Keterlibatan
saya di Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah
(SKP-HAM Sulteng) pada tahu 2011 didasari oleh sebuah fenomena unik. Saya
mengenal SKP-HAM secara tidak sengaja lewat sebuah buku yaitu “Memecah
Pembisuan”. Ketertarikan saya yang sangat besar terhadap kajian tentang
peristiwa G 30 S 1965 dan rentetan peristiwa sesudahnya terutama efek yang
melanda Sulawesi Tengah yang pada saat itu baru berusia 1 tahun, membuat saya
berusaha keras mencari berbagai referensi tentang hal tersebut. Berbagai macam
buku, mulai dari yang baru hingga berkas, terbitan baru maupun lama menjadi
“target buruan” saya. Tidak hanya di Palu, perburuan berlanjut hingga ke setiap
kota yang pernah saya singgahi seperti Pekanbaru, Jakarta, Yogyakarta, Bandung,
Surabaya dan Makassar. Setelah lumayan banyak referensi yang terkumpul, saya
sadar bahwa referensi lokal adalah element terpenting dari pencarian saya.
Sebelum lebih lanjut, saya akan menceritakan lebih dulu latar belakang mengapa
saya menyukai kajian tersebut.
Ketertarikan
saya terhadap kajian tersebut dimulai sejak saya duduk di bangku SMA. Kebiasaan
saya membaca buku-buku pelajaran sejarah terbitan dulu (dengan kurikulum “dulu”
pula) seperti buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) milik kakak saya
membuat saya keranjingan dengan kajian sejarah terutama sejarah Indonesia.
Berbagai kisah mulai dari zaman kerajaan, penjajahan, hingga kemerdekaan
digambarkan dengan sangat heroik dan terkesan lebih mirip dongeng kepahlawanan.
Salah satu kisah yang menarik perhatian saya adalah tentang peristiwa G 30 S
PKI (di buku itu tertulis demikian). Gambaran tentang peristiwa tersebut dalam
buku itu digambarkan dengan sangat dramatis. Saya sebut dramatis karena setelah
membaca bagian tersebut, saya menjadi ngeri sendiri. Pikiran saya berkata
“apakah benar-benar ada sekelompok manusia yang sampai sebegitu tega menyiksa
manusia lain di luar batas peri kemanusiaan?”. Saya sendiri sebenarnya kurang
begitu yakin dengan apa yang dituliskan di buku tersebut. Bagi saya, tidak
mungkin manusia bisa sekejam itu.
Pertanyaan
tersebut perlahan-lahan mulai terjawab seiring dengan duduknya saya di bangku
kelas 3 SMA. Pada saat itu, materi pelajaran sejarah tentang peristiwa G30 S
diajarkan pada saat-saat terakhir menjelang kelulusan. Setelah mendengarkan
penjelasan guru tentang peristiwa tersebut, saya menjadi bingung karena apa
yang saya baca dulu berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh guru sejarah
tersebut. Dalam hati saya bertanya “mengapa bisa berbeda? Apa guru tersebut tidak
membaca buku yang saya baca dulu?”.
Setelah
jam mata pelajaran selesai, saya menghampiri guru tersebut dan bertanya perihal
kebingungan saya. Guru sejarah tersebut pun tersenyum dan mulai menjelaskan
kepada saya. Ia menjelaskan bahwa apa yang saya baca dulu itu merupakan sejarah
yang dibuat oleh penguasa untuk menanamkan ketakutan dan kebencian terhadap
PKI. Sekarang sudah era reformasi, bahkan sudah 9 tahun lamanya kita lepas dari
rezim orde baru. Banyak kebenaran baru yang terus terungkap, salah satunya yang
baru saja ia jelaskan tadi. Mendengar penjelasan tersebut, saya makin merasa
penasaran untuk mengetahui lebih jauh. Guru sejarah tersebut hanya berpesan
“jika kamu mau tahu lebih jauh, kuliah di jurusan sejarah. Kamu akan tahu
semuanya”.
Pesan
tersebut yang akhirnya mengantarkan saya memilih jurusan Sejarah sebagai
pilihan untuk melanjutkan studi. Apa yang dikatakan guru tersebut memang benar.
