Setiap daerah memiliki tradisi
tersendiri dalam menyambut dan menjalani bulan suci Ramadan. Di Palu sendiri,
di masa lalu, terdapat sebuah tradisi lokal masyarakat suku Kaili, yang
digunakan untuk menentukan awal puasa.
Ritual tersebut dikenal dengan
istilah No Panaguntu Vula (Menembak Bulan). Koordinator Komunitas Historia
Sulawesi Tengah (KHST), Moh Herianto, Rabu (8/5/2019) menjelaskan, dalam
tradisi tersebut, Magau atau Madika (penguasa wilayah) bermusyawarah dengan
Qadi (pemuka agama Islam setempat), tentang awal penentuan Ramadan di Baruga. Jika
telah diketahui, maka akan dibunyikan meriam kecil yang disebut Lela, dan
diarahkan ke bulan, pertanda telau masuk bulan Ramadan.
“Qadi akan melihat hilal secara
agama, sedangkan Magau akan menghitung berdasarkan falakiah (ilmu
perbintangan),” ujarnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Kota
Palu, Andi Alimuddin Rauf menjelaskan, menrutu yang dirinya ketahui, dalam
penentuan awal Ramadan, Magau menunggu laporan dari nelayan yang melihat pasang
dan surut laut, untuk penentuan 1 Ramadan. Nelayan tersebut kata dia, akan
melapor kepada Qadi, yang selanjutnya menyampaikan kepada Magau, untuk
menetapkan awal Ramadan.
Terkait meiam yang dibunyikan
sebagai penanda awal Ramadan, Andi Alimuddin mengatakan, dahulu seingatnya, di
Banua Oge (Souraja), ada dua meriam yang bentuknya mirip meriam Si Jagur di Betawi.
Dua meriam itu kata dia, dibunyikan setelah diketahui awal Ramadan, dengan
menggunakan mesiu.
Kemudian Andi Alimuddin
menjelaskan, selama Ramadan, ada gong besar yang dibunyikan, untuk mengingatkan
tentang waktu (tiap jam dibunyikan). Menurutnya, pada waktu sahur dan berbuka
puasa, ada irama khusus yang membedakan dengan bunyi waktu (jam).
“Gong yang dibunyikan sebagai penanda
waktu tersebut, ditempatkan di kediaman magau dan digunakan sebagai penanda
waktu selama bulan Ramadan,” ujar Moh Herianto.
Kemudian lanjut Andi Alimuddin Rauf, kebiasaan berikutnya di masa lalu selama Ramadan di lembah Palu, yakni adanya petugas khusus yang dalam istilah lokal disebut 'Pabicara', yang berkeliling kampong, untuk memberi tahu atau member tanda masuknya waktu sahur. Kemudian, menjelang waktu berbuka puasa kata dia, tradisi yang sering dilakukan adalah membunyikan meriam bambu.
“Semua tradisi ini seingat saya
bertahan sampai pertengahan 1970-an. Keadaan berubah, ketika masjid sudah
menggunakan pelantang, untuk menandai waktu salat, serta pengumuman lainnya,”
ujarnya.
Sementara itu, Sejarawan IAIN
Palu, Moh Sairin menjelaskan, tradisi serupa juga dilaksanakan di Masjid Jami
Kampung Baru. Sairin menyebutkan, belum diketahui secara pasti kapan tradisi
ini pertama kali mulai dilaksanakan.
Namun kata dia, setidaknya, dari
data yang ada, tradisi ini sudah dilakukan dari masa kolonial. Dirinya mengidentifikasi
meriam yang dugunakan sebagai meriam milik Pemerintah Kolonial Belanda.
Penulis sendiri memperkirakan, tradisi
ini mulai berkembang di lembah Palu pada abad ke 20 atau di 1900-an. Asumsi ini
berdasarkan temuan Moh Sairin, bahwa pemberlakuan jabatan Qadi di Kerajaan
Palu, baru dilakukan pada abad ke 20, teptnya tahun 1920, dengan penunjukan Abdurrahim Pakamundi sebagai
Qadi.
Tradisi No Panaguntu Vula atau
menembak bulan ini, ternyata juga dilakukan di jazirah arab. Dilansir dari
Rebublika, ada tradisi unik yang dilakukan otoritas di Dubai, ketika menyambut
datangnya Ramadan. Saat Ramadhan tiba, para polisi Dubai akan menembakkan
meriam ke langit, sebagai tanda masuknya bulan suci ini.
