Foto By: Republika.co.id |
Berbicara
mengenai dunia pendidikan di Indonesia, kita akan membicarakan
persoalan-persoalan klasik yang sampai saat ini belum dapat ditemukan jalan
keluarnya. Berbagai persoalan mulai dari rendahnya kualitas pendidikan dan
kualitas tenaga pengajar, kurikulum yang berganti setiap berganti penguasa,
sistem pendidikan yang cenderung menjadikan pendidikan sebagai bisnis, biaya
pendidikan yang semakin hari semakin mencekik hingga berbagai kasus korupsi di
bidang pendidikan seakan akrab di telinga kita dan menjadi menu harian
masyarakat Indonesia. Realita semacam ini harus kita saksikan setiap hari
hingga kita seakan jenuh dengan keadaan yang sangat memprihatinkan ini.
Pemerintah
sebagai penyelenggara pendidikan formal seperti kewalahan menyelesaikan
berbagai persoalan ini. Padahal, telah begitu banyak anggaran yang dikucurkan
demi meningkatkan kualitas pendidikan menjadi lebih baik. Namun apa daya,
persoalan ini seakan telah menjalar ibarat kanker yang menggerogoti sistem
pendidikan Indonesia. Kanker ini makin lama akan semakin ganas dan dapat
“membunuh” sistem pendidikan kita kapan saja. Hal ini tentu saja berpengaruh
terhadap upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baru-baru ini
kita dikejutkan oleh kasus pelecehan seksual terhadap siswa yang dilakukan oleh
seorang cleaning service di sebuah
sekolah bertaraf internasional di Jakarta. Kasus serupa sudah sering terjadi
belakangan ini di berbagai daerah di Indonesia dan pelakunya pun beragam mulai
dari oknum guru, penjaga sekolah, petugas kebersihan, hingga mahasiswa yang
sedang melakukan praktik mengajar (PPLT).
Mencuatnya kasus
yang saat ini sedang hangat diperbincangkan tersebut sangat mungkin disebabkan
oleh status sekolah tersebut sebagai sekolah bertaraf internasional yang di
dalamnya terdapat anak-anak artis, pejabat, dan lain-lain. Letak sekolah
tersebut yang berada di ibukota yang notabene
merupakan pusat informasi dan kekuasaan menyebabkan kasus tersebut booming di media dan sempat mengalihkan
perhatian masyarakat dari berita tentang rekapilutasi hasil pileg dengan
berbagai temuan pelanggaran dan berbagaai kemungkinan koalisi partai politik
jelang Pilpres. Andaikata kasus serupa terjadi di sebuah sekolah yang tarafnya
biasa-biasa saja dan terletak jauh dari Jakarta, apakah beritanya akan booming dan menjadi headline di berbagai media seperti kasus yang terjadi saat ini? Banyak
kasus serupa yang intensitasnya korbannya lebih parah dan lebih menimbulkan
trauma tapi tidak terekspose dan ditindak lanjuti dengan baik.
Kasus yang
terjadi di Jakarta ini adalah goresan luka kecil dari bopengnya wajah
pendidikan Indonesia. Adanya indikasi bahwa sekolah bertaraf` internasional
tersebut belum memiliki izin beroperasi dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, menjadi bukti bahwa pengawasan terhadap mutu, legalitas, dan
kelayakan sekolah sebagai garda terdepan pelaksanaan pendidikan di Indonesia sangat
lemah. Anehnya, pengawasan yang lemah ini selalu ditolerir sebagai human error yang bisa dan biasa terjadi.
Kelemahan ini baru terungkap setelah ada kasus yang booming seperti saat ini. Kasus tersebut dapat dikatakan secara
tidak langsung telah menyingkap tabir gelap pelaksanaan pendidikan di Indonesia
dengan berbagai kasus yang terungkap di sekeliling kasus ini termasuk misalnya
jika nanti ditemukan kasus korupsi terkait perizinan di bidang pendidikan.
Kasus pelecehan
seksual ini mencuat ke permukaan di saat yang bersamaan dengan momentum
pelaksanaan Ujian Nasional bagi siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Pelaksanaan
ujian nasional dari tahun ke tahun juga bukannya tanpa masalah. Berbagai
masalah muncul mulai dari adanya nama Jokowi dalam salah satu butir soal,
adanya indikasi praktik kecurangan yang dilakukan, baik oleh oknum siswa, guru,
maupun pengawas, dan beredarnya kunci jawaban palsu.
Berangkat dari
berbagai persoalan yang hadir di setiap pelaksanaan UN, banyak pihak mulai
mempertanyakan efektivitas UN sebagai tolok ukur evaluasi pembelajaran di
Indonesia. UN dianggap hanya mencetak lulusan berdasarkan kuantitas, bukan
kualitas. Dengan diberlakukannya UN, sekolah berlomba-lomba mencapai kelulusan
100% demi mencapai predikat sebagai sekolah berprestasi. Predikat tersebut
tentu saja menjadi “jualan” sekolah saat penerimaan siswa baru. Tak jarang,
untuk mencapai tujuan tresebut, beberapa sekolah melakukan segala cara seperti
memberikan kunci jawaban kepada siswa ketika UN berlangsung. Pihak sekolah mungkin
saja berbuat demikian karena terdesak oleh target kelulusan yang mencapai 100%.
Konsep
persaingan antar sekolah untuk menyandang gelar sekolah favorit memunculkan
opini bahwa sistem pendidikan kita telah mengarah ke arah persaingan bisnis. Sekolah
berlomba-lomba meningkatkan mutunya baik itu mutu pelayanan, sarana, maupun
mutu pendidikannya. Mereka juga menjalin kerjasama dengan penerbit-penerbit
buku teks pelajaran yang ternama dengan maksud meningkatkan mutu proses
pembelajarannya.
Persaingan
memang berimbas pada peningkatan mutu namun berimbas juga pada peningkatan
biaya sekolah. Sekolah-sekolah favorit kini tinggalah impian bagi mereka yang
kategori ekonominya menengah ke bawah. Biaya sekolah yang semakin hari semakin
mahal jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa. Ki Hadjar Dewantara pun menjelaskan bahwa pendidikan
Indonesia haruslah pendidikan yang memerdekakan siswa. Pendidikan harus
membimbing anak-anak agar menjadi orang-orang yang sungguh merdeka lahir dan
batin. Namun, bagaimana pendidikannya dapat memerdekakan jika sistemnya masih
menjajah mereka yang lemah?
Sekelumit
permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab
bersama untuk menyelesaikannya. Pemerintah memang merupakan pihak yang paling
bertanggung jawab untuk menata kembali sistem pendidikan Indonesia menuju arah
yang lebih baik. Namun, kita tidak selalu harus menunggu pemerintah untuk dapat
andil dalam tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak sarana pendidikan
alternatif yang bermunculan di tengah-tengah ketidakpastian arah pendidikan
kita. Tentu saja ini adalah angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia yang
masih tertutup awan kelabu.
Momentum
peringatan Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati setiap tanggal 2 Mei
diharapkan menjadi titik balik bagi dunia pendidikan Indonesia menuju arah yang
lebih baik. Wajah sistem pendidikan Indonesia yang bopeng sebelah saat ini
adalah cambuk bagi semua pihak untuk turut andil dalam membangun kembali
karakter pendidikan Indonesia yang santun, pekerja keras, jujur, dan kreatif.
Seperti kata Gus Dur bahwa menyesali nasib tidak akan mengubah keadaan. Terus
berkarya, belajar, dan bekerja lah yang membuat kita berharga.
0 Comments