Media
pengenalan dan pembelajaran tentang aspek kebencanaan, utamanya bagi anak usia
sekolah, mutlak diperlukan. Selain harus mudah dipahami, media pengenalan dan
pembelajaran ini, juga harus mengadopsi nilai-nilai kelokalan di dalamnya.
Semangat untuk menghadirkan media
pengenalan dan pembelajaran tentang aspek kebencanaan kepada anak usia sekolah
ini, mendasari Unicef Indonesia dan Yayasan Karampuang, mengembangkan tulisan
cerita anak, untuk mengedukasi anak-anak usia sekolah, dengan tujuan untuk
memahami konteks lokal tentang kebencanaan. Upaya pengembangan ini, melahirkan
sebuah komik yang diberi judul Nalingu.
Demikian dikatakan Program
Officer Yayasan Karampuang, Aditya Arie Yudhistira, Rabu (19/6/2019), saat
launching komik tersebut. Lahirnya komik Nalingu ini kata dia, dibidani oleh
penulis yang juga jurnalis di Harian Media Alkhairaat (MAL), Jamrin Abubakar,
bersama Al-Gifari, Muhammad Afiat Lahalido dan Moh Gugun Ramadhan sebagai
illustrator.
Pengerjaan komik ini kata Jamrin
Abubakar, Rabu (19/6/2019), memakan waktu sekitar 3 bulan. Komik ini kata dia, dikembangkan
berdasarkan konteks lokal Sulawesi Tengah (Sulteng).
Menurut Jamrin, sebelum komik ini
lahir, ada beberapa usulan lainnya dengan tujuan untuk menggiatkan gerakan literasi.
Kata dia, pengalaman dari beberapa daerah yang mengalami bencana seperti di
Aceh, Jogja maupun NTB, semuanya menggunakan komik sebagai medium untuk
menularkan virus literasi kepada anak, utamanya pengenalan terhadap aspek
kebencanaan.
“Inilah yang mendasari, sehingga kami
berpikir, perlu ada komik sebagai langkah edukasi bagi anak,” ujarnya.
Lanjut Jamrin, pihaknya mengambil
judul Nalingu, yang dalam kosa kata bahasa Kaili berarti gempa bumi, dari kata
dasar lingu. Judul ini mencerminkan isi komik ini yang sangat sederhana, yakni
tentang apa yang kita rasakan pada bencana 28 september 2018 lalu.
Jamrin menyebutkan, dalam komik
ini, pihaknya tidak menyebutkan nama-nama lokasi secara speflsifik dan
mengutamakan memasukkan konten lokal, seperti penyebutan kata ganti orang,
seperti Mangge, Ina, dan lain-lain, penyebutan Ngata Kaili sebagai latar lokasi,
juga pengenalan istilah-istilah lokal dalam hal kebencanaan, seperti naave
(tenggelam) nalodo (tenggelam dalam lumpur) nombatompesaka (terhempas ombak)
dan istilah-istilah lainnya.
Menurut penulis yang fokus dengan
isu-isu kebudayaan serta kesejarahan ini, sebelum mengerjakan komik ini,
pihaknya terlebih dahulu melakukan riset di lapangan, mulai dari Donggala, Lero
hingga Kulawi. Dari riset ini, didapatkan istilah-istilah kebencanaan yang sangat
familiar, yang sebenarnya menjadi bukti, bahwa kita sebenarnya telah
beradaptasi dengan bencana.
Kepala Dinas Perpustakaan dan
Kearsipan Provinsi Sulteng, Ardiansyah Lamasitudju, yang didapuk melaunching
komik tersebut, memberikan apresiasi kepada tim penulis dan illustrator, juga
Unicef Indonesia dan Yayasan Karampuang sebagai inisiator. Menurutnya,
kehadiran komik ini sebagai upaya membangun literasi, harus dibangun dengan
berinteraksi kepada komunitas-komunitas pegiat literasi.
Ardiansyah juga mengapresiasi Yayasan
Karampuang sebagai pihak yang mengangkat nilai-nilai kelokalan Sulteng. Dirinya
berharap terbitan-terbitan serupa, akan lebih banyak menghiasi jagat literasi
Sulteng, utamanya terkait edukasi soal kebencanaan.
0 Comments