Guru
merupakan ujung tombak pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Peran guru sebagai
pendidik sangat vital dalam upaya menciptakan generasi muda Indonesia yang
memiliki daya saing menghadapi era globalisasi yang sudah di depan mata.
Ungkapan bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa merupakan apresiasi
tersendiri terhadap peran vital guru tersebut dalam bidang pendidikan. Saat
ini, kesejahteraan guru yang dahulu hanya merupakan impian kini menjadi
kenyataan karena saat ini apresiasi terhadap kinerja guru di Indonesia sangat
besar ditandai dengan dialokasikannya dana APBN maupun APBD sebesar 20% untuk
pendidikan yang mana di dalamnya terdapat anggaran untuk kesejahteraan guru.
Kemudian hal tersebut ditunjang dengan proyek sertifikasi yang semakin
menunjang kesejahteraan guru sehingga guru fokus untuk penyelenggaraan
pendidikan dan tidak mencari pekerjaan sampingan di tempat lain untuk memenuhi
kebutuhannya.
Tetapi peningkatan kesejahteraan guru tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas guru. Perguruan tinggi sebagai pencetak calon-calon guru tidak lagi menghasilkan calon guru yang kompeten dan komprehensif tetapi sekedar hanya mencetak seorang guru yang tidak memiliki kecakapan (skill) dan calon guru yang terkadang tidak sesuai dengan bidang ilmunya. Hal ini dapat kita lihat dari seleksi penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) untuk wilayah Sulawesi Tengah yang baru saja selesai diadakan. Guru-guru yang lolos seleksi banyak yang di tempatkan di formasi yang tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Contohnya, seorang lulusan pendidikan agama islam di tempatkan di formasi guru sejarah. Hal yang lebih parah terjadi di Kabupaten Morowali dimana tidak ada satupun formasi untuk guru sejarah. Ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi belum mampu menciptakan dan menghasilkan calon-calon guru yang benar-benar kompeten dan komprehensif sehingga banyak guru menempati formasi yang tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Calon guru yang lolos seleksi sebagian besar merupakan sarjana strata satu (S1). Hal tersebut bagus untuk regenerasi tenaga pendidik dan reformasi pendidikan di Sulawesi Tengah tetapi juga merupakan boomerang terhadap pelaksanaan pendidikan di Sulawesi Tengah karena guru yang di tempatkan tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Akan terlihat janggal nantinya ketika seorang guru agama islam mengajar IPS atau IPA. Tentunya hal ini bukanlah hal yang kita inginkan tetapi kualitas calon guru lulusan perguruan tinggi kini patut dipertanyakan. Fenomena yang terjadi di perguruan tinggi saat ini khususnya di FKIP Universitas Tadulako, banyak mahasiswa yang ingin cepat-cepat selesai padahal dari segi keilmuan masih jauh di bawah standar. Hal tersebut disebabkan oleh keinginan untuk lekas mendapatkan pekerjaan apalagi saat ini sedang gencar-gencarnya penerimaan pegawai negeri sipil.
Perguruan
tinggi hanya sekedar mencetak guru sebagai tenaga pengajar bukan guru sebagai
seorang intelektual. Dari sekian banyak calon guru lulusan perguruan tinggi,
hanya segelintir yang dapat dikatakan sebagai calon guru yang memiliki kompetensi.
Calon guru yang kompeten dan komprehensif dapat diihat sejak dari mahasiswa.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki dan mampu menyeimbangkan 3 aspek dalam
pembelajaran yaitu afektif, kognitif dan psikomotor. Ketiga aspek ini sangat
berperan dalam proses pembelajaran. Mahasiswa yang layak jadi guru adalah
mahasiswa yang benar-benar mau dan memiliki kemampuan untuk jadi guru. Guru
yang bukan hanya menjadi tenaga pengajar tetapi juga tenaga pendidik. Selain
itu guru seharusnya memiliki kemampuan untuk menulis dan melakukan penelitian
agar tidak menjadi sarjana pohon pisang yang hanya sekali berbuah. Maksudnya
adalah jangan hanya sekali berkarya yaitu untuk memperoleh gelar kesarjanaan
(skripsi, tesis, disertasi) tetapi setelah itu tetap produktif berkarya sesuai
dengan bidang keilmuannya.
