Pantai Besusu yang terletak di
Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, merupakan salah satu kawasan
pesisir di Teluk Palu yang paling terdampak akibat bencana gempa bumi dan
tsunami 28 September 2018 lalu. Survei tsunami yang dilakukan oleh Badan Metereologi
dan Geofisika (BMKG) mencatat, tinggi tsunami di kawasan pantai tersebut
mencapai 7,67 meter, dengan jarak genangan 428,9 meter.
Gempa bumi dengan magnitudo 7,4
yang juga mengguncang kawasan tersebut pada 28 September 2018 pukul 18.02 WITA,
menyebabkan banyak kerusakan. Kerusakan terparah adalah patahnya Jembatan Palu IV
yang menghubungkan Kelurahan Besusu Barat dan Kelurahan Lere, serta
mengakibatkan amblasnya Anjungan Nomoni dan Anjungan Nusantara. Adapun tsunami
yang datang selang beberapa menit kemudian, menghancurkan bangunan yang berada
di pesisir pantai tersebut dan juga menghayutkan ratusan orang yang memadati
lokasi tersebut, karena bertepatan dengan momen jelang pembukaan Festival
Pesona Palu Nomoni ke III.
Kawasan pantai seluas hampir 2
kilometer ini, ternyata menyimpan sejarah panjang kebencanaan, khsususnya
tsunami. Pantai ini menjadi saksi terjadinya tsunami tahun 1927 dan 1938 yang skala
kerusakannya hampir sama dengan tsunami yang terjadi 28 september 2018 lalu.
Anggota Komunitas Historia
Sulawesi Tengah (KHST), Moh Ripsah Efriansyah, Kamis (3/1/2018) menceritakan,
mantan ketua adat Besusu, Azwar Tandjegau dan ketua Adat Besusu saat ini, Wahyudin
Lawide (60) pernah menjelaskan, dahulu kawasan pantai tersebut dibagi atas tiga
wilayah dengan namanya masing-masing, yakni Bambana atau Lembana yang jika
diartikan kawasan muara, dimulai dari kawasan depan TVRI hingga Jembatan Palu
IV atau kawasan muara Sungai Palu, kemudian kawasan Enjere atau tempat
berlabuhnya perahu di lokasi Anjungan Nusantara saat ini, serta kawasan Binangga
atau sungai di kawasan sekitar Jalan Cut Meutia hingga kawasan muara sungai Pondo.
Phai, sapaan akrab Moh Ripsah
Efriansyah juga menjelaskan, kawasan pantai Besusu, terutama di kawasan Enjere,
dulunya merupakan lokasi tempat berlabuhnya perahu dan kapal-kapal berukuran
kecil. Lokasi ini kata dia, dulunya menjadi tempat transaksi jaul beli antara
masyarakat sekitar dengan orang-orang yang datang membawa barang dari arah
Donggala.
Hal tersebut dibenarkan oleh
Sejarawan Universitas Tadulako, Wilman Darsono Lumangino. Namun kata dia,
kawasan tersebut bukan pelabuhan tapi hanya tempat menambatkan perahu. Di kawasan
ini kata dia, seringkali disinggahi kapal berukuran kecil dan perahu layar
kecil, yang melakukan aktivitas bongkar muat barang.
Lanjut Wilman, perahu dan kapal
yang melakukan aktivitas bongkar muat barang di kawasan ini, sebagian besar berasal
dari Donggala dan kawasan Pantai Barat. Untuk mendukung aktivitas bongkar muat
ini kata dibangunlah pelabuhan rakit.
“Komoditi yang diperdagangkan di
kawasan tersebut, di antaranya kopra, rotan, kayu cendana, juga kayu gopasa
dari Mandar,” ujarnya.
Wilman menjelaskan, aktivitas
bongkar muat di kawasan Enjere ini, dimulai sejak akhir abad ke-18, atau di
akhir tahun 1700-an. Aktivitas bongkar muat di kawasan tersebut diperkirakan
berhenti di akhir 1970 – an.
“Ada beberapa fase di mana
kawasan ini dijadikan lokasi tambatan perahu, fase pertama hingga 1935 dan fase
selanjutnya hingga 1970-an,” jelasnya.
