Klaim
Malaysia atas tari Tor-tor dan alat musik Gondang Sembilan (Sembilan Gendang)
yang merupakan warisan budaya masyarakat Mandailing di Sumatera Utara jelas merupakan tamparan
keras bagi Indonesia. Klaim tersebut muncul di tengah kondisi bangsa yang
semakin tercerabut dari akar budayanya dan melupakan warisan budayanya.
Gelombang protes dari berbagai element masyarakat menghiasi berbagai media
mulai dari surat kabar, radio, televisi, hingga internet.
Kantor berita Bernama di Malaysia menyebutkan, Menteri
Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Datuk Seri Rais Yatim berencana
mendaftarkan dua budaya Sumatera Utara itu dalam Seksyen 67 Akta Warisan
Kebangsaan 2005.
"Tetapi (pengiktirafan ini) dengan syarat, pertunjukan berkala mesti ditunjukkan, bermakna tarian mestilah ditunjukkan, paluan gendang dipelbagaikan dalam pertunjukan di khalayak ramai," kata Rais dalam acara peresmian Perhimpunan Anak-anak Mandailing di Kuala Lumpur sebagaimana diberitakan situs Bernama, Kamis (14/6/2012).
Hal ini jelas menunjukkan betapa
tingginya nilai warisan budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, apalagi
sebelumnya, lagu Rasa Sayange juga pernah diklaim oleh Malaysia. Tetapi
kenyataan miris terjadi di Indonesia dimana warisan budaya tersebut mulai
dilupakan dan tidak lagi jadi primadona di negeri sendiri. Contoh yang dapat
kita lihat dalam keseharian adalah ketika diadakan sebuah acara pesta
pernikahan, kenduri atau semacamnya, masyarakat lebih senang mengundang grup
organ tunggal, orkes dangdut, dan band sebagai pengisi acara. Jarang sekali
ditemukan acara-acara seperti di atas yang menghadirkan kesenian atau budaya
tradisional sebagai pengisi acara.
Kurangnya kesadaran masyarakat
terhadap tingginya nilai dari warisan budaya yang dimiliki menyebabkan
perlahan-lahan warisan kebudayaan tersebut mulai dilupakan dan kehilangan
nilainya. Hal tersebut menyebabkan anak bangsa seakan menjadi tamu di negerinya sendiri. Derasnya arus
kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia adalah salah satu penyebab terkikisnya
kecintaan akan warisan budaya tersebut. Saat ini bukan hanya budaya barat yang
menggerogoti Indonesia tapi juga invasi budaya oleh tetangga di Asia Timur
seperti Korea Selatan dengan beredar luasnya film, lagu, girlband, boyband, manga (kartun) asal negeri ginseng
tersebut di tanah air.
Demam budaya asing tersebut
terus saja menggerogoti masyarakat kita khususnya generasi muda. Masuknya
budaya asing ke Indonesia tanpa kemampuan untuk menyaring yang baik jelas merupakan bencana bagi
kelestarian warisan budaya bangsa kita. Coba kila lihat berapa banyak lagi
generasi muda kita yang masih fasih menggunakan bahasa daerahnya, menyanyikan
lagu daerahnya, memainkan alat musik khas daerahnya, atau bahkan mengetahui
kearifan lokal di daerahnya. Tapi coba tanyakan mengenai drama seri korea
terbaru, lagu korea, girl dan boyband yang lagi naik daun, trend pakaian ala
korea, pasti kebanyakan anak muda bisa menjawabnya.
Jadi, klaim dari Malaysia
terhadap warisan budaya Indonesia bukan tanpa alasan. Keengganan masyarakat
Indonesia untuk melestarikan warisan budayanya menjadi alasan negara lain untuk
mengklaim warisan budaya Indonesia sebagai warisan budayanya. Klaim tersebut
merupakan warning alarm bagi
masyarakat Indonesia agar lebih mencintai dan melestarikan warisan budayanya
agar dapat terus diwariskan pada generasi-generasi berikutnya. Indonesia patut
berbangga dengan beraneka ragam warisan budaya yang dimilikinya dan wajib
melestarikan warisan budaya tersebut. Jangan sampai ketika ada negara yang
mengklaim warisan budayanya, Indonesia baru kebakaran
jenggot. Warisan budaya adalah identitas bangsa Indonesia. Maka, jaga dan
lestarikan warisan budaya tersebut sebagai warisan bagi anak cucu kita. Negara
manapun tidak akan berani mengklaim warisan budaya milik kita apabila kita
menjaga, melestarikan, dan menghargai warisan budaya tersebut.
*Penulis adalah
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako
Duta Provinsi Sulawesi Tengah dalam
Indonesian Youth Conference 2012
0 Comments