Selain terkenal dengan
keindahan alamnya, Sulawesi Tengah ternyata juga memiliki peninggalan sejarah
yang tidak kalah indah dan unik. Salah satunya adalah situs peninggalan zaman
megalitikum (batu besar) yang tersebar di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah. Situs-situs
tersebut memiliki keunikan dan ciri khas yang membedakannya dengan peninggalan
zaman megalith di daerah lainnya baik di Indonesia maupun di dunia.
Situs megalit tersebut
tersebar di Lembah Napu, Besoa, dan Bada, yang terletak di sebelah tenggara
Kota Palu (arah menuju Kulawi atau Napu). Kawasan situs megalit ini berjarak
kurang lebih 130 km dari Kota Palu. Perjalanan menuju kawasan ini dapat ditempuh
dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi seperti mobil atau motor dengan
waktu tempuh sekitar 5 jam. Sepanjang perjalanan dari Kota Palu menuju kawasan
ini, mata anda akan dimanjakan dengan indahnya barisan pegunungan yang berderet
rapi, hamparan sawah yang hijau dan menguning, serta keindahan kampung-kampung
yang berada di sepanjang jalan menuju kawasan tersebut.
Kawasan situs
peninggalan zaman megalitikum ini berada di dalam wilayah Taman Nasional Lore
Lindu (TNLL). TNLL merupakan salah satu lokasi perlindungan hayati Sulawesi. TNLL
terletak di sebelah tenggara Kota Palu. Areal ini memiliki luas 217.991 hektar
dengan ketinggian bervariasi antara 200-2.610 meter di atas permukaan laut. Kawasan
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan sekitarnya yang meliputi daerah Lembah
Napu, Lembah Behoa, Lembah Bada, Kulawi, Gimpu, dan Pipikoro sangat kaya dengan
peninggalan kebudayaan megalith.
Megalit sendiri
merupakan tinggalan yang berupa benda atau monumen dari kebudayaan yang menggunakan
batu besar sebagai bahan materialnya. Kebudayaan megalith mulai menyebar di
Indonesia bersamaan dengan penyebaran kebudayaan Austronesia melalui migrasi dari suku-suku bangsa yang
menggunakan bahasa Austronesia. Daerah penyebaran kebudayaan tersebut adalah
Cina, Jepang, Korea, Formosa, Asia Tenggara, dan menyebar sampai ke wilayah
pasifik.
Berdasarkan masanya,
kebudayaan megalit dibagi dalam dua bagian. Pertama, berasal dari masa
prasejarah yang merupakan dead monuments,
yaitu tinggalan yang tidak digunakan lagi oleh pendukung kebudayaannya. Kedua,
berasal dari living monuments, yaitu
tradisi megalith yang masih berlanjut sampai sekarang ini. Tradisi tersebut
masih dapat kita jumpai di Kepulauan Nias, Tana Toraja, Sumba, dan Flores.
Keberadaan situs ini
pertama kali diketahui dengan adanya laporan yang diberikan oleh Adriani dan
Kruyt dalam tulisannya van Poso naar
Parigi, Sigi, en Lindoe yang terbit pada tahun 1889. Pada tahun 1908, Kruyt
menulis artikel budaya tentang daerah Napu, Behoa dan Bada. Kemudian, seseorang
berkebangsaan Swedia yaitu Walter Kaurdern mengadakan penelitian di daerah
lembah Palu, Napu, Behoa, dan Bada pada tahun 1919 hingga tahun 1921. Ia
kemudian menerbitkan bukunya yang berjudul Megalitie
Finds in Central Celebes pada tahun 1938. Pada tahun 1938 Kruyt menerbitkan
buku yang memuat tentang peninggalan megalitik di Sulawesi Tengah dan
sekitarnya. Buku tersebut berjudul de
West Toradjas op Midden Celebes.
Ada lima klasifikasi
situs berdasarkan bentuknya yaitu:
a.
Patung-patung batu; memiliki ciri-ciri
manusia, tetapi hanya kepala, bahu, dan kelamin yang terlihat jelas.
b.
Kalamba; menyerupai jambangan besar,
jenis yang paling banyak dijumpai.
c.
Tutu’na; piring-piringan dari batu,
kemungkinan besar merupakan tutup Kalamba.
d.
Batu Dakon; batu-batu rata sampai
cembung, menggambarkan saluran-saluran, lubang-lubang tidak teratur dan
lekukan-lekukan lain.
e.
Lain-lain; Mortar batu, tiang penyangga
rumah, dan bentuk penyangga lain yang ditemukan.
