Gempa dan Tsunami 1938 Dalam Catatan

Gempa dan Tsunami 1938 Dalam Catatan

Kota Palu yang dilalui oleh Sesar Palu Koro, salah satu sesar paling aktif di dunia, rentan terhadap bencana gempa bumi. Tercatat, sudah beberapa kali kota ini dilanda gempa bumi yang disertai dengan gelombang tsunami, di antaranya tahun 1927, 1938, dan yang terbaru, 28 September 2018.

Tulisan kali ini, tidak akan membahas perihal bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi yang terjadi 28 September lalu. Tulisan ini bermaksud mengulas lebih dalam terkait bencana gempa bumi yang disertai gelombang tsunami, yang meluluhlantakkan wilayah teluk Palu, pada 20 Mei 1938.

Pengamat kebencanaan dari Fakultas MIPA Universitas Tadulako (Untad) Drs Abdullah, MT, dalam kajiannya tentang sesar Palu Koro menyebutkan, gempa bumi yang terjadi pada Jumat, 20 Mei 1938 pukul 01.08 WITA tersebut, memiliki magnitudo 7,6 Skala Richter (SR), dengan episentrum 119,3 BT dan 0,5 LS. Kedalaman pusat gempa 33 km, serta memicu tsunami di teluk Palu setinggi 4 meter.


Gempa bumi ini juga menyebabkan down-lift atau penurunan permukaan tanah di sebagian wilayah teluk Palu. Dalam catatannya, akibat gempa bumi tersebut, 50 rumah dan jaringan perpipaan di Palu rusak/hancur, 11 rumah rusak di Wani, 30 rumah di Tawaeli, serta 60 rumah di Donggala. Di Mamboro, lokasi pasar lenyap ditelan tsunami dan saat ini menjadi laut. Kemudian, dalam catatan tersebut juga disebutkan, beberapa orang hanyut terbawa gelombang dan seorang wanita keturunan Tionghoa tewas tenggelam.

Dalam catatan BMKG Palu, gempa ini memiliki intensitas VIII-IX MMI. Intensitas VIII MMI ditandai kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat, retak-retak pada bangunan degan konstruksi kurang baik, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh. Intensitas IX ditandai dengan kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka-rangka rumah menjadi tidak lurus, banyak retak, rumah tampak agak berpindah dari pondamennya, serta pipa-pipa dalam rumah putus.

Bencana gempa bumi ini, juga tercatat dalam sejumlah surat kabar, baik terbitan Belanda maupun terbitan di Indonesia yang berbahasa Belanda. Salah satu yang paling rinci menggambarkan keadaan pasca bencana tersebut adalah Leeuwarder Nieuwsblad, surat kabar harian tertua di Belanda yang didirikan oleh Abraham Ferwerda, yang pertama kali muncul pada tahun 1752.

Dalam edisi 21 Mei 1938, surat kabar tersebut melaporkan, gempa bumi tersebut dirasakan di wilayah Palu dan Mamboro, dan menyebabkan kerusakan besar. Di Palu, 50 rumah dilaporkan ambruk, sementara di banyak tempat tanah terbelah. Di Wani, delapan rumah telah hancur atau rusak. Di Mamboro 17 rumah rusak telah hanyut oleh gelombang pasang. Seorang wanita China telah tenggelam. Adapun di Donggala, guncangan pertama dirasakan pada sepuluh menit sebelum jam 00.30 WITA.

Guncangan ini dilaporkan intens terjadi dan berlangsung selama satu menit. Guncangan kedua bahkan lebih buruk dan berlangsung selama tiga menit. Orang-orang dilaporkan hampir tidak bisa berdiri dan melarikan diri ke jalanan. Sepanjang malam tersebut, warga menghabiskan waktu di luar rumah, dengan akibat yang lebih serius daripada dugaan awalnya.

Surat kabar ini juga melaporkan, ternyata Parigi juga telah terkena dampak serius. Di Toribulu, gelombang pasang memiliki efek merusak hingga 100 meter ke daratan. Delapan orang dinyatakan hilang, tiga mayat ditemukan. Banyak ternak, puluhan ribu pohon kepala telah hanyut.

Kemudian, sekitar 450 rumah telah ambruk dari arah Toribulu ke Parigi. Ratusan rumah telah ambruk. Kawasan Ampibabo juga sangat terdampak. Jalan dari Toribulu ke Parigi rusak parah. Pantai telah surut di banyak tempat. Hampir semua jembatan telah hancur atau putus. Kerusakannya cukup besar. Belum ada laporan dari daerah Tinombo.
Di Tawaeli juga banyak rumah rusak, jaringan pipa-pipa air di Palu rusak, jalan antara Palu dan Kulawi rusak, tribun lintasan balap dan sebuah lumbung di Bulubete runtuh, serta ada satu orang tewas dan satu orang terluka. Tremor dirasakan sampai beberapa hari.

