Ketika Perompak Filipina Mengamuk di Ogoamas

Ketika Perompak Filipina Mengamuk di Ogoamas

 

FOTO: Java Bode edisi 26 Januari 1955 melaporkan pendaratan puluhan perompak di wilayah Banawa Utara. SUMBER: Delpher

Perompak bukan hal baru bagi masyarakat yang bermukim di pesisir pantai barat pulau Sulawesi, utamanya di wilayah yang saat ini menjadi wilayah administratif Kabupaten Donggala dan Kabupaten Tolitoli. Sejak sebelum era kolonial, kehadiran perompak, terutama perompak asal Sulu, Filipina, kerap menghantui masyarakat di sepanjang garis pantai ini. Berbagai kisah penyerangan perompak ke kampung-kampung di wilayah pesisir menyeruak. Hal ini yang membuat penjagaan terhadap jalur lalu lintas di perairan ini kemudian diperketat pada era kolonial, dengan menghadirkan kapten Bugis untuk menjaga kawasan pesisir tersebut, dari abad ke-17 hingga awal abad 20.

Pesisir yang berhadapan langsung dengan Selat Makassar yang memisahkan pulau Sulawesi dengan pulau Kalimantan, menjadikannya bagian dari jalur lalu lintas perairan yang sibuk, terutama pada medio 1950-an. Lalu lintas perdagangan kopra menjadi salah satu alasan ramainya jalur pelayaran di utara Selat Makassar. Jatuhnya harga kopra pada 1952, membuat aktivitas penyelundupan kopra meningkat tajam. Sejarawan Universitas Tadulako (Untad), Wilman D. Lumangino menjelaskan, jatuhnya harga kopra di Sulawesi Tengah dan Utara, disebabkan oleh pembelian kopra yang tidak berjalan normal. Kata dia, keterlambatan kapal-kapal pengangkut kopra mengakibatkan penumpukan kopra di gudang-gudang kopra milik Coprafonds, sehingga mempengaruhi arus pembelian kopra. Keterlambatan ini sendiri diakibatkan oleh terbatasnya gudang kopra.

“Sehingga tahun 1953, dibangun gudang-gudang kopra di hampir semua ibukota distrik atau sentra-sentra kopra. Sebelumnya, gudang-gudang kopra cuma ada di ibukota kabupaten dan distrik yang menjadi pusat kelapa, seperti Palu, Donggala, Parigi, Tinombo, Moutong, dan Tolitoli,” ujarnya.

Tidak normalnya pembelian kopra ini kata Wilman, menjadi pemicu aktivitas penyelundupan kopra (smokol) terutama di wilayah Pantai Barat Sulawesi Tengah, pada periode itu. Dalam tesisnya, Smokol di Pantai Barat Sulawesi Tengah: Saling-Silang Ekonomi Maritim dan Politik di Masa Transisi, 1947-1967, Wilman menyebut, kopra merupakan sumber pendapatan masyarakat Indonesia Timur pada umumnya, dan Pantai Barat pada khususnya, tahun 1950-an hingga 1970-an. Wilayah Indonesia (bagian) Timur, khususnya Sulawesi, yang hanya memiliki sumber ekspor penting dan mungkin satu-satunya saat itu, yakni kopra, sehingga komoditas ini disebut- sebut sebagai urat nadi perekonomian Indonesia Timur. Apabila kopra tidak memiliki harga jual yang baik, maka rakyat menderita.

Tahun 1952 dikatakan sebagai awal era baru smokol, karena intensitasnya yang meningkat tajam. Bila pada periode sebelumnya, hanya belasan perahu layar yang berangkat dari Pantai Barat menuju Sitangkai, namun kali ini puluhan perahu hilir-mudik di Selat Makassar setiap hari. Aktivitas mereka sangat berpengaruh terhadap pembelian kopra di Indonesia Timur, salah satunya Pantai Barat Sulawesi Tengah. Setelah itu terjadi penurunan drastis dan terus-menerus hingga tahun 1957. Kondisi ini terjadi karena pada tahun-tahun tersebut, Pulau Sulawesi sedang bergolak, akibat adanya pertentangan antara pusat dan daerah.

Hasil penelitian Wilman dalam tesisnya tersebut, menemukan bahwa smokol merupakan cara paling efektif dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat Pantai Barat. Aktivitas ini dimotovasi untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka, sekaligus ingin memiliki barang mewah yang ada di negeri tetangga. Banyak orang terlibat dalam aktivitas ini, dan dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu penyelundup (pelaut, pedagang, dan petani) dan para penumpang gelap (Bajak Laut Moro, Momoc Merah, Taukeh, dan militer). Berlayar bersama-sama, mempersenjatai perahu, menyogok dan memberi upeti kepada aparat atau pejabat negara di tingkat lokal, adalah cara untuk menjinakkan hambatan yang mereka hadapi dalam melakukan smokol.

