Ban Ho, Wanita Tionghoa Korban Tsunami 1938 di Mamboro

Ban Ho, Wanita Tionghoa Korban Tsunami 1938 di Mamboro

FOTO: Ilustrasi
Bencana gempa bumi dan Tsunami yang terjadi pada tanggal 20 Mei 1938, merupakan salah satu bencana dengan dampak kerusakan yang cukup masif di Teluk Palu. Hal tersebut tergambar dalam laporan Surat kabar Belanda, Leeuwarder Nieuwsblad edisi 21 Mei 1938, di mana dilaporkan, gempa bumi saat itu dirasakan di wilayah Palu dan Mamboro dan menyebabkan kerusakan besar. Di Palu, 50 rumah dilaporkan ambruk, sementara di banyak tempat, tanah terbelah. Di Wani, delapan rumah telah hancur atau rusak dan di Mamboro, 17 rumah rusak dan hanyut oleh gelombang pasang (tsunami).


Sebagaimana dilaporkan surat kabar tersebut, bencana ini juga menelan banyak korban jiwa, salah satunya seorang wanita China yang tewas tenggelam di wilayah Mamboro. Berdasarkan tuturan lisan masyarakat di wilayah Mamboro, salah satunya keluarga Hali Borisa, wanita keturunan Tionghoa yang menjadi korban tersebut bernama Ban Ho.

Menurut Slamat Anugrah, anggota Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST) yang juga keturunan Hali Borisa, Ban Ho diketahui mendirikan sebuah toko kelontong di kolong rumah panggung milik Hali Borisa. Saat itu kata dia, sebagaimana dituturkan di keluarganya, konsentrasi hunian di kawasan Mamboro, terletak di kawasan sekitar Tanjung Ruru yang berada di kawasan pesisir pantai.

Di kawasan pemukiman Tanjung Ruru tersebut, dahulu juga terdapat pasar yang menjadi sentra aktivitas jual beli masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Slamat menceritakan, selain berdagang barang campuran, Ban Ho dan suaminya menekuni usaha pengimporan damar dengan rute Palu – Singapura.

“Saat itu, menurut cerita di keluarga, di kawasan Tanjung Ruru, juga terdapat dermaga yang disinggahi banyak kapal-kapal berukuran kecil, yang aktivitasnya mengambil damar dan rotan dari wilayah Bale (wilayah Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala) yang letaknya tidak jauh dari Mamboro,” jelasnya.

Lanjut Slamat, saat tsunami menerjang, sebenarnya Ban Ho sudah berhasil menyelamatkan diri bersama sejumlah masyarakat lainnya. Namun dia memutuskan kembali untuk mengunci tokonya dan selang beberapa waktu kemudian, tsunami menerjang kawasan Tanjung Ruru, termasuk toko kelontong miliknya dan ban Ho tidak lagi sempat menyelamatkan diri.

Pasca tsunami, rumah milik Hali Borisa ini dipindahkan di kawasan Mamboro Ngapa, sekitar 500 meter dari lokasi terdampak tsunami. Ada beberapa rumah dengan model rumah panggung yang dipindahkan dengan cara dipikul beramai-ramai.

Puing bangunan toko milik Ban Ho sendiri menurut Slamat, juga dipindahkan oleh keluarganya, ke lokasi kediaman Hali Borisa yang baru di Mamboro Ngapa. Lantai bekas bangunan toko yang masih tersisa, juga dipindahkan ke lokasi rumah yang baru dan proses pemindahannya agak sulit, karena puing lantai yang diangkat cukup berat, sehingga membutuhkan banyak orang untuk memindahkannya.

Keluarga Ban Ho sendiri kata Slamat, masih mendirikan toko di kolong rumah milik Hali Borisa selama beberapa tahun. Saat ini, bekas lantai di kolong rumah Hali Borisa yang terletak di depan Jalan Trans Sulawesi tersebut masih dapat ditemukan.

Adapun jasad Ban Ho sendiri tidak ditemukan pasca bencana tersebut. Namun, Slamat menduga, jasad Ban Ho kemungkinan tertimbun di lokasi bekas toko, karena waktu pemukiman dibuka kembali di kawsan tersebut, banyak tulang-belulang korban yang ditemukan.

Post a Comment

0 Comments