Gempa Besar Kedua di Teluk Tomini

Drs Abdullah mencatat, pada tahun 1938 tersebut tidak hanya terjadi satu gempa bumi dengan magnitudo besar. Dalam catatannya, selang tiga hari dari gempa bumi di teluk Palu, tepatnya pada 23 Mei 1938, gempa bumi bermagnitudo besar juga melanda kawasan Teluk Tomini. Gempa bumi ini terjadi diakibatkan pergerakan sesar Sausu, dengan episentrum 120,3 BT dan 1,0 LS.

Gempa bumi ini mengakibatkan tsunami di kawasan Parigi hingga Toribulu, sejauh 60 km, dengan tinggi gelombang sekitar 2-3 meter. Akibat gempa bumi ini, terjadi up-lift atau naiknya permukaan tanah di lepas pantai Parigi, yang kini dikenal dengan Pulau Makakata. Dalam catatannya, gempa bumi tersebut mengakibatkan 942 unit rumah rubuh, 184 lainnya rusak, serta semua jembatan di sepanjang jalur tersebut rusak. Di Parigi, 16 orang terbawa gelombang, di Ampibabo 1 orang tewas dan di Toribulu 3 orang tewas. Selain itu dilaporkan Dermaga Parigi juga rusak.

Sementara itu, dalam laporan surat kabar Bredasche Courant edisi 24 Mei 1938, akibat gempa ini, 60 rumah dihancurkan oleh gelombang pasang yang merendam daratan hingga ratusan meter dari bibir pantai. Beberapa orang dinyatakan hilang.

Di Parigi, sembilan orang dewasa dan delapan anak-anak tewas oleh tsunami. Hubungan darat antara Tawaeli dan Parigi rusak akibat gempa. Gempa ini telah menewaskan 22 orang dan sekitar 15 orang hilang.

Sementara itu, dalam surat kabar De Tijd edisi 2 Juni 1938 melaporkan, hingga tanggal tesrebut, guncangan ringan masih terasa di Parigi. Jumlah total rumah yang hancur adalah 942 rumah, kerusakannya bernilai sekitar 50.000 gulden. Gudang dari Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda benar-benar hancur. Kemudian jalur yang menghubungkan antara Parigi dan Paloe tidak dapat dilewati dengan panjang 14 km.

Selanjutnya, Kampung Taroee (kemungkinan Torue) di selatan Parigi telah hilang. Kampung ini telah hanyut oleh laut, di mana bukit di belakang Taroee telah runtuh sebagian. Torue sendiri kini adalah sebuah kecamatan di wilayah selatan Kabupaten Parigi Moutong, dengan Desa Torue sebagai salah satu desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan tersebut.

Perhatian Bala Keselamatan

Pasca bencana gempa bumi 20 Mei 1938, sejumlah pihak berupaya menyalurkan bantuan ke wilayah yang terdampak. Salah satu yang tercatat adalah Bala Keselamatan (Salvation Army).

Hal ini tercatat dalam sejumlah laporan surat kabar, baik terbitan Belanda maupun lokal, yang menceritakan perihal tersenut. Salah satunya surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 25 Mei 1938, yang melaporkan, Komandan De Groot dari Bala Keselamatan menerima laporan dari Sulawesi Tengah, bahwa sebagai akibat gempa bumi di wilayah tersebut, mengakibatkan kerugian sekitar 10.000 gulden dari basis koloni pertanian di Kalawari/Kalawara. Selain itu, terdapat kerugian sekitar 4.000 gulden, diakibatkan kerusakan disebabkan oleh bangunan dan sekolah lain.

Di wilayah basis mereka di Kapiroi, hampir semuanya telah hancur. Adapun total kerugian yang disebabkan oleh gempa bumi berjumlah 14.000 hingga 15.000 gulden. Untuk itu, Bala Keselamatan meminta bantuan dari publik.

De Groot sendiri yang memiliki nama lengkap JW De Groot, merupakan salah seorang Komandan Teritorial Bala Keselamatan yang memimpin teritori Indonesia. Dilansir dari laman resmi Bala Keselamatan, De Groot menjabat antara 1931-1938.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya Oktober 1938, Komandan Teritorial Bala Keselamatan pasca JW De Groot, Kolonel AC Beekhuis bersama istrinya berkunjung ke Sulawesi Tengah. Kunjungan ini dalam rangka perayaan 25 tahun pekerjaan misionaris di wilayah tersebut.

