Menulis Kembali Sejarah Bencana 20 Mei 1938

Menulis Kembali Sejarah Bencana 20 Mei 1938


FOTO: Surat kabar Nieuwe Apeldoornsche courant 
edisi 21 Mei 1938 menjelaskan, 
gempa bumi 20 Mei 1938 tersebut
memiliki konsekuensi lebih serius 
daripada yang diperkirakan
Gempa bumi dengan kekuatan besar yang terjadi di Sulawesi Tengah pada tahun 1938, ternyata tidak hanya terjadi pada 20 Mei. Sejumlah surat kabar, baik berbahasa Belanda terbitan nusantara maupun terbitan Belanda, merilis laporan Algemeen Nieuws en Telegraaf Agent Schap (Aneta), yang merupakan Keagenan Umum Berita dan Telegraf, yang didirikan di Batavia pada tahun 1917, tentang gempa besar yang terjadi setelah 20 Mei 1938.

Surat kabar Nieuwe Apeldoornsche courant misalnya, pada edisi 21 Mei 1938 atau sehari setelah peristiwa, mengutip laporan Aneta menjelaskan, gempa bumi 20 Mei 1938 tersebut memiliki konsekuensi lebih serius daripada yang diperkirakan. Dilaporkan delapan orang hilang serta 450 rumah ambruk.

Surat kabar yang berkantor di Kanaalstraat 8, Apeldoorn, Belanda ini juga melaporkan, ternyata Parigi juga terkena dampak serius dari bencana tersebut. Di Toribulu, gelombang pasang naik hingga 100 meter ke daratan dan memiliki efek merusak. Dari delapan orang hilang, tiga mayat telah ditemukan.

Selain itu, banyak ternak, puluhan ribu pohon kelapa telah tersapu gelombang pasang. Kemudian, wilayah Ampibabo juga sangat terpengaruh akibat gempa. Kemudian, gempa juga mengakibatkan jalan dari Toribulu ke Parigi rusak parah. Banyak retakan yang muncul kemudian, tegak lurus dan sejajar dengan garis pantai.

Surat kabar ini juga melaporkan, permukaan tanah di pantai, turun di banyak tempat dan hampir semua jembatan telah hancur. Lumpur berwarna abu-abu dan kuning telah keluar dari tanah. Jalan dari Toboli ke Kebun Kopi tidak dapat dilewati, karena longsoran batu dan amblesan tanah.

Merekonstruksi Penanda Bencana

Laporan ini juga membuat cerita tentang gempa bumi dan tsunami yang terjadi di kawasan sisi sebelah timur leher Pulau Sulawesi, pada 23 Mei 1938, harus ditinjau kembali dengan lebih teliti. Pengamat kebencanaan Sulteng, Drs. Abdullah mencatat, pada tahun 1938 tersebut tidak hanya terjadi satu gempa bumi dengan magnitudo besar. Dalam catatannya, selang tiga hari dari gempa bumi di Teluk Palu pada 20 Mei 1938, tepatnya pada 23 Mei 1938, gempa bumi bermagnitudo besar juga melanda kawasan Teluk Tomini. Gempa bumi ini terjadi diakibatkan pergerakan sesar Sausu, dengan episentrum 120,3 BT dan 1,0 LS, yang terletak di wilayah Torue.

Dalam catatan Drs. Abdullah, gempa bumi ini mengakibatkan tsunami di kawasan Parigi hingga Toribulu, sejauh 60 km, dengan tinggi gelombang sekitar 2-3 meter. Akibat gempa bumi ini, terjadi up-lift atau naiknya permukaan tanah di lepas pantai Parigi, yang kini dikenal dengan Pulau Makakata. Dalam catatannya, gempa bumi tersebut mengakibatkan 942 unit rumah rubuh, 184 lainnya rusak, serta semua jembatan di sepanjang jalur tersebut rusak. Di Parigi, 16 orang terbawa gelombang, di Ampibabo 1 orang tewas dan di Toribulu 3 orang tewas. Selain itu dilaporkan Dermaga Parigi juga rusak.