Situasi politik pasca Perang Dunia II ikut memberi pengaruh terhadap aktivitas smokol di Pantai Barat. Sitangkai, dan lebih khusus lagi Tawau menjadi pintu masuk keterlibatan negara-negara asing dalam pergolakan politik di Indonesia pada tahun 1950-1965. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai upaya saling memanfaatkan. Akibat smokol, masyarakat Pantai Barat beralih dari kehidupan ekonomi agraris ke ekonomi dagang. Daya beli masyarakat pun ikut meningkat, terbukti dengan hadirnya berbagai barang-barang mewah produk luar negeri. Keadaan ini terhenti oleh konfrontasi Indonesia - Malaysia. Pasca konfrontasi, smokol kembali ilegal.

Aktivitas penyelundupan kopra ini, seperti kata Wilman, bukan tanpa risiko. Bertemu perompak dalam pelayaran adalah salah satu risiko yang harus diterima oleh para penyelundup. Surat kabar De Nieuwsgier edisi 2 Februari 1955 misalnya, mengulas fenomena bajak laut yang memburu penyelundup. Bermodalkan perahu dengan motor temple, para bajak laut ini menjadi teror bagi para penyelundup

Surat kabar ini menulis, di suatu tempat antara Palawan, pulau di utara Kalimantan dan Sulawesi, sebuah kapal penyelundup menembus gelombang Laut Sulu. Tidak ada perahu lain yang terlihat sejauh bermil-mil jauhnya, penyelundup itu sangat puas. Ia diperingatkan sehari sebelumnya oleh seorang rekannya dalam perjalanannya ke Palawan, bahwa kapal patroli Polisi Angkatan Laut Indonesia akan mendekati selatan Kepulauan Sulu, jadi kewaspadaan diperlukan.

Namun, hari masih siang bolong ketika pengintai penyelundup melaporkan kapal tak dikenal ke pelabuhan. Kurang dari satu jam kemudian, pengintai melaporkan bahwa dua kano yang dilengkapi motor tempel, sedang mendekat dengan kecepatan tinggi. Orang-orang berpakaian compang-camping, dilengkapi dengan senjata otomatis, duduk di bagian bawah perahu dan menyeringai pada kapal penyelundup yang tidak memiliki kesempatan untuk lari.

Menurut surat kabar ini, dalam beberapa tahun terakhir, banyak penyelundup yang beroperasi antara Indonesia dan Filipina, telah menjadi korban perompak ini. Mereka hanya menangkap kapal yang sedang dalam perjalanan dari Filipina ke Kalimantan atau Sulawesi. Para penyelundup mengisi kapalnya dengan radio, pulpen emas, jam tangan, rokok Amerika dan Inggris, dll, yang ditukarkan dengan kopra saat kembali. Penduduk di kawasan kopra Indonesia menjual kopranya kepada pembeli yang bekerja untuk para penyelundup. Mereka menukar kopra dengan barang mewah atau tekstil. Itulah mengapa para penyelundup tidak punya pilihan, selain memuat barang-barang tersebut ke dalam kapal mereka. Namun, mereka tahu bahwa ini menempatkan mereka pada risiko besar.

Para perompak menamai kapal mereka dengan nama kapal induk, di mana terdapat dua atau lebih perahu, yang dilengkapi dengan motor tempel. Bos mereka mengambil mesin ini ketika, tepat setelah Perang Dunia II, di mana dia mendapat kesempatan untuk mengumpulkan tempat pembuangan tentara di Verr, di mana orang-orang yang sebenarnya bertugas menjaga stok di tempat pembuangan ini, sedang mengadakan obral.

Para perompak ini kadang-kadang diklaim bahwa para perompak adalah pengikut Hadji Kamlon. Hadji Kamlon adalah seorang pahlawan gerilya Moro dan mantan pejuang Perang Dunia II, yang dari tahun 1948 hingga 1955 memimpin pemberontakan melawan pemerintah nasional. Dia dianggap oleh militer Filipina sebagai ancaman terbesar bagi keamanan nasional dan bandit yang harus ditakuti. Laut Sulu dikatakan diteror oleh sekelompok perompak yang dipimpin oleh "pemimpin bandit" terkenal Kamlon yang melakukan perampokan perompak dengan anak buahnya ke Kalimantan di mana dia menyerang kapal dagang yang melarikan kapal dan penumpangnya dari barang-barang mereka. Keterkaitan para perompak ini dengan Hadji Kamlon menurut surat kabar ini, belum dapat dibuktikan.

Surat kabar ini menulis, ada cerita lain yang mengatakan bahwa para perompak ini adalah pembuat onar biasa, yang tidak memiliki keyakinan politik sama sekali, tetapi hanya keluar untuk merampok dan menjarah. Para penyelundup menceritakan kisah tentang para perompak yang tidak hanya menjarah kapal mereka sepenuhnya kosong, tetapi juga melemparkan beberapa anggota awak ke laut, hanya karena wajah para awak kapal ini berubah. tidak seperti bajak laut.

