Mountain Song, Menapak Puncak Apresiasi

Mountain Song, Menapak Puncak Apresiasi

Dunia perfilman di Sulawesi Tengah (Sulteng) terus menggeliat. Dalam kurun 10 tahun terakhir, banyak sineas muda di Sulteng, yang berlomba-lomba menghasilkan karya dan menorehkan namanya dalam berbagai festival film, baik skala regional, nasional, hingga internasional. 

Sineas muda Sulteng yang baru saja meraih penghargaan Best Scriptwriter untuk film Mountain Song, dalam Asian New Talent Award Shanghai International Film Festival (SIFF) 2019, Yusuf Radjamuda menuturkan, gelat perfilman di Sulteng, sudah mulai nampak sejak tahun 2000-an awal, ketika Erwin Sirajuddin dan kawan-kawan membuat film Telunjuk Tak Berjiwa di Palu. Kemudian ada Syaifullah Mechta dan kawan-kawan, yang membuat beberapa film pendek di Poso. Selain itu, ada juga Jaringan Film Independen Sulawesi Tengah, yang juga membuat beberapa film pendek dan Eksebisi Felem Kita, yaitu pemutaran film tahunan, yang memutar film-film Sulteng, antara 2009-2012.

Lanjut Papa Al, sapaan akrab Yusuf, prestasi anak muda Sulteng di dunia perfilman, sudah mulai diukir sejak 2010, ditandai dengan banyaknya workshop penting tentang perfilman yang dilakukan, yang outputnya kemudian melahirkan karya-karya yang menjadi awal yang baik, dalam perkembangan film di Sulteng. Perkembangan perfilman Sulteng tidak main-main, terbukti sineas sineas asal Sulteng sudah mampu berbicara banyak dalam pentas film nasional dan internasional.

Selain itu kata dia, beberapa anak muda Sulteng juga sudah mulai menempuh pendidikan sekolah secara formal di sekolah film, di mana kemudian karya mereka masuk dalam festival dan pemutaran film di Indonesia. Banyak nama yang menorehkan sukses, semisal Sarah Adilah yang 2018 lalu, film dokumenternya yang berjudul Neraka di Telapak Kaki, dinominasikan meraih Piala Citra FFI 2018, pada kategori Dokumenter Pendek. Kemudian Ifdal, yang menang di beberapa kompetisi nasional, lalu Ade Tryan yang filmnya terseleksi dalam kompetisi platform online di Amerika.

Sebelumnya kata Papa Al, ada 4 film hasil workshop Kickstart yang diselenggarakan oleh Indocs tahun 2010, yang masuk dalam Jakarta International Film Festival dan beberapa festival di luar negeri, seperti Bangkok dan Iran. Mereka ini kata dia. adalah sutradara dokumenter semisal, Nur Soima Ulfa (Palu), Syafaat Ladanu (Morowali), Nur dan Wahdania (Parigi), dan Dewi, yang meraih Piala Citra (Penghargaan Khusus Dewan Juri) tahun 2010.
“Kedepan akan banyak kejutan dari Sulteng dalam bidang film, saya sangat optimis. Pertanyaannya adalah, siapa yang akan mendukung penuh secara nyata bakat-bakat baru ini?,” ujar Papa Al.

Papa Al sendiri dengan torehan prestasi terbarunya sebagai Best Scriptwriter untuk film Mountain Song dalam Asian New Talent Award Shanghai International Film Festival (SIFF) 2019, sebenarnya adalah bagian dari kejutan dari Sulteng yang dimaksudnya di atas. Dalam rilis pers yang dibagikannya, Jumat (21/6/2019) lalu, Papa Al berharap, semoga torehan ini menjadi semangat dan awal yang baik.


TERIMA PENGHARGAAN – Sineas muda asal Palu, Yusuf Radjamuda atau yang lebih dikenal dengan sebutan Papa Al, saat menerima penghargaan Best Scriptwriter untuk film Mountain Song, dalam Asian New Talent Award Shanghai International Film Festival (SIFF) 2019. FOTO: DOK PAPA AL

Film Mountain Song yang juga diputar perdana di SIFF 2019, masuk sebagai nominasi untuk Best Director dan Best Scriptwriter dalam SIFF 2019. Sehari sebelum pemberian piala, Papa Al bersama para nomine lainnya menerima plakat.

