Langkah pemerintah untuk mencegah defisit APBN dengan rencana menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tanggal 1 April 2012 memancing protes keras dari berbagai kalangan masyarakat. Rencana kenaikan harga BBM tersebut menyebabkan harga kebutuhan pokok merangkak naik. Keadaan tersebut tentu saja menambah beban hidup masyarakat terutama masyarakat kecil. Berbagai aksi demonstrasi di hampir seluruh daerah di Indonesia dilakukan dengan tujuan menggagalkan rencana kenaikan BBM tersebut. Tak jarang aksi demonstrasi yang dilakukan berujung pada bentrok dengan aparat keamanan. Hal unik yang terjadi kemudian adalah terlibatnya beberapa kepala daerah di dalam aksi demonstrasi menentang kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM juga mendapat kecaman
keras dari kalangan partai. Beberapa partai menyatakan sikap menolak kenaikan
harga BBM. Mereka menilai bahwa masih banyak cara yang dapat dilakukan untuk
mencegah defisit APBN selain menaikkan harga BBM. Menurut mereka, jumlah fiskal
Indonesia masih sangat kredibel untuk tidak menaikkan BBM.
Salah satu kebijakan yang dianggap sebagai jalan keluar adalah dengan menasionalisasi aset-aset pemerintah yang dikelola oleh pihak asing seperti; Freeport, Newmont, Caltex, Shell, Inco, dst. Melalui kebijakan tersebut diharapkan bahwa aset-aset tersebut dapat memberikan sumbangsih lebih terhadap pendapatan negara. Selama ini, kekayaan alam Indonesia yang dikelola oleh pihak asing memang menguntungkan Indonesia lewat pendapatan dan bea yang masuk. Tetapi jika melihat prospek keuntungan jangka panjangnya, kita akan disuguhkan kenyataan bahwa perlahan-lahan, kekayaan negara kita mulai dikeruk oleh pihak asing yang jelas mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari yang mereka berikan terhadap negara. Kebijakan investasi asing di Indonesia ini menjamur sejak 1967 ketika Presiden Soeharto menandatangani perjanjian kerjasama dengan Freeport. Satu kenyataan miris mengenai kebijakan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sekitar daerah kelola perusahaan asing hanya bekerja sebagai buruh dan karyawan biasa. Yang lebih miris lagi, keadaan masyarakat di sekitar lokasi pengelolaan tersebut sangat jauh berbeda dengan daerah lokasi pengelolaan sumber daya alam.
Sidang paripurna yang dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI), menghasilkan keputusan yang dapat dikatakan
merugikan rakyat Indonesia. BBM memang tidak akan naik dalam jangka waktu 6 bulan tetapi syarat-syarat kenaikan BBM yang
tertuang dalam tambahan ayat 6A pasal 7 undang-undang APBN-P jelas merupakan warning
alarm bagi rakyat kecil. Perjalanan sidang paripurna tersebut tak ubahnya
sebuah drama yang penuh konspirasi dan kebohongan. 356 anggota DPR RI yang
memilih opsi kenaikan bersyarat BBM adalah bukti bahwa Indonesia masih
menghamba pada mekanisme pasar (kapitalisme). Konspirasi partai-partai besar
dengan jumlah anggota fraksi yang dominan menguasai jalannya sidang. Ketua DPR
RI selaku pimpinan sidang jelas terlihat memihak kepada salah satu kubu yaitu
kubu yang mengiyakan kenaikan bersyarat BBM. Sekali lagi, rakyat berada pada
posisi yang tidak diuntungkan.
Pemerintah kemudian berdalih bahwa rencana kenaikan BBM dibarengi
dengan pendistribusian BLT dan BLSM. Masyarakat tidak sadar bahwa bantuan
langsung tersebut adalah upaya pemerintah untuk menciptakan ketergantungan
masyarakat terhadap bantuan pemerintah dan membudayakan budaya “tangan di
bawah” dan budaya malas kepada masyarakat. Kemudian kebijakan menaikkan gaji
pegawai diindikasikan merupakan upaya pencitraan di kalangan pegawai.
Hasil keputusan sidang paripurna memberikan tiket (baca:
kesempatan) kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM apabila dalam jangka
waktu 6 bulan kenaikan harga minyak dunia berkisar pada kisaran 15 %. Hasil ini
juga jelas menimbulkan kekecewaan yang besar bagi rakyat Indonesia yang
berharap bahwa harga BBM tidak akan naik dengan syarat apapun.
Satu hal yang pasti, dengan geliat wakil rakyat dalam sidang
paripurna DPR RI yang membahas pengesahan rancangan undang-undang APBN-P,
masyarakat dapat melihat bagaimana bobroknya wakil rakyat yang menyuarakan
aspirasi mereka. Masyarakat dapat melihat bagaimana wakil rakyatnya lebih
mementingkan kepentingan pemerintah dan partai daripada kepentingan rakyat. Hal
tersebut tidak sinkron dengan berbagai kemewahan dan kenyamanan fasilitas yang
diminta oleh wakil rakyat.
Palu sudah diketuk dan putusan sudah ditetapkan. Masyarakat
dihadapkan pada pilihan untuk menolak atau menerima putusan tersebut. Kenyataan
ini menjadi pelajaran kepada masyarakat agar kelak berhati-hati dalam
menentukan pilihan penyalur aspirasinya. Karena sudah terbukti bahwa sebagian
besar wakil rakyat yang notabene adalah penyambung lidah rakyat
“berselingkuh” dengan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang
tidak pro rakyat. Semoga masyarakat tidak lagi mudah tergiur dengan janji-janji
dan iming-iming dari para wakil rakyat atau calon wakil rakyat karena faktanya
rakyat semakin terpuruk sedangkan birokrat semakin sejahtera.
*Penulis
adalah Koordinator Divisi Pendidikan dan Pengkaderan
Ikatan
Himpunan Mahasiswa Sejarah se Indonesia
(IKAHIMSI)
0 Comments