Di lokasi ini juga kata dia, sering
menjadi lokasi pasar tumpah. Pasar tumpah ini sendiri kata dia, ada jika ada
kapal atau perahu yang datang.
Kehadiran lokasi tambatan perahu
ini sendiri, jika dianalisa lebih jauh, dapat dikatakan sebagai pelabuhan
rakyat saat itu, karena Pelabuhan Talise atau yang dikenal dengan Pelabuhan Limbuo,
yang letaknya tidak jauh dari Enjere, merupakan pelabuhan komoditi yang aktivitasnya
dikuasai dan diatur oleh Pemerintah Kolonial Belanda, khusus untuk komoditi
garam dan kopra.
Kawasan Enjere, Bambana, serta
Binangga sendiri, dalam perkembangannya menjadi lokasi pariwisata di mana di
sepanjang pantai didirikan anjungan, taman dan pusat rekreasi masyarakat. Di kawasan
Enjere sendiri dahulu terdapat tiga buah pohon kelapa, yang dipercaya oleh
masyarakat sekitar sebagai loaksi yang angker dan tidak boleh dijadikan lokasi
untuk berenang.
Mengacu pada data yang
diterbitkan BMKG Palu, kedalaman di sekitar kawasan Enjere sekitar 175 meter. Kedalaman
tersebut cukup ideal untuk lalu lintas kapal dan perahu kecil di kawasan
tersebut.
Patung kuda putih sendiri yang
menjadi ikon kawasan ini, belum terlalu lama usianya, baru sekitar belasan
tahun. Sebelumnya, di kawasan tersebut didirikan tugu jam kota dan sebelumnya
lagi tugu Pancasila.
Kawasan pantai Besusu ini dahulu
merupakan kawasan pantai yang berpasir putih. Wilman menyebutkan, di kawasan
Karampe, pasirnya lebih tebal, sehingga jika menginjak pasir di kawasan
tersebut, kaki akan terbenam ke dalam.
Kawasan Karampe ini sendiri dalam
ingatan masyarakat sekitar dikenal sebagai lokasi berlabuhnya penyebar islam
asal Minangkabau, Abdullah Raqie bergelar Dato Karama. Phai mengidentifikasikan
kawasan ini dulunya di sekitaran kawasan Enjere, dan kini dipindahkan di
sekitar Jalan Cut Meutia hingga ujung utara Jalan Sam Ratulangi. Karampe sendiri
berasal dari kata Nirampe atau Rarampe, yang artinya disebut-sebut atau selalu
diingat.
Bomba Talu: Memori Orang Besusu Tentang Tsunami
Masyarakat di sekitar Pantai Besusu
mengenal tsunami sejak 1927. Mereka menyebutnya dengan istilah Bomba Tau atau gelombang
tiga. Moh Herianto dalam tulisan berjudul ‘Bomba Talu: Kisah Migrasi Pue Nggari
dari Buvu Rasede ke Besusu’ menjelaskan, istilah Bomba Talu sendiri berkembang
dari cerita turun temurun masyarakat Besusu, seperti yang diceritakan oleh tokoh
perempuan Besusu, Iriatul Zahra Hasan, atau yang biasa disapa Bunda Ir. Bunda Ir
pernah menjelaskan, orang tuanya dan orang tua lainnya di Besusu menyebut
tsunami dengan sebutan Bomba Talu, didasarkan pengalaman dahulu di kawasan Besusu
pernah diterjang Bomba Talu.
Tsunami pula yang menurut perkiraan Moh
Herianto, menyebabkan Magau (Raja) pertama Palu, Pue Nggari, beberapa kali memindahkan
pusat kerajaan dari kawasan pesisir pantai ke kawasan yang agak ke pedalaman. Awalnya,
Pue Nggari saat turun ke Lembah Palu mendiami kawasan penggaraman Talise, lalu
kemudian pindah ke kawasan Enjere, dan terakhir pindah ratusan meter ke arah
selatan pantai, ke kawasan yang kini berada di belakang Kantor Kelurahan Besusu
Barat, yang pada bencana tsunami 28 September lalu, terbukti tidak dijangkau
tsunami.
0 Comments