Bencana gempa bumi dan tsunami
yang menerjang kawasan Teluk Palu pada 20 Mei 1938, ternyata masih cukup lekat
di ingatan masyarakat, salah satunya di wilayah Mamboro, Kecamatan Palu Utara,
yang kini terbagi atas dua kelurahan, yakni Kelurahan Mamboro dan Kelurahan
Mamboro Barat. Norma Hali (84) misalnya, masih mengingat dan mampu
menggambarkan dengan cukup jelas, bagaimana orang-orang di Mamboro berjuang
menyelamatkan diri dari tsunami.
Sebagaimana dituliskan Koordinator
Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST), Moh Herianto dalam tulisan berjudul Sejarah
Kampung Baru Mamboro: Kampung Relokasi 1938, Norma yang pada saat bencana 1938 terjadi
baru berusia 4 tahun, harus dievakuasi menghindari terjangan gelombang tsunami.
Norma mengisahkan, saat itu pemukiman masyarakat Mamboro terkonsentrasi di
kawasan pesisir, tepatnya di kawasan Tanjung Ruru.
“Saat itu, di sini ada pasar,
masjid, pemukiman penduduk serta kediaman milik istri Magau (Raja) Tawaeli, Yotolembah,
yang bernama Mahanila. Mahanila ini berasal dari Siranindi (sekarang wilayah Kelurahan
Siranindi di Kecamatan Palu Barat),” urainya.
Dari cerita lisan atau dalam
bahasa Kaili disebut tutura yang beredar di Mamboro, Mahanila berhasil
menyelamatkan diri. Moh Herianto menuliskan, Mahanila kemudian menetap di wilayah
Mamboro Ngapa, yang berjarak sekitar 500 meter dari lokasi pemukiman
sebelumnya, sedangkan masyarakat lainnya yang selamat, membuat pemukiman baru
di lokasi saat ini merupakan wilayah Kelurahan Mamboro Barat.
Surat kabar Belanda, Leeuwarder
Nieuwsblad edisi 21 Mei 1938 melaporkan, tsunami yang menerjang kawasan
pemukiman di Mamboro tersebut, mengakibatkan 17 rumah penduduk hanyut. Namun,
berdasarkan penuturan sejumlah keluarga Hali Borisa di Mamboro, ada beberapa
rumah yang selamat dari terjangan gelombang tsunami saat itu. Moh Herianto
menyebut, salah satunya adalah rumah panggung milik Haji Mahmud,
yang merupakan kerabat Mahanila.
“Rumah tersebut kemudian secara
gotong royong dipikul untuk dipindahkan dari Tanjung Ruru ke Mamboro Ngapa. Sampai
saat ini, rumah tersebut masih kokoh berdiri dan letaknya di depan Masjid Jami
Mamboro,” ujarnya.
Slamat Anugrah, salah seorang
keturunan Hali Borisa menjelaskan, hampir semua rumah yang selamat dari
terjangan tsunami di kawasan Tanjung Ruru, dipindahkan ke kawasan yang lebih
tinggi, sekitar 500 meter dari pesisir pantai. Lokasi bekas pemukiman di
Tanjung Ruru kata dia, sempat dijadikan sawah, sebelum dibangun kembali seperti
sebelum bencana 28 September 2018.
“Cerita yang saya dengar dari ibu
saya dan keluarga Hali Borisa lainnya, inisiatif untuk memindahkan rumah ini, awalnya
datang dari Hali Borisa, lalu kemudian diikuti keluarga dan penduduk di sekitar
Tanjung Ruru, termasuk Mahanila. Pemindahannya dengan cara dipikul secara
bergotong royong, karena rumah-rumah saat itu masih berbentuk rumah panggung,”
jelasnya.
Puluhan tahun berselang, kawasan
Tanjung Ruru atau dalam penyebutan lokal disebut Tanju Ruru, kembali beralih
fungsi menjadi kawasan pemukiman. Di kawasan tersebut juga dibangun kantor
Balai Benih Perikanan dan tambak udang Vaname milik Dinas Perikanan dan
Kelautan Provinsi Sulteng.
Kawasan pemukiman yang kembali dibangun
di kawasan tersebut, rata-rata dibuka oleh warga pendatang dari luar Mamboro,
yang tidak mengetahui cerita tentang bencana tsunami tahun 1938 tersebut.
Pendatang yang rata-rata berasal dari Sulawesi Selatan tersebut, rata-rata
berprofesi sebagai nelayan dan pengrajin ikan asin.
Pada 28 September 2018, gelombang
tsunami kembali menerjang kawasan tersebut. Ratusan rumah dan puluhan
masyarakat hanyut digulung ombak. Masyarakat yang tidak terpapar cerita tentang
tsunami 1938 ini, banyak yang menjadi korban.
Kini sebagian memilih mendirikan kembali
pemukiman di atas lahan bekas rumahnya masing-masing. Bagi mereka, lebih baik
kembali membangun di kawasan tersebut dan menekuni kembali profesi seperti
sebelumnya, ketimbang menghuni tenda-tenda pengungsian dan mengharap bantuan
yang datang, walaupun kini, sesuai peta Zona Rawan Bencana yang dikeluarkan
oleh pemerintah, kawasan pantai yang terdampak tsunami, tidak dianjurkan untuk
dihuni kembali.
0 Comments