Persebaran situs
megalit yang berpusat di tiga tempat yaitu Lembah Besoa, Lembah Bada, dan
Lembah Napu. Lembah Besoa berada pada ketinggian 1.200 mdpl dengan kontur
berupa wilayah enklave dengan wilayah persawahan dan padang rumput (sabana)
yang dikelilingi kawasan TNLL. Kawasan ini berada di wilayah administratif
Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso. Di kawasan ini, terdapat ratusan situs
yang tersebar di 10 kelompok situs yang terbagi di empat desa yaitu desa Doda,
Bariri, Hanggira, dan Lempe. Beberapa situs yang ada di kawasan ini antara
lain; situs Tadulako yang oleh penduduk setempat dipersonifikasikan sebagai
perwujudan dari panglima perang dan situs Pokekea.
Lembah Bada berada pada
ketinggian 1.000 mdpl dan dapat dicapai
dengan trek hiking yang panjang atau menggunakan kendaraan melalui Tentena. Perjalanan
dari Tentena ke Gintu yang merupakan salah satu desa di kawasan ini dapat
ditempuh dengan kendaraan roda empat selama kurang lebih 6 jam. Lembah Bada
berada dalam wilayah administratif Kecamatan Lore Selatan, Kabupaten Poso. Di
kawasan ini terdapat kurang lebih 56 situs yang dibagi menjadi 12 kelompok
situs yang tersebar di 7 desa yaitu; desa Kolori, Bewa, Tuare, Lengkeka,
Bakekau, Badangkala, dan Pada. Beberapa situs yang terdapat di kawasan ini
antara lain situs Palindo yang terdapat di Padang Sepe dan situs Tantaduo.
Lembah Napu berada di
sebelah timur kawasan TNLL dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua
maupun empat dengan menyusuri jalan dari arah tenggara Kota Palu. Kawasan ini
berada dalam wilayah administratif Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso. Di
kawasan ini terdapat kurang lebih 43 situs dari berbagai jenis yang dibagi ke
dalam 7 kelompok situs yang tersebar di 5 desa yaitu desa Rompo, Watutau,
Wanga, Maholo, dan Tamadue. Beberapa situs yang terdapat di kawasan ini antara
lain; situs Polenda, situs Watutau, dan situs Watunongko.
Selain dapat melakukan
kegiatan pengamatan terhadap situs megalit, anda juga dapat meluangkan waktu untuk
camping, mengamati burung dan
menikmati wisata danau di Bumi Perkemahan Danau Tambing yang terletak di Desa
Sedoa Kecamatan Lore Utara. Bagi anda yang suka tracking, anda dapat melakukan soft
tracking dan hard tracking dengan
beberapa rute sesuai dengan keinginan dan kemampuan anda. Sembari anda
melakukan tracking, anda juga dapat
mengamati langsung flora endemik Sulawesi Tengah seperti Beringin, Rotan,
Damar, dan lain-lain. Anda juga dapat melihat langsung fauna endemik Sulawesi
Tengah seperti Anoa, Babi Rusa, Maleo, Burung Allo, Tarsius, dan lain-lain. Rute
yang dapat anda coba antara lain;
a.
Rute Gimpu-Moa sejauh 24 km, dapat
ditempuh dengan berjalan kaki selama 7 jam.
b.
Moa-Tuare sejauh 21 km, dapat ditempuh
dengan berjalan kaki selama 6 jam.
c.
Tuare-Gintu sejauh 10 km, dapat ditempuh
dengan berjalan kaki selala 3 jam.
d.
Kolori-Doda, dapat ditempuh selama 2-3
hari dengan berjalan kaki.
e.
Toro-Katu, dapat ditempuh selama 3-4
hari dengan berjalan kaki.
f.
Lawua-Hanggira, dapat ditempuh selama
2-3 hari dengan berjalan kaki.
Anda juga dapat
menikmati sajian kebudayaan yang disuguhkan oleh masyarakat, seperti Tarian
Moraego. Tarian ini biasanya dilakukan apabila ada upacara pernikahan dan
upacara syukur karena panen yang berhasil. Tarian ini dapat anda jumpai di desa
Doda, Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso, dan desa Gintu, Kecamatan Lore
Selatan Kabupaten Poso.
Bagi anda yang ingin
memanfaatkan waktu liburan dengan menikmati keindahan alam sekaligus aneka flora
dan fauna, ragam budaya dan peninggalan sejarah, kawasan wisata yang satu ini
patut anda pertimbangkan. Kawasan peninggalan sejarah yang dikelilingi oleh
pemandangan yang indah, dihuni oleh berbagai macam jenis flora dan fauna serta
kebudayaan masyarakat sekitar yang unik menjadi satu paket lengkap yang sayang untuk
anda lewatkan. Untuk menikmati semua keunikan tersebut, anda tidak harus
merogoh kocek terlalu dalam. Wisata bernuansa alami dan sarat nilai edukasi ini
patut masuk dalam agenda liburan anda.
0 Comments