Jika Aneta telah menerima informasi dampak gempa bumi dan gelombang pasang (tsunami?) di wilayah pantai timur leher Pulau Sulawesi pada 20 dan 21 Mei 1938, maka catatan bahwa gempa 23 Mei 1938 yang menyebabkan kerusakan dengan rincian sebagaimana termuat dalam catatan Drs. Abdullah, perlu ditelaah lebih lanjut.

Laporan lainnya, seperti yang termuat dalam surat kabar Utrechts volksblad edisi 3 Juni 1938 menyebutkan, guncangan gempa dengan intensitas rendah masih terasa di Parigi. Adapun jumlah total rumah yang hancur adalah 942, dengan perkiraan nilai kerugian mencapai 50.000 gulden. Adapun dampak dari bencana tersebut, gudang milik K.P.M, perusahaan pelayaran Belanda, telah hancur total, juga jalur antara Parigi dan Palu sepanjang lebih dari 14 km, tidak bisa dilewati. Dampak lainnya yang lebih parah adalah Kampung Torue di selatan Parigi, telah hilang tersapu oleh laut, kemudian bukit di belakang Torue sebagian telah runtuh.

Jika mencermati laporan pascabencana ini, maka mungkin saja titik episentrum gempa 23 Mei 1938, seperti yang dicatat oleh Drs. Abdullah tersebut, yang menyebabkan hilangnya kampung Torue, namun bukan dampak lainnya, seperti yang dilaporkan sejumlah surat kabar pada 21 dan 23 Mei 1938. Anggapan ini berdasarkan pada titik episentrum gempa 23 Mei 1938 yang terletak di perbukitan di atas wilayah Torue (wilayah Astina, Torue).

Dampak gempa di kawasan Parigi, juga dijelaskan dalam laporan surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 27 Mei 1938. Laporan yang mengutip laporan Aneta dari Poso tersebut menyebut, gempa berkekuatan besar, masih dirasakan di daerah Parigi (hingga 27 Mei 1938 red.). Gempa ini menimbulkan kerusakan yang parah, di mana hanya beberapa bangunan yang masih berdiri. Sejauh ini (hingga 27 Mei 1938 red.), jenazah dua puluh korban telah ditemukan. Adapun menurut laporan tersebut, kampung di sepanjang pantai, merupakan yang paling menderita akibat gempa.

FOTO: Laporan surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 30 Juni 1938.
Laporan tersebut menyebutkan, hingga 30 Juni 1938,
gempa dirasakan di Parigi, Palu dan Donggala.

Laporan lainnya juga datang dari surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 30 Juni 1938. Laporan tersebut menyebutkan, sejauh ini (hingga 30 Juni 1938 red.), gempa dirasakan di Parigi, Palu dan Donggala. Gempa menurut laporan tersebut, masih sering terjadi di Parigi, dengan arah gempa biasanya dari Tenggara ke Barat Laut. Lebih sebulan pascabencana, koneksi jalur jalan, sekarang normal kembali.

Laporan ini juga menyebutkan, pohon-pohon yang tumbang di sungai Dolago di Parigi, menumpuk menjadi seperti bendungan akibat banjir. Akibat penumpukan dan penyumbatan tersebut, banjir yang deras mengalir di atas sawah. Untuk saat ini (30 Juni 1938 red.), diperkirakan sekitar 100 sawah beririgasi telah berubah menjadi tanah berpasir, yang dipenuhi batang pohon. Departement van Binnenlands Bestuur (B.B.) atau Departemen Pemerintahan Dalam Negeri Hindia Belanda, menurut laporan tersebut, telah mengambil tindakan untuk membersihkan tumpukan batang pohon ini, untuk mencegah kerusakan yang lebih besar. Kerusakan tersebut diperkirakan mencapai 25.000 gulden.

