Rahman Dg. Maselo
mudah diterima di masyarakat dan memiliki pergaulan yang luas.
Karakter
dan sifat tersebut semakin lengkap dengan kemampuannya memainkan berbagai jenis
alat musik serta memiliki suara yang merdu. Jiwa seni yang begitu kuat dalam
dirinya membuat Abdul Rahman Dg. Maselo sering bolos mengajar karena bermain
musik. Abdul Rahman Dg. Maselo tergabung dalam sebuah grup musik bernama Al
Munir yang dipimpin oleh orang arab.
Sebagai
seorang pemuda yang multi talenta, Abdul Rahman Dg. Maselo merasa perlu
mengembangkan diri. Dia tertarik untuk masuk ke salah satu diantara banyak
organisasi pemuda yang ada di kota Palu pada saat itu. Pada akhir tahun
1950an-1960an, banyak organisasi pemuda yang sebagian besar merupakan underbouw partai politik pada saat itu
seperti Pemuda Rakyat, IPPI, Anshor, dan lain-lain. Abdul Rahman Dg. Maselo
memilih bergabung di Pemuda Rakyat yang saat itu merupakan salah satu
organisasi pemuda yang banyak diminati. Pemuda Rakyat adalah organisasi pemuda
yang merupakan sayap dari Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bergabungnya
Abdul Rahman Dg. Maselo di Pemuda Rakyat, membuat dirinya dapat mengasah
kemampuan dalam berorganisasi dan politik. Abdul Rahman Dg. Maselo aktif
mengikuti setiap kegiatan yang dilaksanakan oleh Pemuda Rakyat. Perlahan-lahan,
ia mulai menekuni aktivitas barunya ini.
Keterlibatan
Abdul Rahman Dg. Maselo di Pemuda Rakyat otomatis membuat dirinya mengenal baik
pengurus PKI. Pemuda Rakyat merupakan organisasi pemuda yang berafiliasi dengan
PKI. Hubungan baik dengan pengurus PKI dan sosok yang multi talenta membuat Abdul
Rahman Dg. Maselo dipercaya oleh Ketua Comitte Daerah Besar (CDB) PKI Sulawesi
Tengah yaitu Partowijoyo untuk menggantikannya pada tahun 1963. Sebelum menjadi
Ketua CDB PKI Sulawesi Tengah, ia juga menjabat sebagai Ketua Periodik Front
Nasional.
Selama
menjabat sebagai Ketua CDB PKI Sulawesi Tengah, Maselo dikenal sebagai pemimpin
yang cakap, cerdas, dan berkharisma. Prioritas utamanya adalah perbaikan
kesejahteraan masyarakat kecil terutama kaum tani dan buruh. Ia disegani kawan
maupun lawan politiknya walaupun sebagian orang sering membanding-bandingkannya
dengan salah satu tokoh PKI lainnya yaitu Chaeri Ruswanto.
Chaeri
Ruswanto juga termasuk dalam jajaran pimpinan PKI Sulawesi Tengah. Selain itu,
ia juga menjabat sebagai Anggota DPR-GR Provinsi Sulawesi Tengah utusan PKI
periode 1964-1967, Pemimpin Redaksi “Bintang Timur” yang merupakan surat kabar
terbitan CDB PKI Sulawesi Tengah dan wartawan Kantor Berita ANTARA cabang
Sulawesi Tengah. Sebagian orang dari dalam organisasi menganggap bahwa Ruswanto
yang lebih layak menjadi ketua karena memiliki kemampuan yang mumpuni. Mereka
berasumsi bahwa Maselo terpilih karena ia adalah putra daerah sedangkan
Ruswanto bukan orang asli Sulawesi Tengah.
Kedua,
kekuatan sosial yang mendukungnya. Tokoh-tokoh “kiri” seperti Lenin, Mao Ze
Dong, D.N. Aidit, Tan Malaka, dan lain-lain, “dihidupkan” namanya oleh sejarah
karena ada kekuatan sosial yang mendukungnya. Lenin hanya bisa naik berkat
adanya proletariat. Mao Ze Dong hanya mungkin naik karena ada petani, dan
begit6u pun dengan tokoh-tokoh lainnya hanya mungkin naik jika ada massa yang
mendukungnya. Hal tersebut juga berlaku pada tokoh-tokoh “kiri” lokal seperti Abdul
Rahman Dg. Maselo. Modal karakter, pengetahuan, dan pengalaman, membuat dirinya
mudah diterima di masyarakat, terutama massa PKI beserta organisasi underbouwnya yang sebagian besar adalah
pemuda, kaum tani, dan buruh. Kemampuannya dalam bermusik terutama musik
keroncong juga membuatnya menjadi idola lokal karena ia bersama bandnya sering
tampil mengisi acara di RRI Palu pada saat itu.
Ketiga, lukisan
sejarah zamannya. Melukiskan zaman yang memungkinkan seseorang muncul jauh
lebih penting daripada pribadi atau kekuatan sosial yang mendukung. Mengenai
hal ini, pertanyaannya ialah mengapa seseorang muncul pada suatu zaman dan
bukan zaman yang lain. Abdul Rahman Dg. Maselo “hadir” pada saat PKI sedang
meretas jalan menuju partai dengan jumlah massa terbesar di Indonesia. Pada
saat ia terpilih sebagai Ketua CDB PKI Sulawesi Tengah tahun 1963, PKI sudah
menjelma menjadi sebuah kekuatan besar politik penyokong presiden Soekarno. PKI
pada periode awal 1960an merupakan salah satu kutub politik selain Angkatan
Darat. Massa PKI yang berjumlah tiga juta orang jelas menunjukkan bahwa partai
ini mendapat tempat di hati rakyat. Kebijakan PKI yang pro rakyat miskin
terutama kaum tani dan buruh, membuat kehadiran PKI dengan mudah diterima oleh
masyarakat.
Keempat,
faktor keberuntungan atau kesempatan yang datang. Abdul Rahman Dg. Maselo dapat
dikatakan “muncul” di saat yang tepat ketika PKI sedang dalam puncak
kejayaannya. Pecahnya Gerakan 30 September 1965, menyebabkan konstalasi politik
berubah dan ia harus “tersingkir” ditelan arus sejarah seiring dengan stigma
bahwa PKI adalah dalang dari usaha pemberontakan tersebut.
0 Comments