Tampaknya sulit bagi seorang kapten perompak untuk mengendalikan anak buahnya, ketika mereka berbaring selama berminggu-minggu di bawah terik matahari di atas kapal induk di laut lepas, menunggu penyelundup. Saat para bandit berkuasa, apakah mereka akan menyerah menunggu dan menjarah sebuah kampung di suatu tempat di pantai. Namun, kepala suku menyadarinya dengan sangat baik. bahwa dia akan berhadapan dengan angkatan laut negara yang bersangkutan di sana. Inggris secara khusus mempersingkat para perompak, yang kapal induknya segera dibor ke tanah setelah ditemukan. Itu sebabnya para perompak sudah lama tidak berani menyerbu pantai British Borneo.

Namun, jika para penyelundup tidak dapat menjual barang mewahnya di pantai Sulawesi atau Kalimantan untuk mendapatkan kopra, karena aparat sedang melakukan aksi besar-besaran di sana, bisa saja terjadi seorang kepala perompak memerintahkan bawahannya, untuk mendarat di pantai di suatu tempat. Penjarahan kampung di Banawa Utara (saat ini wilayah utara Pantai Barat Kabupaten Donggala), Provinsi Sulawesi, di mana 20 perompak tiba-tiba mendarat, juga harus dilihat dari sudut pandang ini. Ini adalah pengecualian, bagaimanapun, dapat dengan aman diasumsikan bahwa para perompak ini lebih memilih air daripada darat, di mana mereka tidak terbiasa dengan situasi lokal.

Java Bode edisi 26 Januari 1955 melaporkan pendaratan puluhan perompak di wilayah Banawa Utara ini. Surat kabar itu mengambil judul Philippijnse rovers rampokten kampong in Banawa Noord (Perampok Filipina mengamuk kampung di Banawa Utara). Surat kabar ini menuliskan, seorang koresponden harian Makassar "Tindjauan" melaporkan dari Tolitoli (Sulawesi Tengah), pada Jumat, 21 Desember 1954, sebuah perahu kecil memasuki perairan Ogoamas, Banawa Utara. Ketika perahu itu mencapai pantai, melompat 20 orang bersenjata. Perampok Filipina itu mengamuk di luar kampung.

Menurut rumor, mereka juga menculik wanita. Kerusakan akibat rampok ini belum dapat dipastikan. Pihak berwenang telah mengambil tindakan untuk menindak para perampok.

Kepala Badan Reserse Kriminal Provinsi Sulawesi, C.v.P. II Sjamsuddin Daeng Massale membenarkan bahwa perampokan di Ogoamas oleh sekitar dua puluh orang bersenjata api, terjadi pada tanggal tersebut.

Dalam pesan yang dikirim ke Mabes Polri di Provinsi Sulawesi, penculikan perempuan tidak terjadi. Juga belum ditentukan berapa banyak yang telah dirampok. Juga tidak disebutkan jenis perahu yang digunakan: perahu motor atau perahu layar. Biasanya, para perampok Filipina menggunakan motor tempel di sampan mereka, seperti yang terjadi tahun lalu, kata pejabat polisi itu, saat perampok Filipina mendarat di kampung Binotoan, sebelah utara Tolitoli.

Tindakan polisi sangat bergantung pada transportasi. Bagaimanapun, langkah-langkahnya hanya bisa efektif, jika polisi bisa bergerak cepat untuk menangani para perampok. Selain itu, kurangnya sarana transportasi cepat di dalam air sangat terasa, menurut juru bicara yang berkompeten.

Peristiwa di Ogoamas menimbulkan keresahan di kawasan Tolitoli, sehingga diharapkan satuan polisi kini dikerahkan di sepanjang pantai kawasan ini. Sedang diselidiki apakah rampok juga berlatar belakang politik, atau harus dianggap semata-mata sebagai tindak pidana. Polisi sedang menyelidiki dua opsi dalam hal ini. Di sini mungkin seseorang berurusan dengan para pengikut Hadji Kamlon, yang melarikan diri karena pemerintah Filipina telah mempersulit hidupnya dan para pengikutnya, tetapi mungkin juga seseorang berurusan dengan balas dendam.

Surat kabar ini menulis, sudah cukup lama para penyelundup kopra dari Filipina cukup leluasa menguasai daerah itu. Itu kini telah berakhir, karena pengawasan yang lebih ketat terhadap pengambilan kopra dari daerah tersebut. Oleh karena itu tidak dikecualikan bahwa penyelundup Filipina ingin merusak 'wilayah penyelundupan mereka' di bawah paksaan tertentu.

Post a Comment

0 Comments