Guru
merupakan orang tua siswa di sekolah. Keberhasilan ataupun kegagalan seorang
siswa tidak terlepas dari peran guru. Sebuah ungkapan yaitu “jika guru kencing
berdiri, maka murid kencing berlari” agaknya merupakan ungkapan yang tepat
digunakan untuk menggambarkan hal tersebut. Guru yang baik adalah cerminan dari
masa mahasiswanya. Perjalanan seorang guru dari sejak mahasiswa, sarjana sampai
menjadi seorang guru mempengaruhi pola pikir seorang guru. Jika pada saat menjadi
mahasiswa, guru tersebut menghabiskan waktunya untuk hal-hal hedonistik, maka
hal tersebut akan berpengaruh pada saat dia menjadi seorang guru karena seorang
mahasiswa yang dapat menjadi panutan harus bisa menjadi opinion leader dan
opinion maker. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soe Hok Gie bahwa bidang
seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mahasiswa yang
menghabiskan hidupnya dengan berbagai kesenangan akan melunturkan ciri
kemahasiswaannya yaitu berpikir dan mencipta yang baru. Tentu saja hal ini
bukanlah contoh yang baik untuk dibawa ketika telah menjadi seorang guru. Model
guru yang seperti ini akan melahirkan guru-guru yang tak tahan kritik dan
otoriter. Seorang guru hendaknya dapat menjadi contoh yang baik bagi
murid-muridnya. Tapi bagaimana bisa seorang guru memberikan contoh yang baik
kepada muridnya sedangkan dia belum bisa menjadi panutan utuk dirinya sendiri?
Hal ini tentu merupakan tanda Tanya besar untuk semua calon guru kedepannya.
Kita selalu mendengung-dengungkan reformasi di bidang pendidikan tetapi
bagaimana kita bisa mereformasi pendidikan di negara kita jika kualitas gurunya
saja masih dipertanyakan. Bagaimana kualitas pendidikan kita bisa meningkat
sedangkan kualitas pengajar kita masih jauh dari harapan.
Yang
perlu di lakukan kedepannya adalah regenerasi dalam sistem pengajaran kita.
Sudah saatnya guru-guru tua yang sudah dan akan memasuki masa pensiun
digantikan dengan guru-guru yang muda dan memiliki kompetensi sesuai bidang
ilmunya. Salah satu masalah yang ada dalam sistem pendidikan kita adalah
lambatnya regenerasi sehingga sistem pendidikan kita masih mengandalkan
guru-guru tua yang masih berpikir konvensional dan sudah tidak dalam usia
produktif lagi padahal bidang keilmuan terus berkembang sejalan dengan perkembangan
zaman. Untuk itu dibutuhkan pemikiran-pemikiran baru dan segar dari para
pengajar yang masih dalam usia produktif.
Perguruan
tinggi seharusnya lebih meningkatkan mutu pendidikan terutama untuk mahasiswa
yang berada di lingkup FKIP yang merupakan penghasil tenaga pengajar. Fenomena
saat ini memperlihatkan bahwa FKIP memiliki banyak peminat karena banyak orang
ingin menjadi guru dengan kenyataan bahwa kesejahteraan guru saat ini sangat
menjanjikan. Tetapi hal tersebut tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan
saat ini. Dengan banyaknya peminat di FKIP, muncul pertanyaan, apakah lulusan
yang akan keluar dari FKIP (Sarjana) nantinya dapat menjadi seorang guru yang
kompeten dan komprehensif? Banyaknya peminat tersebut melahirkan tanda tanya besar
kemudian. Dengan mahasiswa yang sebanyak itu apakah bisa menghasilkan lulusan
yang berkualitas? Hal ini tentu menjadi persoalan tersendiri dalam dunia
pendidikan kita.
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul marilah kita mulai dengan menanamkan
kesadaran dalam diri kita masing-masing akan pentingnya pendidikan. Dengan
adanya kesadaran ini akan memotifasi kita untuk menjadi seorang guru yang paham
akan tugasnya yaitu sebagai tenaga pengajar dan juga tenaga pendidik. Tenaga
pengajar yang memiliki intelektualitas dan kecerdasan sehingga bisa memberikan
contoh bagi generasi-generasi penerus bangsa. Tenaga pendidik yang mampu
memberikan hal-hal yang bermanfaat bukanah hal-hal yang dilaknat. Jadilah guru
yang benar-benar guru bagi para muridnya tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Sehingga ungkapan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” tidak menjadi isapan jempol
belaka.
0 Comments