Di bangku kuliah, mata saya menjadi lebih terbuka dengan berbagai suguhan fakta
dan referensi baru yang benar-benar merubah paradigma berpikir saya tentang
peristiwa tersebut. Bahkan yang lebih mengejutkan saya adalah rentetan
peristiwa setelah peristiwa tersebut yang tidak hanya menggugah naluri
kemanusiaan saya tetapi juga membuat saya mulai antipati terhadap rezim
penguasa yang berdiri di atas darah yang berlumuran tersebut.
Kembali
ke masalah pencarian referensi tadi, saya mencoba browsing di internet untuk
menemukan apakah sudah ada referensi lokal yang membahas tentang efek peristiwa
tersebut di Sulawesi Tengah. Dari aktivitas browsing saya menemukan bahwa sudah
ada dua feature tentang korban peristiwa tersebut di Sulawesi Tengah. Feature
tersebut dimuat dalam sebuah buku yang berjudul Memecah Pembisuan”. Buku
tersebut merupakan kumpulan tuturan penyintas tragedi 65/66.
Saya
kemudian mencari tahu dengan beberapa teman terkait keberadaan buku ini dengan
informasi terakhir bahwa buku ini baaru saja selesai di”bedah” di Kota Palu.
Dari seorang teman bernama Jamrin, saya mendapat nomor kontak pihak penyelenggaran
bedah buku tersebut. Ketika saya hubungi nomor tersebut ternyata mereka adalah
pihak yang mendistribusikan buku tersebut. Nama orang yang saya hubungi adalah
Ella (Nurlaela Lamasitudju) yang belakangan menjadi atasan saya di SKP-HAM.
Saya
pun diundang untuk datang ke sekretariat mereka jika saya berminat dengan buku
tersebut. Saya pun menyanggupi dan mendatangi sekretariat SKP-HAM. Di sana,
saya disambut oleh Ella dan sempat berbincang mengenai buku tersebut dan
ketertarikan saya terhadap kajian tersebut. Dari Ella saya tahu bahwa mereka
sedang konsen dengan isu tersebut juga. Mereka telah bergerak dari tahun 2004
untuk mendokumentasikan korban tragedi 65/66 dan kemudian mendampingi korban
untuk bertransformasi menjadi penyintas. Dari mereka, saya mengetahui bahwa
sebagian besar korban di Sulawesi Tengah dipekerjakan paksa untuk membangun
infrastruktur daerah yang baru berusia satu tahun pada saat itu. Setelah lama
berbincang, saya pun berpamitan dan diberikan buku tersebut dengan hanya
mebayar ongkos cetak yaitu Rp. 20.000.
Pertemuan
pertama tersebut adalah awal dari perjalanan saya mengenal dan terlibat dalam
isu penegakan Hak Asasi Manusia. Dari pertemuan tersebut, terjalin komunikasi
yang intens antara saya dengan kawan-kawan di SKP-HAM. Melalui komunikasi yang
intens tersebut, saya dan SKP-HAM menginisiasi sebuah kegiatan sosialiasi
mengenai HAM dan pelanggaran HAM masa lalu. Target sosialisasi ini adalah
mahasiswa jurusan sejarah Universitas Tadulako yang dapat dikatakan belum melek
sejarah. Kegiatan ini menghadirkan pula para korban yang telah berhasil menjadi
penyintas untuk berbagi kisah kepada para mahasiswa. Kegiatan ini disambut
antusias oleh para mahasiswa dengan banyaknya pertanyaan seputar apa yang
dialami oleh korban dan proses korban bertransformasi menjadi penyintas.
Setelah
kegiatan tersebut, saya ditawari menjadi pekerja tetap di SKP –HAM. Tentu saja
ini adalah kesempatan yang sangat baik bagi saya untuk lebih mendalami kajian
yang selama ini saya dalami sambil belajar hal baru yaitu Hak Asasi Manusia.
Tawaran tersebut pun saya terima dan saya ditempatkan di Divisi Organisme
Kampanye. Tugas saya adalah mengurusi urusan internal lembaga dan aktif
mengkampanyekan seruan tentang penegakan HAM, rehabilitasi dan rekonsiliasi.
