Tanggul Tsunami di Teluk Palu, Siapa Diuntungkan?

Tanggul Tsunami di Teluk Palu, Siapa Diuntungkan?

FOTO: beritapalu.com
Wacana pembangunan tanggul penahan tsunami di Teluk Palu telah mengemuka sejak November 2018, atau dua bulan pasca bencana gempa bumi, tsunami, serta likuifaksi mengguncang wiayah Palu, Sigi, Donggala, serta Parigi Moutong (PADAGIMO), 28 September 2018 lalu. Sebagaimana dilansir dari detik.com, Gubernur Sulteng, Longki Djanggola, pada 13 November 2018, telah menyebutkan, Pemprov Sulteng tengah mempersiapkan pembangunan tanggul penahan dan mangrovisasi di area Pantai, sebagai bagian dari langkah pemulihan jangka panjang pasca bencana. (https://news.detik.com/berita/d-4299187/gubernur-longki-sulteng-sudah-pulih-dan-bangkit)


Pernyataan gubernur ini merupakan tindak lanjut dari penyampaian Duta Besar Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii dan Presiden Japan International Cooperation Agency (JICA) Shinichi Kitaoka kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono di sela-sela acara pertemuan tahunan IMF-WB di Bali, Oktober 2018, sebagaimana dilansir detik.com, pada 14 Oktober 2018. Pihak Jepang dalam berita tersebut, disebut berniat untuk membantu Indonesia dalam menangangi pasca gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Bantuan tersebut berbentuk dukungan dalam proses rehabilitasi dan rekontsruksi. (https://finance.detik.com/infrastruktur/d-4255807/jepang-beri-pendampingan-ri-bangun-kembali-palu)

Dalam berita itu juga disebutkan, untuk proses rekonstruksi Sulawesi Tengah, diawali dengan pemberian technical assistance penyusunan rencana induk (masterplan) rehabilitasi dan rekonstruksi Palu. Hal itulah yang akan dibantu oleh pihak Jepang. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi sendiri ditargetkan selesai dalam waktu dua tahun terhitung awal Januari 2019.

Pada Januari 2019, wacana tentang pembangunan tanggul di kawasan pesisir Teluk Palu, sebagai bagian dari proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang diasistensi oleh Jepang lewat JICA, akhirnya mengemuka. Dilansir dari Kabar Selebes, 3 Januari 2019, Kepala Satgas Bidang Infrastruktur Kementerian PUPR, Ari Sutiadi memaparkan rencana pembangunan tanggul tersebut, di depan Gubernur Sulteng dan dinas terkait, 2 Januari 2019, di ruang kerja Gubernur Sulteng. Pertemuan di ruang kerja gubernur pagi itu, turut dihadiri Asisten Perekonomian, Pembangunan dan Kesra Dr. Ir. B. Elim Somba, M.Sc, Kadis Bina Marga dan Tata Ruang Ir. Syaifullah Djafar, M.Si, Kadid Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan Ir. Imam Al Gazali, MT, Karo Humas dan Protokol Drs. Moh. Haris dan Sekretaris Dinas Cipta Karya. (https://www.kabarselebes.id/2019/01/teluk-palu-akan-ditanggul-sepanjang-75-kilometer/)

Tanggul yang akan dibangun sepanjang 7,5 kilometer, mulai sekitar Swissbel Hotel sampai kawasan Penggaraman. Pekerjaan proyek ini ditarget selesai dalam satu tahun.
Secara garis besar, Ari menerangkan, tanggul penahan yang dipersiapkan tersusun dari tumpukan material bebatuan yang ketinggiannya sama dengan muka air tertinggi saat pasang terjadi yaitu lebih kurang 3 meter. Selain itu pada tanggul juga dilapisi bahan biosintetik yang kedap air. Tanggul tersebut bukan satu-satunya, sebab satgas akan menyempurnakan dengan tanggul lanjutan, penahan tsunami bila desainnya telah disetujui.

Februari 2019, sebagaimana dilansir Kumparan, Pasigala Center, sebuah koalisi masyarakat sipil untuk bencana Palu, Sigi, Donggala, meminta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) untuk mempertimbangkan dan meninjau kembali rencana Japan Internasional Cooperation Agency (JICA) membangun tanggul sepanjang 7,5 kilometer dan setinggi 3 meter di kawasan Teluk Palu.

"Rencana tanggul tujuh kilometer panjangnya dan tinggi tiga meter untuk mencegah tsunami di Teluk Palu, harus ditinjau kembali. Selain terlalu mahal, alasan potensi gagal teknis juga besar sekali," ujar Andika, Sekretaris Jenderal Pasigala Centre Palu melalui keterangan tertulis yang diterima Kumparan, (18/2/2019).

Menurut Andika, data hasil penelitian mandiri yang dilakukan akademisi Untad, menunjukkan bahwa terdapat sekitar 40 hektare lokasi mengalami penurunan muka tanah di pesisir pantai atau dikenal dengan istilah downlift dan juga terjadi kenaikan muka tanah atau uplift di Teluk Palu pada kejadian gempa 28 September 2018.

"Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi tanah di Teluk Palu sangat labil dan mudah bergerak dan longsor. Jika tanggul dipaksakan, kami khawatir justru ini akan berbahaya dan potensi gagal teknisnya sangat besar, seperti kejadian tumbangnya jembatan IV. Dan, tentu itu akan jadi malapetaka bagi penduduk Kota Palu karena teluk akan jadi seperti kolam renang raksasa," ujar Andika.

Ia berharap, Bappenas bisa mencari alternatif lain dalam konteks mitigasi tsunami dengan mengambil unsur-unsur dan potensi lokal yang lebih murah serta minim resiko.

"Banyak potensi dan unsur lokal yang jauh lebih murah untuk mitigasi tsunami seperti hutan mangrove. Kasus Kabonga besar di Donggala yang mampu menahan tsunami adalah best practice," katanya. (https://kumparan.com/paluposo/bappenas-diminta-tinjau-ulang-rencana-bangun-tanggul-tsunami-di-palu-1550464899371842559)

Pada April 2019, Neni Muhidin, seorang pegiat literasi di Perpustakaan Mini Nemu Buku, menginisiasi sebuah petisi online via change.org, yang menyatakan menolak pembangunan tanggul penahan tsunami di Teluk Palu. Petisi online ini sendiri, hingga saat ini sudah ditandatangani oleh 3511 orang.

Neni sendiri, sejak awal wacana pembangunan tanggul tersebut mencuat, menjadi yang paling vokal menyuarakan penolakan. Pada postingannya di laman Facebook, 15 Februari 2019 dengan judul Literasi Bencana (21), Neni menyebut, rencana tersebut sebenarnya mengadopsi cara yang sama yang dilakukan Jepang, padahal pada 11 Maret 2011, saat peristiwa Sendai, tsunami menghantam tanggul laut di sana dan merendam, menggenangi (inundation) seisi kota.

Ada beberapa alas an yang mendasari penolakan Neni, yakni biaya pembangunan tanggul laut mahal, kemudian jika rencana itu disepakati pemerintah pusat dan daerah, uang untuk sumber pembiayaannya diambil dari beragam cara, salah satunya adalah utang luar negeri. Selanjutnya, tanggul laut kata dia, tidak serta merta mengurangi risiko bahaya tsunami. Dirinya mengajukan contoh peristiwa tsunami Sendai, Jepang. Tanggul juga bisa kolaps duluan diguncang gempabumi yang selalu lebih dulu sebelum ancaman bencana alam yang menyertai macam tsunami.
Terakhir, dirinya menyarankan, ada cara murah dan arif, yakni menanam bakau dan jenis tanaman dalam ekosistem mangrove, tembok hijau dan alami. Bakau kata dia, telah jadi sejarah vegetasi di Teluk Palu. Hari ini yang tertinggal dan masih bisa kita lihat adalah yang hidup di Kabonga, Donggala, sang penghadang tsunami yang mengarah ke pesisir barat teluk di kampung tua itu. Yang dikenal sebagai pohon Jomblo di kawasan penggaraman Talise tinggal batang pokoknya.
Selain itu, dalam poin tuntutan di petisinya, Neni menyebut, alasan penolakan pembangunan tanggul laut yang disuarakannya, salah satunya adalah tanggul tersebut, jika nantinya dibangun, dilintasi oleh retakan permukaan (surface rupture) Patahan Palu Koro. Sebelum tsunami datang menerjang, tanggul itu akan berpotensi dihancurkan duluan oleh gejala penurunan (downlift) atau penaikan (uplift) permukaan tanah akibat gempabumi. Olehnya, tanggul laut itu bukannya menjadi upaya mengurangi risiko bencana (mitigasi), malah menjadi sebaliknya, menaikkan risiko bencana. Hal yang juga menjadi catatannya, ide pembangunan tanggul laut itu lahir dari proses yang cacat karena absennya partisipasi warga. (https://www.change.org/p/neni-muhidin-tolak-tanggul-teluk-palu)
Kepala BNPB, Doni Monardo, juga menjadi pihak yang menilai, rencana pembangunan tanggul ini kurang efektif. Menurutnya, sebagaimana dilansir dari Teras.id, infrastruktur buatan itu belum efektif menekan jumlah korban jiwa, berkaca dari pembelajaran saat Jepang dihantam gempa disusul tsunami tsunami 2011 lalu hinga menelan korban jiwa cukup banyak.
Justru, jenderal bintang tiga itu mengamati vegetasi hutan di beberapa ruas jalan yang tumpung disepanjang pesisir teluk palu efektif menekan angka korban jiwa saat gempa disusul tsunami 28 September 2018 lalu.

 “Tidak sedikit warga dan bangunan tertolong berkat vegetasi hutan di beberapa ruas jalan yang tumbuh sepanjang pantai,” jelasnya. (https://www.teras.id/news/pat-28/151132/kepala-bnpb-sebut-tanggul-laut-tetap-dibangun-di-palu)

Namun, dengan badai penolakan tersebut, pemerintah tetap jalan terus. Sebagaimana dilansir suarapalu.com, 25 April 2019, pro kontra pembangunan tanggul di Teluk Palu, tidak menjadi penghalang Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk melaksanakan proyek tersebut.

Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Sulteng, Hidayat Lamakarate mengatakan, pemprov sudah merencanakan target pembangunan tanggul sepanjang pesisir Teluk Palu, hingga 2020. Meskipun pro kontra pembangunan tanggul itu, terus mencuat.

“Pembangunan tanggul ini, juga harus secepatnya dilakukan untuk mencegah terjadinya abrasi. Sebab, hal itu dianggap baik untuk mencegah abrasi di sepanjang Teluk Palu. Tentu pemerintah akan tetap melakukan pembangunannya,” katanya, Kamis (25/4/2019). (https://suarapalu.com/pro-kontra-pembangunan-tanggul-palu-pemerintah-tetap-lanjutkan-pelaksanaannya/)
Hal yang sama juga diutarakan Pemerintah Kota Palu. Sebagaimana dilansir Bisnis.com, 8 Mei 2019, Pemerintah Kota Palu mendukung rencana pembangunan tanggul laut untuk mencegah hantaman tsunami di kemudian hari oleh Japan International Corporation Agency (JICA) di Teluk Palu. Wali Kota Palu Hidayat saat berkunjung ke Jepang pekan lalu juga telah menyepakati pembangunan tanggul laut yang direncanakan sepanjang 7,2 kilometer di sepanjang bibir pantai Teluk Palu. (https://ekonomi.bisnis.com/read/20190508/45/920156/pemkot-dukung-jica-bangun-tanggul-laut-di-palu)
Besaran ‘bantuan’ dari JICA terkait pembangunan tanggul ini tidak main-main. Kaili Post melansir, total dana bantuan tersebut mencapai Rp600 milyar. Hal ini diungkap Kabid Data dan Informasi Bappeda Kota Palu, Ibnu Mundzir, 27 Mei 2019 lalu. Nominal yang sama kata dia, juga tertuang dalam dokumen yang dikeluarkan Bappenas. (http://www.kailipost.com/2019/05/jepang-bantu-rp-600m-bangun-tanggul.html)
Selain JICA, Asian Development Bank (ADB) juga mengucurkan dana untuk pembangunan tanggul serupa di pantai Talise. Dilansir dari Mercusuar edisi 13 Juni 2019, Kepala Satgas Kementrian PUPR, Arie Sutiadi, saat kunjungan Country Direktor Asian Development Bank (ADB), Winfried F Wicklein; Satgas Kementerian PUPR; Bappenas dan perwakilan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di ruang kerja Gubernur, Rabu (12/6/2019), menyebut, ADB telah menyetujui untuk mendanai sejumlah kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi, yakni pembangunan tanggul air Pantai Talise, pembangunan irigasi Gumbasa, pembangunan grand strategik air bersih, rehabilitasi kampus IAIN, serta rehabilitasi Bandara Sis Aljufri Palu, Pelabuhan Pantoloan dan Wani, dengan alokasi dana sebesar 298 juta dolar. (https://mercusuar.web.id/gubernur-sampaikan-penegasan-dan-harapan/)

Rencana pembangunan tanggul penahan tsunami inipun, nampaknya sudah memasuki babak baru, yakni realisasi pembangunan, sebagaimana rencana awal yakni harus rampung pada 2019. 18 Juni 2019 lalu, pihak Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Palu, menemani tim dari Jepang, untuk meninjau lokasi pembangunan Jembatan Palu IV dan tanggul laut. Seminggu kemudian,.Kadis PU Kota Palu, menghadiri Diskusi Nasional Penanganan Teluk Palu Pasca Bencana, bersama PUPR, JICA, ADB, Bappenas dan para pakar gempa, tsunami dan likuefaksi, bertempat di Hotel Grand Mulia Jakarta, 26 Juni 2019.

Rencana pembangunan tanggul ini, nyatanya masuk dalam revisi ketiga Rencana Induk (Renduk) Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Sulawesi Tengah V.03 tersebut? Renduk ini sendiri dalam bab tentang Pemulihan dan Pembangunan Infrastruktur Wilayah dan Kawasan, menyebut pembangunan tanggul sepanjang jalur pantai yang terpadu dengan pengembangan jalan dan jembatan sebagai upaya mitigasi tsunami di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, merupakan salah satu strategi pemulihan yang dilakukan pemerintah.

Melihat realitas ini, semakin memunculkan pertanyaan, siapa yang diuntungkan dengan pembangunan tanggul ini? Masyarakatkah? Pemerintah pusat dan daerah kah? Atau malah pihak pendonor itu sendiri? Dengan nominal bantuan yang cukup besar, sulit rasanya pemerintah, baik pusat maupun daerah untuk menolak. Benarkah pembangunan tanggul ini semata-mata direalisasikan untuk kepentingan masyarakat? ***      

Post a Comment

0 Comments