Dalam buku yang terbit tahun 1915
ini, Abendanon menjelaskan proses awal penelitiannya, dengan melakukan pengukuran
dari Palu ke Mamboro, dan dari Palu ke Donggala, untuk memetakan Teluk Palu.
hasil penelitiannya cukup mengejutkan, di mana menurutnya, kawasan dataran
rendah di utara Donggala dan aktivitas dari Sungai Palu saat itu, memberikan dampak
mundurnya garis pantai ke arah selatan. dirinya memperkirakan, jarak mundurnya
garis pantai ini mencapai sekitar 100 depa atau 182,88 meter.
Indikasi bahwa laut (garis
pantai) telah lebih ke arah selatan daripada sekarang, karena dirinya
menemukan, di Dolo ada air tanah yang payau di kedalaman 2 meter. Selain itu,
di dataran antara Palu dan Mamboro, di sana-sini di tanah, ada potongan batu
kapur atau batu gamping, yang merupakan batuan lautan.
Selain itu, Abendanon juga
mengamati depresi yang terjadi di pinggiran timur Teluk Palu, akibat aktivitas
sesar Fossa Sarasina, atau yang dikenal dengan sesar Palu-Koro. Ini menjadikan
kawasan di bawah (pesisir) Mamboro daerahnya sedikit lebih rendah, dengan ketinggian
air tepat di bawah permukaan.
Hal ini menyebabkan tingginya tingkat
kelembaban tanah juga menghasilkan lebih banyak kesuburan. Dirinya bahkan
mengibaratkan Mamboro terletak, seolah-olah di sebuah oasis sawah basah dan
kebun kelapa.
Adapun di kawasan utara Mamboro, memiliki
ketinggian 3-4 m pada jarak tertentu dari pantai. Keadaan tanahnya berpori,
yang terdiri dari blok-blok besar granit dan gneiss hingga ½ m³, dengan
keadaan kering dan steril. Dataran tetap lebar seluas 3 ¾ km sampai ke kawasan
Timur.
Kemudian, Abendanon menjelaskan, bukit
yang terletak sedikit ke tenggara Palu di timur Mamboro, memiliki karakter yang
kering dan padang pasir. Bagian utaranya terdiri dari beton polos, yang berkembang
terutama di sebelah timur Palu dan Mamboro, di kawasan perbukitan yang
berhutan.
Kemudian, di antara garis patahan
dan garis pantai, dataran rendah dari Mamboro ke wilayah Utara bertambah lebar.
Abendanon menjelaskan, Fakta bahwa kerak Bumi bagian atas Sulawesi, yang
terdiri terutama dari blok dan pecahan yang terus bergerak, tidak mengherankan.
Berdasarkan pengamatannya, hanya
dalam beberapa tahun terakhir (1900-an awal), fenomena seismologis Sulawesi
Tengah dapat dipublikasikan. Tidak banyak data yang terlestarikan tentang gempa
bumi di wilayah Sulawesi Tengah.
Dirinya misalnya menemukan cerita
bahwa sekitar 40 tahun yang lalu dari 1909-1910, artinya pada periode 1870-an
hingga 1880-an, ada gelombang pasang di Teluk Paloe, di mana diamati terjadi di
Lero dan Mamboro, pada ketinggian beberapa meter. Gelombang ini menurut cerita
tersebut, terjadi akibat penurunan muka tanah di Teluk Palu, yang mengakibatkan
gelombang air laut tiba-tiba dari Selat Makassar.
Cerita serupa muncul dari De
Heeren de Vogel dan Dibbetz, seorang pejabat urusan pertanian, yang menceritakan
kepada Abendanon, kisah-kisah menarik tentang gempa bumi di Donggala. Menurut
mereka, berdasarkan laporan dari penduduk desa, terjadi banjir 40 - 50 tahun
yang lalu, di Palu, Mamboro dan Lero, di mana tinggi gelombang kurang lebih 7 meter
dan di wilayah Donggala sekitar 4 meter. Banjir ini juga diwarnai penyemprotan
air tanah berwarna hitam. Ini kata De Heeren de Vogel dan Dibbetz, disebabkan
oleh penurunan tanah.
Jika dilihat dengan seksama, apa yang terjadi di
periode 1870-an hingga 1880-an di Teluk Palu ini, mirip dengan apa yang terjadi
pada 28 September 2018 lalu, di mana tsunami terjadi akbat penurunam muka tanah
(longsor) di Teluk Palu. ini membuktikan, bencana tsunami akibat longsor di
Teluk Palu, bukan baru pertama kali terjadi.
0 Comments