Pemulihan sektor ekonomi menjadi
agenda penting, pascabencana gempa bumi, tsunami dan likuefaksi di Palu, Sigi,
Donggala, serta Parigi Moutong (PADAGIMO), 28 September 2018 lalu. Tidak hanya
pemerintah, sejumlah lembaga juga turut membantu upaya percepatan pemulihan
ekonomi masyarakat yang terdampak.
Solidaritas Korban Pelanggaran
Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah (Sulteng), merupakan satu di antara
sekian banyak lembaga yang terjun langsung untuk melibatkan diri memulihkan
ekonomi warga yang terdampak bencana.
Sekretaris Jenderal SKP-HAM
Sulteng, Nurlaela Lamasitudju, Minggu (30/6/2019) mengisahkan, sejak fase
tanggap darurat, pihaknya telah terjun dalam upaya pemulihan korban, lewat
posko informasi dan dapur umum. Program dapur umum inilah yang kemudian
bertansformasi menjadi program dapur usaha, yang membantu memulihkan
perekonomian korban.
“Program dapur usaha ini
sebenarnya adalah transformasi dari dapur umum. SKP-HAM saat fase tanggap
darurat, membangun dapur umum di 12 tempat, termasuk empat desa di Kabupaten
Sigi, yakni Sidera, Soulowe, Karawana, serta Potoya. Setelah fase tabggap
darurat berakhir, dapur umum ini berubah jadi dapur informasi, di mana ibu-ibu yang
sebelumnya terlibat di dapur umum, bertransformasi menjadi pengumpul informasi,
yang kemudian diwartakan oleh teman-teman relawan muda dari Posko Informasi
Pasigala Tangguh,” cerita Ella, sapaan akrabnya.
Lanjut Ella, saat refleksi
tentang dapur umum, pihaknya mencari tahu apa yang diinginkan oleh ibu-ibu
tersebut, termasuk bagaimana situasi dapurnya saat itu, sehingga akhirnya
terpikir untuk menginisiasi dapur usaha. Dari sana kemudian kata Ella, pihaknya
membicarakan hal ini dengan Kemitraan, sebuah organisasi multipihak yang
bekerja dengan badan-badan pemerintah, organisasi-organisasi internasional dan
lembaga swadaya masyarakat, untuk memajukan reformasi di tingkat lokal,
nasional, dan regional. Kemitraan kata Ella, ternyata mendukung ide tersebut.
Program Dapur Usaha ini sendiri
kata Ella, sebenarnya hadir untuk mendukung ibu-ibu yang terdampak bencana di
empat desa di Kabupaten Sigi, untuk memulihkan usahanya yang sebelumnya sudah
ada, maupun mereka yang baru mau merintis usaha. Mereka ini menurut Ella,
pascabencana telah menjadi tulang punggung keluarga, terutama setelah irigasi
Gumbasa tidak lagi mengairi swah-sawah mereka, sehingga suami mereka yang
sebagian besar berprofesi sebagai petani, tidak bisa bekerja.
“Akibat para suami mereka
kehilangan mata pencaharian, akhirnya ibu-ibu ini yang menjadi pencari nafkah
utama. Mereka butuh memulihkan kembali alat-alat dapur mereka, yang banyak
rusak dan hilang saat bencana, untuk memulai aktivitas produksinya. Jadi, yang
sebelumnya belanganya sudah bocor, yang sebelumnya pakai kocokan tangan sekarang
pakai mixer, yang dulu pinjam ovennya orang, sekarang sudah punya sendiri,”
ujar Ella.
Program ini kata Ella, juga
mentransformasi pengetahuan. Hijrah (28) misalnya, yang tadinya hanya ibunya
yang bisa membuat kue kering, dan dia tidak ada pikiran untuk meneruskan usaha
ibunya, kemudian dari pelatihan bersama SKP-HAM dan Kemitraan tentang dapur
usaha, Hijrah yang sudah berhenti dari pekerjaannya pascabencana, akhirnya
tertarik untuk mengikuti jejak sang ibu menjadi pembuat kue kering dan aneka
penganan lainnya.
“Sebenarnya kemarin itu, mama so
patah semangat, dia bilang sudah jo so sakit kepalaku. Saya bilang sudah jo
nanti saya yang ikut pelatihan. Saya bilang, mama urusannya resep, urusan lain
nanti saya tanya. Akhirnya dia semangat ulang. Saya juga tetap belajar resep,
tidak bisa berharap dengan orang tua terus, karena misalnya kalau mama sakit
pasti stop produksi, jadi saya juga harus belajar,” ujar Hijrah.
Ella mengatakan, produk kacang
olahan Hijrah ini misalnya, bahkan sudah go internasional hingga ke Jepang.
Menurut Ella, dengan usaha yang digeluti ibu-ibu di empat desa ini, seperti
usaha kuliner, kue kering, jajanan, dan lain-lain ini, bisa menjadikan empat
desa ini sebagai sentra kuliner di Kabupaten Sigi.
Dirinya juga mengatakan, saat
menjalankan program ini, pihaknya berhadapan dengan tantangan, korban terpola
dengan bantuan tunai, sedangkan bantuan dari mereka hadir dalam bentuk bantuan
barang, sehingga penerima terpicu untuk memikirkan mau melakukan usaha apa,
untuk menyambung hidupnya.
“Hal yang paling bikin semangat
ibu-ibu sekarang, yang juga merupakan hal baru bagi mereka, adalah mereka
dibekali kemampuan menghitung modal usaha,” ujarnya.
Ella mengisahkan seorang ibu yang
setelah mengikuti pelatihan menghitung modal usaha ini, baru mengetahui, usaha berjualan
burasa yang bertahun-tahun dilakoninya ternyata kerap merugi, kalaupun untung,
paling sekitar Rp98 ribu, dalam sekali jualan. Pihaknya juga mengundang Tangan
di Atas (TDA), sebuah komunitas para pelaku usaha, untuk memberi dukungan ke
ibu-ibu ini, bahwa usaha jatuh bangun itu biasa.
“Program ini sudah kami jalankan dari
Maret, dengan puluhan ibu-ibu terlibat di dalamnya. Alhamdulilah sekarang
mereka bahkan sudah mampu memberikan merek untuk jualannya, seperti Kacang Topu
Kede, Narasa, Naposa, Nosarara, dan lain-lain. Program ini diintegrasikan dengan
pendampingan korban, karena sejatinya, empat desa ini memang meruakan daerah
basis binaan SKP-HAM sejak lama,” urainya.
0 Comments