Menerka Lewat Smeroefonds

Kepastian tentang bencana 20 Mei 1938 terjadi di Parigi, hadir dari laporan keuangan Smeroefonds (Semeru Fund), sebuah lembaga donor yang berbasis di Surabaya, yang dibentuk pada 1911, setelah letusan gunung berapi Semeru (Jawa) pada tahun 1909. Semeru Fund juga memelihara hubungan dengan organisasi Palang Merah Oranye Belanda (Orange Cross), yang merupakan organisasi bantuan bencana utama Belanda di awal abad ke-20. Kerja sama mereka konsisten dalam penggalangan dana bersama dan pengiriman dana darurat segera, jika terjadi bencana di Hindia Belanda.

Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 22 Agustus 1939 contohnya, melaporkan, berdasarkan salinan laporan tahunan untuk tahun 1938 dari Stichting Smeroefonds, ada lima jumlah permintaan bantuan pada tahun 1938, di mana empat di antaranya tidak memenuhi syarat, karena pemberian bantuan dalam empat permintaan tersebut, tidak dapat dianggap sebagai bagian dari tugas yayasan.

Karenanya, Smeroefonds hanya memberikan bantuan dalam satu kasus, yaitu untuk para korban gempa, yang diikuti oleh gelombang pasang yang terjadi pada 20 Mei 1938 di Onderafdeeling Parigi. Smeroefonds menyediakan 3.000 gulden untuk bantuan bencana alam tersebut.

Konklusi Dari Java Bode

Jika melihat sejumlah laporan ini, maka besar kemungkinan, pada 20 Mei 1938 tersebut, gempabumi bermagnitudo 7.6, yang berpusat di Selat Makassar, yang mengakibatkan kerusakan dan tsunami di wilayah lembah Palu, Donggala hingga kawasan pantai barat leher Pulau Sulawesi tersebut, ternyata juga memicu rangkaian gempa disertai gelombang pasang (tsunami) dan kerusakan di kawasan pantai timur leher Pulau Sulawesi.

Hal ini diperkuat oleh laporan lengkap tentang bencana 20 Mei 1938, yang disusun oleh Java Bode, yang dilaporkan kembali oleh surat kabar Haagsche courant, edisi 17 Juni 1938. Laporan tersebut di antaranya memuat, pada Kamis (19 Mei 1938) malam hingga Jumat (20 Mei 1938), Onderafdeeling Parigi terdampak bencana gempa bumi. 20 Mei 1938, sekitar pukul 01.00 dini hari, getaran pertama terasa, yang disusul oleh guncangan hebat yang berlangsung sekitar lima menit. Guncangan susulan terus berlangsung sampai sore berikutnya.

Gempa berkekuatan besar ini, diikuti oleh gelombang pasang, yang menurut saksi mata, tingginya mencapai 2 hingga 3 meter, di mana air mengalir hingga seratus meter ke daratan. Pada jalur antara Ampibabo dan Parigi, gelombang pasang menyapu sebagian besar rumah, di mana gempa bumi juga terus mengguncang.

Dalam laporan tersebut juga dijelaskan, setelah mengatur bantuan di Parigi, Gezaghebber pergi ke Tinombo, karena belum ada pesan yang diterima dari sana. Komunikasi telegraf dengan Donggala juga rusak akibat bencana.

Sementara itu, pejabat residen, Reuvers, dengan cepat mengambil tindakan untuk mempelajari situasi di lokasi dan memberikan bantuan. Pada 23 Mei 1938 jam 6 pagi, dirinya berangkat dengan kapal pemerintah Reiger, ke daerah-daerah yang terkena dampak gempabumi dan ombak pasang surut. Dalam perjalanan tersebut, dirinya didampingi oleh pimpinan teknis polisi lapangan, dokter pemerintah daerah, kepala pelabuhan, dua mantri, dua kepala polisi, 15 petugas dari polisi lapangan dan seorang fotografer.

Laporan ini juga menyebutkan, Pemerintah Hindia Belanda menyebut bencana 20 Mei 1938 ini, sebagai bencana kedua yang paling serius di saat itu, setelah bencana serupa yang melanda Kakas, Sulawesi Utara, pada tahun 1932. JEF

Post a Comment

0 Comments