Mangrove yang Meredam Tsunami di Kabonga

Mangrove yang Meredam Tsunami di Kabonga


Ermi (46), mengambil ikan dari dalam termos, memasang tali pengikat dari daun kelapa di mulutnya, lalu kemudian menggantungnya di gantungan kayu, di pondok yang terletak di depan rumahnya. Sore itu, Ermi duduk di pondok yang terletak di pinggir jalan tersebut, menunggu pembeli ikan yang dijualnya, sambil memperhatikan kendaraan yang lalu lalang di Jalan Trans Palu – Donggala.

Dari belakang rumahnya, biru air laut dan buih ombak mengintip di sela-sela rimbun bakau bakau. Di sekelilingnya, menyembul akar menyerupai duri. Bakau ini berjejer rapi hingga ratusan meter di pesisir pantai, tepat di belakang permukiman warga.

“Untung ada bakau ini. Kalau tidak ada, mungkin bukan hanya dapurku yang hancur,” ujar Ermi, Kamis (22/8/2019), seraya menunjuk dinding dapur rumahnya yang tengah direnovasi.

Jarak bibir pantai dengan rumah Ermi hanya berkisar puluhan meter. Keduanya hanya dibatasi jejeran bakau yang membentang dari bibir pantai hingga ke pekarangan belakang rumah.

“Alhamdulilah warga yang di belakang rumahnya ada bakau, tidak seberapa parah kerusakan rumahnya, dibanding yang tidak terhalang bakau,” lanjut Ermi.

Tempat tinggal Ermi di Dusun Pangga, yang terletak di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, merupakan salah satu kawasan yang juga terdampak tsunami pada 28 September 2018 lalu. Ketua RT 02/RW 01 Dusun Pangga, Asir menyebutkan, akibat tsunami, jumlah rumah rusak di dusun tersebut mencapai 36 rumah.

“Kondisi terparah di RT 01/ RW 01, karena di pesisir pantainya tidak ditumbuhi bakau. Di RT 02, walaupun kerusakan tetap terjadi, tapi tidak separah di RT 01,” ujarnya.

Asir menceritakan, tsunami merendam hingga menyeberangi badan jalan, dan menyeret sejumlah benda, seperti sepeda motor. Namun di RT 02 yang pesisir pantainya ditumbuhi bakau, terjangan tsunami tidak sedahsyat di kawasan yang tidak ditumbuhi bakau.

“Di dusun ini, ada satu korban jiwa, yaitu anak yang terseret tsunami di jalan, saat hendak pulang mengaji dari desa tetangga. Selebihnya, selamat dari tsunami setelah mengungsi ke perbukitan di sekitar dusun tersebut.

Dusun Pangga sendiri merupakan dusun pertama yang dilewati di Kelurahan Kabonga Besar, dari arah Kota Palu. Dusun ini berjarak kurang lebih 25 km dari Kota Palu. Lurah Kabonga Besar, Rahmatriyadi, Kamis (22/8/2019) mengatakan, untuk wilayah Kelurahan Kabonga Besar, Dusun Pangga adalah satu-satunya kawasan yang mengalami kerusakan akibat dampak tsunami. Namun kata dia, kerusakan yang terjadi terminimalisasi oleh bakau yang tumbuh di sebagian pesisir pantai di dusun tersebut.

Tingkat kerapatan dan ketebalan bakau di pesisir pantai Dusun Pangga, memang tidak serapat dan setebal bakau yang ada di dusun lainnya di Kelurahan Kabonga Besar. Peneliti Konservasi Sumber Daya Hutan (SDH), pada Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako (Untad), Dr Bau Toknok menjelaskan, untuk mitigasi tsunami, kerapatan dan ketebalan ekosistem mangrove perlu diperhatikan. Dirinya menyebut, tingkat kerapatan mangrove, khususnya bakau sebagai langkah mitigasi tsunami, harus lebih dari 10 ribu batang per hektar, dengan ketebalan lebih dari 100 hingga 200 meter, dengan persentase 35-60 persen.

Untuk kawasan Dusun Pangga sendiri, kerapatan dan ketebalan ekosistem bakau-nya tidak memenuhi indikator yang disampaikan tersebut, sehingga tidak maksimal dalam meredam tsunami. Namun, meskipun tidak maksimal, kehadiran bakau ini mampu meminimalisir kekuatan tsunami, sehingga kerusakan yang terjadi, tidak separah kawasan pesisir pantai yang tidak ditumbuhi bakau.

Pascabencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi 28 September 2018, kawasan pesisir Kabonga menjadi pusat perhatian. Kawasan pantai berteluk tersebut, aman dari amukan tsunami yang menerjang kawasan pesisir Teluk Palu. Rendaman tsunami bahkan tidak menyentuh badan jalan di kawasan tersebut.

Lurah Kabonga Besar, Rahmatriyadi menjelaskan, saat bencana tersebut, tsunami yang datang diredam oleh rapatan bakau yang tumbuh di sepanjang pesisir pantai Kabonga, khususnya Kabonga Besar. Rapatan bakau ini kata dia, mereduksi tsunami yang datang.

Hal senada juga dikatakan Ketua Komunitas Tani Hutan Gonenggati Jaya, Yurianto, yang juga mengelola kawasan wisata mangrove yang ada di kelurahan tersebut. Pada saat tsunami terjadi kata dia, kekuataannya tereduksi, sehingga tidak mencapai daratan.

“Air laut tetap naik, tapi modelnya lebih seperti air pasang. Lantai pondok ini sempat terendam, tapi Alhamdulilah air tidak sampai di jalan,” ujarnya.

Kawasan wisata mangrove ini sendiri telah dikelolah oleh KTH tersebut, didukung oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Banawa Lalundu. Kawasan seluas kurang lebih 2 hektar ini, disulap menjadi kawasan wisata mangrove, sejak dua tahun lalu.

“Idenya sudah dari 2015. Tahun 2017 akhirnya terealisasi,” ujarnya.

Di kawasan ini, kita akan menjumpai rapatan mangrove yang mengelilingi perairan berteluk tersebut. Batang-batang mangrove yang tumbuh rapat setinggi lebih dari lima meter dengan akar-akarnya yang menghujam kuat, menjadi rumah yang nyaman bagi udang, kepiting dan burung-burung pantai.

Yuryanto menjelaskan, ada enam spesies mangrove yang tumbuh alami sejak puluhan tahun di hutan Gonenggati: Rhizophora apiculata, Avicennia lanata, Nypa fruticana, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa dan Sonneratia Alba.

Secara keseluruhan kata dia, luas habitat mangrove di Kabonga mencapai 10 hektar. Dengan luas tersebut, kawasan mangrove di Kabonga bisa disebut hutan mangrove terluas dan terapat di Teluk Palu. Sebagian besar kawasan pesisir di Teluk Palu sebelum bencana, telah beralih fungsi menjadi pemukiman, hotel, warung makan dan pelabuhan.

KTH Gonenggati Jaya kata Yurianto, mengembangkan kawasan wisata mangrove ini, dari ide dasar untuk memanfaatkan potensi wisata alam yang ada di desanya, juga sebagai upaya untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.

Hal yang paling penting kata dia, kawasan wisata ini dibangun dan dikelola oleh kelompok yang di dalmnya diisi oleh mayoritas anak muda ini, untuk mengarahkan mereka kepada kegiatan-kegiatan positif. 

Yurianto, sebagaimana dilansir Kabar Sulteng Bangkit, juga mengatakan, kelompoknya terbentuk setelah melihat hutan mangrove di wilayahnya terancam. Dulunya banyak orang menebang mangrove untuk berburu cacing dan kayunya dipakai untuk bahan bangunan.
Padahal, kehadiran mangrove itu cukup penting bagi nelayan sekitar sebagai tempat pemijahan ikan, udang dan kepiting.

“Dulu hutan mangrove lebih luas daripada sekarang,” kata Yurianto.

Salah satu upaya kelompok adalah melarang penebangan. Untuk memulihkan ekosistem, mereka melakukan pembibitan mangrove secara swadaya dengan memanfaatkan biji yang telah matang.

Setelah tumbuh sekitar dua bulan, bibit itu mereka tanam di lahan-lahan yang mangrovenya telah rusak atau gundul. Yuryanto menyebut sudah ribuan bibit yang mereka hasilkan dan tanam di pesisir Kabonga Besar.

Tak ingin penebangan terjadi lagi, KTH Gonenggati kemudian menginisiasi wisata edukasi. Mereka merekrut 15 orang lagi dari warga sekitar dan bekerja sama dengan KPH Banawa Lalundu.

Mereka memoles hutan mangrove, membangun titian jalan menggunakan bambu, sehingga saya bisa menembus menikmati bagian dalam hutan. Ada pondok-pondok dan anjungan kayu untuk beristirahat dengan latar Teluk Palu yang menawan. Botol-botol plastik bekas minuman dicat warna-warni, menghiasi spot-spot untuk berswafoto. Dengan cara itu, KTH Gonenggati berhasil menarik banyak pengunjung terutama generasi muda.

Post a Comment

0 Comments