Sejak menjadi staf resmi, saya mulai terlibat lebih dalam dalam setiap kegiatan
SKP-HAM seperti diskusi kampung yang diadakaan setiap tanggal 13 bulan berjalan
dengan menghadirkan korban/penyintas untuk mendengarkan progress mereka dalam
menata kembali kehidupannya sebagai bagian dari masyarakat.
Pada
tahun 2012, SKP HAM berencana memeriahkan peringatan Hari Hak Atas Kebenaran
yang jatuh pada tanggal 24 Maret dengan mengadakan dialog terbuka bersama
pemerintah daerah (Kota Palu), SKPD, korban/penyintas, komunitas-komunitas, dan
mahasiswa.isu yang akan dibangun adalah upaya rekonsiliasi dan rehabilitasi
korban tragedi 65/66 di Sulawesi Tengah. Rencana ini sebenarnya sudah ada sejak
tahun 2011. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Walikota Palu (Rusdy Mastura),
beberapa SKPD, korban/penyintas, beberapa komunitas seperti komunitas teater,
punk, dll, dan element mahasiswa.
Kegiatan tersebut diawali dengan aksi
teatrikal yang menggambarkan tentang efek peristiwa G 30 S di Sulawesi Tengah
yang kemudian dilanjutkan dengan kesaksian Ahmad Bantam mengenai penghilangan
paksa 4 orang pimpinan PKI Sulawesi Tengah. Setelah mendengar kesaksian Bantam,
walikota pun menuturkan bahwa di masa mudanya, ia adalah anggota Pramuka yang
ditugaskan mengawasi tapol. Untuk itu, atas nama pemerintah Kota Palu, ia
meminta maaf dengan tulus kepada para korban tragedi tersebut dan berjanji akan
memperhatikan kesejahteraan dan merehabilitasi nama baik korban. Tindakan
tersebut pun mendapat apresiasi dari seluruh peserta dialog terbuka yang
dilaksanakan di sebuah taman kota tersebut.
Pernyataan
dan janji walikota tersebut bagi SKP-HAM dan para korban/penyintas ibarat “oase
di tengah gurun pasir yang gersang dan tandus”. Di tengah ketidakpastian yang
diberikan oleh negara terkait upaya rekonsiliasi dan pengungkapan kebenaran
terhadap pelanggaran HAM di masa lalu, Walikota Palu memberi secercah harapan
bagi pegiat ham, dan terutama korban bahwa masih ada harapan bagi terwujudnya
rekonsiliasi dan rehabilitasi bagi korban. Pernyataan walikota tersebut segera
direspon oleh SKP-HAM dengan menyodorkan hasil dokumentasi dari tahun 2004 di 4
kabupaten dan 1 kota di Sulawesi Tengah. Dari hasil dokumentasi SKP-HAM
tercatat ada 1.210 korban dengan 17 jenis pelanggaran sebagai efek dari tragedi
65/66.
Menanggapi
hasil dokumentasi tersebut, saat ini Walikota Palu telah menerbitkan Peraturan
Walikota tentang Rencana Aksi Hak Asasi Nasional Daerah (RANHAM-D) yang
bertujuan menciptakan Kota Palu sebagai kota yang sadar HAM. Saat ini juga
sedang dilakukan penelitian oleh akademisi dari Universitas Tadulako mengenai
rencana upaya rehabilitasi korban baik berupa peningkatan taraf hidup maupun
rehabilitasi nama baik di masyarakat. Semua upaya yang dilakukan ini patut
mendapat apresiasi di tengah kegamangan pemerintah pusat dalam menetukan sikap.
Selain
itu, SKP HAM juga tercatat beberapa kali mengadakan kegiatan sepanjang tahun
2012 dan 2013 antara lain Bedah Novel Istana Jiwa, Diskusi Film Act Of Killing
di Universitas Tadulako yang dua kali dilaksanakan, Temu Korban Regional
Sulawesi, Pembuatan Booklet Mengurai Benang Kusut dan Buku Sulawesi Bersaksi,
Workshop Penulisan. Survey Layanan Masyarakat yang dapat diakses oleh korban,
Advokasi Sengketa tanah di Bahotokong dan Kasus Pelecehan Seksual Oknum Polisi
terhadap siswi SMA, Dengar Kesaksian, dan Pembuatan website.