Seperti dikutip dari emirat247.com,
Pejabat kepolisian di bidang persenjataan dan amunisi, Mayor Abdullah Al
Mubarak bin Misbah mengatakan, tradisi menembakkan meriam saat datangnya Ramadan,
telah dilakukan Dubai sejak 1960-an. Tradisi ini bertujuan untuk mengumumkan
penampakan bulan sabit baru dan awal Ramadan.
Misbah mengungkapkan, tradisi
penembakan meriam ini telah menjadi tradisi penting yang harus dilakukan Dubai.
Bahkan, tradisi ini masuk ke dalam daftar rute wisata sepanjang Ramadan, di
salah satu perusahaan tur di Uni Emirat Arab.
Selain menandai datangnya bulan puasa, menembak meriam juga dilakukan ketika memasuki hari perayaan Idul Fitri.
"Sebuah tembakan tunggal
menandakan waktu buka puasa dan dua tembakan yang dilontarkan untuk menandai
awal bulan suci dan masuknya awal Syawal Idul Fitri," jelasnya.
Meriam-meriam tersebut merupakan
buatan Inggris. Meriam dengan model 25 PDR MK1L memiliki jangkauan suara hingga
170 desibel. Sehingga, suaranya dapat didengar sebagian besar permukiman.
Namun, karena pembangunan yang
terus meningkat, suara yang dapat didengar masyarakat menjadi sangat berkurang.
Sementara itu, sebagaimana
dilansir laman NU.or.id, tradisi menembakkan meriam pada awal Ramadan ini, masih
dipraktikkan di beberapa negara Arab seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Kuwait,
serta Arab Saudi. Pemberlakuan tradisi ini yang paling terkenal, adalah di wilayah
pegunungan Makkah.
Juru bicara Departemen Kepolisian
Makkah Mayor Abdul Mohsin Al-Maimani mengatakan, publik dengan bersemangat
menunggu suara meriam selama bulan Ramadan. Ada tim khusus yang ditugaskan
untuk menembakkan meriam sehingga tidak ada yang terluka.
Meriam-meriam tersebut dirawat
dan dijaga polisi. Beberapa hari sebelum Ramadan, meriam tersebut dikirim ke
gunung. Sementara ketika Ramadan usai, maka meriam tersebut dikembalikan ke
tempat perawatan.
“Setelah Idul Fitri, meriam
dikembalikan ke departemen khusus,” Al-Maimani seperti diberitakan Arab
News.
Di Madinah juga demikian. Kota
yang dulu bernama Yatsrib itu, kini memiliki dua meriam. Satu meriam ada di
gunung Salaa dan satunya lagi ditempatkan di atas bukit di luar benteng Quba.
Negara-negara Arab memiliki akar
tradisi penembakan meriam yang cukup kuat. Jika ditelusuri, tradisi tersebut
mulai ada sejak abad ke-15 atau pada era Dinasti Mamluk.
Tradisi penembakan meriam
dilakukan dua kali pada hari-hari bulan Ramadan. Pertama, pada waktu salat
Magrib, sebagai tanda puasa telah usai atau saatnya buka puasa. Kedua, pada
saat salat Subuh atau tanda dimulainya puasa hari itu.
Ada banyak versi tentang asal
usul tradisi meriam ini. Pertama, ketika sultan Mamluk di Kairo ingin
menguji salah satu meriam barunya, dan eksperimen itu bertepatan dengan waktu
Maghrib.
Penduduk mengira sultan telah
menembakkan meriam untuk memberitahu mereka bahwa waktu berbuka puasa telah
tiba. Melihat rakyatnya gembira dengan ‘inovasi’ tersebut, sultan memutuskan
untuk melakukannya setiap hari selama bulan Ramadhan.
Kedua, suatu ketika penguasa
Mesir pada awal abad ke-19, Muhammad Ali menembakkan meriam buatan Jerman pada
waktu Magrib. Orang-orang yang mendengar itu mengira, tembakan meriam tersebut
sebagai tanda waktu berbuka puasa.
Ketiga, suatu saat tentara
sedang menguji coba meriam pada waktu Magrib. Kemudian Fatimah, putri Ismail
Pasha, penguasa Mesir pada akhir abad ke-19, mendengar meriam tersebut, dia langsung
mengeluarkan ‘dekrit’ yang menyatakan, meriam harus ditembakkan pada waktu
Magrib selama bulan Ramadan dan acara resmi pada Idul Fitri. Maka tidak
mengherankan, jika hari ini ada yang menyebut tradisi meriam tersebut dengan meriam
Fatimah. ***
0 Comments