Dia mengucapkan rasa syukur tentang pengalamannya sebagai sineas asal Palu, yang berhasil tampil di ajang Festival Film Shanghai. Pencapaian ini kata dia, dipersembahkan untuk warga Palu.

"Daerah asal saya baru saja kena bencana dan merenggut ribuan nyawa, ribuan lainnya tinggal di tenda dan huntara dalam ketidakpastian. Mereka berusaha bangkit secepatnya dalam kecemasan hidup di atas patahan. Lalu mereka mendengar film dari daerahnya masuk nominasi jauh di Shanghai, mereka ikut bahagia, mendoakan, ikut bangga dan bahkan memberi semangat pada saya dan tim," cerita Papa Al.

Mountain Song sendiri merupakan proyek dari Fourcolours Films, Halaman Belakang Films, dan proyek pertama bagi ReelOne Project. ReelOne adalah platform gagasan Fourcolours Films bagi bakat-bakat baru kreator film Indonesia, dalam bentuk dapur pengembangan naskah, produksi dan distribusi film cerita berdurasi panjang.

Produser dan sutradara Ifa Isfansyah memaparkan, film ini turut mendapat apresiasi dan dukungan dari beberapa pihak, seperti penghargaan The Most Promising Project dan fasilitasi post produksi dari Fix It Works dan Four Mix Audio Post.

Papa Al menceritakan, ide dasar Mountain Song datang ketika akhir tahun 2013, ketika dirinya diajak Umariyadi (Adi) Tangkilisan, untuk merekam video lanskap dan kehidupan sehari-hari masyarakat Pipikoro, tepatnya di Desa Porelea, untuk menjadi video pembuka, sebelum para pelaku ritual Raego tampil di Bali. Dalam perjalanan kesana, Papa Al saya takjub dengan kondisi dan akses menuju kampung yang sangat ekstrim.

“Di sela-sela syuting, saya mendengar cerita-cerita tentang orang-orang sakit yang ditandu untuk mencapai rumah sakit terdekat. Tidak sedikit di antaranya wafat dalam perjalanan. Ide itu juga yang menyebabkan kenapa kami memilih Pipikoro sebagai latar lokasi cerita ini,” ujarnya.

Dengan raihan prestasi ini, Papa Al masih memiliki banyak rencana kedepannya. Dirinya sendiri saat ini, masih dalam proses development film dokumenter berjudul Hidup Bersama Bencana, yang sedang dikembangkan di program Goodpitch Indonesia, yang puncaknya akan dilaksanakan pada 5 September 2019 di Jakarta.

“Filmnya rencananya akan tahun 2020 mendatang,” ujarnya.

Lalu, dirinya juga sedang mengembangkan cerita film panjang fiksi keduanya, yang akan ditulis oleh pegiat literasi, Moh Isnaeni (Neni) Muhidin, berlatar Poso tahun 1941-1945. Selain itu, mereka juga sedang mengembangkan ide, untuk membuat Festival Film.

“Doakan saja bisa terwujud dan mendapat dukungan nyata, serta semoga bisa bermanfaat bagi masyarakat luas,” ujarnya.

Tentang capaian yang diraih Mountan Song, Papa Al tidak lupa mengucapkan terima kasih para produser, Eddie Cahyono, Kamila Andini, Agustiya Herdwiyanto, Ifa Isfansyah, Rahmadiyah Tria Gayathrie, semua mentor di Seascreen Film Lab, Riri Riza, Mira Lesmana, semua cast and crew, Bupati Sigi Irwan Lapatta, masyarakat Kulawi, masyarakat Pipikoro, serta semua pihak yang terlibat dan mendukung film ini.

Apa yang telah diraih oleh Papa Al dan kawan-kawan lewat Mountain Song, sejatinya adalah bagian dari geliat dunia perfilman Sulteng, yang terus menapak mendaki menuju puncak tertinggi apresiasi. Saya juga Papa Al mengamini, kedepan akan banyak kejutan dari Sulteng dalam bidang film, dengan pertanyaan yang sama, siapa yang akan mendukung penuh secara nyata bakat-bakat baru ini? ***

Post a Comment

1 Comments

  1. Thanks for sharing ,.
    visit my site at http://bit.ly/2HdEK6A


    ReplyDelete