Pemutaran
dan Diskusi Film Act Of Killing dilaksanakan di Universitas Tadulako sebanyak
dua kali yaitu di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Tadulako dan Jurusan
Sejarah FKIP Universitas Tadulako. Kegiatan ini mendapat sambutan antusias dari
peserta ditandai dengan banyaknya jumlah peserta di dua kegiatan tersebut.
Kegiatan tersebut menghadirkan Sekjen SKP-HAM, Peneliti Pusat Penelitian
Sejarah Universitas Tadulako, dan salah satu korban/penyintas sebagai panelis.
Pembuatan
Booklet dimaksudkan untuk “memperkenalkan” atau mungkin mengungkapkan sedikit
guratan sejarah Sulawesi Tengah yang ternyata juga memiliki masa kelam. Booklet
yang disusun secara sederhana tersebut menampilkan usaha-usaha yang telah
dilakukan SKP HAM selama beberapa tahun terakhir untuk memperjuangkan
rehabilitasi, rekonsiliasi dan dokumentasi terhadap mereka yang menjadi
“korban” Tragedi 65. Booklet tersebut diberi judul Mengurai Benang Kusut: Untuk
Rekonsiliasi Tragedi 1965/1966 di Sulawesi Tengah. Saya bersama Kak Ella
(Nurlaela Lamasitudju) merupakan penyusun Booklet tersebut.
Kegiatan
Temu Korban Regional Sulawesi diadakan pada bulan Oktober 2012 dengan menghadirkan
organisasi korban se-Sulawesi. Tercatat ada beberapa delegasi yang hadir dari
beberapa daerah seperti Manado, Buton, Makassar, Kendari, dan Palu. Kegiatan
ini diisi dengan berbagai rangkaian acara seperti Ramah Tamah, Workshop,
Seminar, Tour Wisata Sejarah, dan Malam Kesenian. Kegiatan ini mendapat respon
antusias terutama para korban yang telah berusia lanjut. Mereka sangat senang
dapat kembali berkumpul dengan teman-teman sejawat, berbagi kisah, spirit, dan
pengalaman untuk saling menguatkan. Melalui kegiatan ini pula dirumuskan
rencana aksi masing-masing organisasi pendamping korban untuk menangani masalah
dan hambatan di daerah masing-masing.
Salah
satu hasil dari kegiatan tersebut adalah ide untuk membuat sebuah buku tentang
penuturan para korban tentang Tragedi 65/66 di Sulawesi serta upaya mereka
bertransformasi menjadi penyintas. Project penulisan buku ini melibatkan
berbagai pihak mulai dari mahasiswa, SKP-HAM, organisasi pendamping korban se
Sulawesi, Majelis Warga, KKPK, dan lain-lain. Buku ini akhirnya terbit pada
tahun 2013 dengan judul Sulawesi Bersaksi: Tuturan Penyintas Tragedi 1965/1966
dan dieditori oleh Putu Oka Sukanta.
Seperti inilah
keterlibatan saya selama kurang lebih tiga tahun bersama SKP-HAM. Tahun ini
merupakan tahun keempat saya di SKP-HAM. Banyak pengalaman berharga yang saya
dapatkan selama 3 tahun belakangan. Dari korban saya belajar untuk mensyukuri
hidup walaupun saya dan mereka tahu hidup terkadang keras bagi kami, dari
mereka pula saya belajar untuk tetap bangkit melawan untuk menyuarakan
kebenaran. Tubuh mereka mungkin telah renta dimakan usia namun semangat mereka
mengalahkan segala kerentaan tersebut. Apa yang telah dilakukan oleh SKP HAM
Sulawesi Tengah ini merupakan salah satu komponen dalam perjuangan nasional untuk
merehabilitasi hak-hak korban. Sulawesi Tengah dapat dikatakan sebagai
prototype bagi usaha-usaha pengungkapan kebenaran dan rehabilitasi korban di
daerah lain di seluruh Indonesia.
0 Comments