Siang itu matahari cukup terik.
Buih putih ombak menyembul di antara biru lautan. Di bibir pantai, beberapa
perahu berjejer rapi, sesekali bergerak tertiup angin. Seorang nelayan paruh
baya, menggunakan topi caping di kepalanya, turun dari perahu, menenteng jala
berisi ikan.
50 meter dari bibir pantai, di
bawah teduh sebatang pohon ketapang, tiga orang nelayan tengah asyik
bercengkerama. Tidak jauh di samping mereka, beberapa pemuda asyik meneguk es
kelapa muda yang dihidangkan penjual es kelapa muda, tepat di depan reruntuhan
sebuah hotel berbintang empat di Jalan Cumi-cumi tersebut.
“Tiga malam lalu sudah datang
ahli dari ITB yang didampingi pak lurah, menjelaskan soal pembangunan tanggul. Rencananya
ada dermaga yang mau dibuat. Bagus itu, tapi manusianya ini bagaimana. Dermaga
ini diperbaiki untuk mata pencaharian nelayan, sementara nelayannya ini tidak
pasti kemana arahnya,” ujar seorang lelaki paruh baya mengenakan kaos berkerah
berwarna merah, dengan celana jins yang dipotong selutut. Lelaki paruh baya
ini, menggerutu sambil menyalakan rokok di tangannya.
Syakir nama lelaki tersebut. Pria
berusia 62 tahun ini merupakan Ketua RT 4 Kelurahan Lere. Dirinya bersama 224
warga lainnya mendiami hunian sementara (huntara) di Jalan Diponegoro,
Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat.
Sebelum bencana, Syakir bersama
keluarga dan ratusan warga Lere lainnya yang terdampak tsunami, tinggal di
Jalan Cumi-cumi, Kelurahan Lere. Bencana tsunami menyapu bersih rumah dan harta
benda, serta sebagian anggota keluarga mereka. Puing-puing reruntuhan rumah
tersebut, kini hanya mereka tandai dengan sebilah kayu dan papan yang ditulisi
nama mereka masing-masing.
Kabar pembangunan tanggul
tersebut bagi Syakir adalah sebuah kabar baik, karena mereka akan dibuatkan
dermaga untuk tempat melabuhkan perahu. Ironisnya, kabar bahagia ini, tidak
berbanding lurus dengan kepastian lokasi tempat tinggal tetap mereka nanti.
“Beberapa minggu lalu sudah
dibagikan formulir kesediaan direlokasi atau menolak. Sebagian penghuni huntara
ini sudah tanda tangan. Saya dan beberapa warga lain masih pikir-pikir, karena
lokasi relokasinya jauh di Tondo. Rencananya lahan kami di sini akan
ditukarguling dengan hunian tetap di sana,” keluh Syakir.
Menurut Syakir ada sekitar 41 warga
yang belum menandatangani formulir kesediaan direlokasi tersebut. Aksesbilitas
dan jarak tempuh yang cukup jauh dengan tempat mereka mencari nafkah,
mencuatkan keraguan dalam batin mereka.
“Kalau terlalu jauh begini,
kasihan juga warga. Ongkos bensin kesana-kemari, belum lagi uang sekolah
anak-anak, mana lagi hasil tangkapan tidak tentu,” ujarnya, Kamis (26/9/2019).
Syakir sangat mengharapkan,
Pemerintah Kota Palu dapat mencarikan solusi lainnya bagi warga yang menolak
direlokasi. Dirinya mencontohkan, misalnya dengan mencarikan lokasi relokasi
yang tidak terlalu jauh dari lokasi mereka melaut.
“Kalau tinggal dekat sini (pantai
red.), misalnya kita kehabisan bumbu dapur dan tidak punya uang, kita masih
bisa melaut sebentar cari ikan lalu dijual untuk membeli bumbu dapur. Tapi
kalau pindah di sana (Tondo red.), mau melaut harus tempuh perjalanan kira-kira
5 kilometer, baru sampai ke Lere,” ujarnya.
Selain kesulitan beradaptasi kata
Syakir, relokasi ini juga berpotensi mengubah mata pencaharian warga. Menurut
dia, akibat hasil tangkapan yang tidak menentu, sebagian nelayan terpaksa
mencari alternatif pekerjaan lain seperti menjadi buruh bangunan dan pekerjaan
serabutan lainnya.
“Yang siksa itu ya teman-teman
yang tidak punya keahlian lain selain melaut,” keluhnya.
Pemerintah Harus Mengerti Psikologi Penyintas
Menanggapi keluhan masyarakat
tersebut, Wakil Ketua DPRD Kota Palu, Rizal Dg Sewang, Kamis (26/9/2019)
mengatakan, dari sini bisa dilihat bahwa antara keinginan pemerintah dan
masyarakat harus dijembatani dan dicarikan solusi bersama. Pemerintah kata dia,
harus memperhatikan kebutuhan penyintas dari segala aspek, yakni papan,
sandang, dan pangan.
“Kalaupun mereka direlokasi,
hendaknya di lokasi yang tidak terlalu jauh dari laut, yang dapat mereka akses
dengan mudah untuk mata pencaharian mereka sehari-hari. Jangan hanya
diperhatikan soal tempat tinggal, tapi bagaimana mereka akan memenuhi kebutuhan
sehari-hari di tempat tinggal yang baru. Biarkan mereka berikhtiar untuk mata
pencaharian mereka, kalau mereka hanya bisa jadi nelayan, mungkin bisa
dicarikan lokasi yang tidak jauh dari lokasi mata pencaharian mereka.
Rizal mencontohkan, mungkin
pemerintah bisa mendata inventaris lahan mereka yang berada di dekat lokasi
mata pencaharian para nelayan, yang tidak masuk zona merah dan memnuhi unsure
keselamatan lainnya.
Menurut Rizal, alasan sebagian
warga yang berprofesi sebagai nelayan menolak direlokasi ke lokasi huntap,
cukup rasional dan manusiawi. Pemerintah kata dia, harus mengerti psikologis
masyarakat, juga terkait jarak tempuh dan tambahan biaya yang harus mereka
keluarkan, jika kemudian pindah ke lokasi huntap. Kata dia, penghasilan mereka
sehari-hari sebagai nelayan saja, kadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
“Kecuali jika pemerintah
memberikan semacam program untuk percepatan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat
yang direlokasi ke huntap, mungkin respon masyarakat yang menolak relokasi akan
berubah. Ketika aspek ini disentuh, mereka mungkin akan cepat melupakan trauma
dan perlahan bangkit secara finansial, serta tidak hanya mengandalkan hasil
melaut saja. Harus ada program pembangunan ekonomi masyarakat dari pemerintah
untuk penyintas,” jelas politisi PKS tersebut.
Sementara itu, Wali Kota Palu,
Hidayat, usai upacara peringatan HUT Kota Palu, Jumat (27/9/2019) mengatakan,
tidak ada lokasi yang dimiliki Pemerintah Kota Palu di sekitar lokasi pantai,
yang masuk dalam kategori aman. Jika nelayan meminta direlokasi ke lokasi yang
aman di sekitar pantai kata dia, pihak Pemkot kesulitan mencarikan lahan. Menurutnya, lokasi relokasi di
Tondo-Talise dianggap aksesnya cukup terjangkau bagi masyarakat nelayan di
Kelurahan Lere. ***
0 Comments