AC Beekhuis sendiri, sebagaimana dilansir laman resmi Bala Keselamatan, merupakan Komandan Teritorial yang memimpin antara tahun 1938 hingga 1946.

Sebagaimana diberitakan surat kabar Soerabaijasch Handelsblad edisi 18 Oktober 1938, Kolonel Beekhuis mengatakan, para pionir yang mulai bekerja di sana 25 tahun yang lalu, telah meletakkan dasar yang baik.

Para pionir ini yang merupakan para misionaris dari berbagai kebangsaan, juga dengan setia dan penuh kasih bekerja di antara penduduk. Saat itu kata dia, Bala Keselamatan di Sulawesi Tengah memiliki 80 perwira dan guru, di mana hanya 10 orang yang merupakan warga Eropa.

Para perwira dan guru ini memiliki lebih dari 20.000 pengikut dan prajurit Bala Keselamatan, 1.300 anak-anak di sekolah siang hari dan 1.800 anak-anak di Sekolah Minggu.
Kebutuhan mereka menurut Kolonel Beekhuis, Salah satunya untuk memulai sekolah lanjutan di Kalawara, yang juga akan ditempati sekolah asrama.

Berbicara tentang gempa bumi, Kolonel Beekhuis mengatakan, banyak yang telah hancur, namun bencana itu tidak memiliki pengaruh pada Bala Keselamatan.

Pada kesempatan kunjungannya, Kolonel Beekhuis memeriksa dan memutuskan apa yang akan dipulihkan dan diperbarui. Sekolah yang terdampak bencana telah dan sedang diperbaiki. Secara khusus kata dia, bantuan keuangan besar telah disediakan untuk pekerjaan perbaikan ini dari lingkaran mereka sendiri.

Surat kabar tersebut juga melaporkan, Kongres Bala Keselamatan juga dilaksanakan di Sulawesi Tengah, tepatnya di Palu. Kongres ini sebagaimana ditulis dalam surat kabar tersebut, ditandai oleh semangat penuh rasa syukur dan sukacita untuk masa depan.

Kongres ini dianggap sebagai sebuah kesyukuran, karena dihadiri Komandan Teritorial Bala Keselamatan, Asisten Residen dan Kontroliur Donggala, juga Gezaghebber Palu.

Bantuan Bencana Dari Ratu Belanda

Bencana gempa bumi 20 dan 23 Mei tahun 1938, ternyata juga menarik perhatian Ratu Kerajaan Belanda saat itu, Wihelmina. Dirinya bahkan memberikan bantuan pribadi sebesar 1000 gulden untuk korban bencana tersebut. Hal ini terekam dalam catatan surat kabar Bredasche courant, terbitan 16 Juni 1938, yang melaporkan, pasca bencana gempa bumi dan tsunami yang melanda kawasan teluk Palu, 20 Mei 1938 dan Teluk Tomini 23 Mei 1938, Ratu Kerajaan Belanda, Wilhemina, menyerahkan bantuan sebesar 1000 gulden kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk kepentingan korban bencana.

Berita serupa juga tercatat diterbitkan oleh sejumlah surat kabar lainnya, seperti De Telegraaf, Algemeen Handelsblad, De Gooi-en Eemlander, Nieuwe Tilburgsche Courant, Leeuwarder Courant, De Banier, Het Vaderland, De Tijd, Utrecht Volksblad, Zaan Volksblad, De Maasbode, Delftsche Courant, serta Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant.



Gempa 1938 Dalam Tutura Lokal

Masyarakat di kawasan teluk Palu dan sekitarnya, mengabadikan bencana gempa bumi 1938 ini, lewat syair dan ingatan kolektif yang diwariskan lewat tradisi lisan yaitu Tutura. Salah satunya dapat dilihat di sebuah Syair Kayori yang menggambarkan kejadian di tanggal 20 Mei 1938, yang bunyinya sebagai berikut:

Goya-goya Gantiro,
To' Kabonga-Loli'o,
Palu-Tondo-Mamboro No' Toyamo,
Kayumalue Melantomo.

Artinya: Gempa di Ganti, terlihat orang Kabonga - Loli Oge, daerah Palu-Tondo dan Mamboro telah tenggelam, yang tersisa hanya Kayumalue yang terapung.

Selain itu, di Mamboro sendiri, terdapat kisah yang diceritakan kembali oleh anggota KHST, Slamat Anugrah, berdasarkan hasil wawancaranya dengan sejumlah orang tua di Mamboro, seorang wanita China yang tewas dalam bencana 1938 tersebut bernama Ban Ho. Ban Ho ini dikisahkan mendirikan toko di bawah kolong rumah panggung milik nenek dari Slamat. Rumah tersebut terletak di daerah dekat kawasan Perikanan di Mamboro saat ini. Menurut cerita tersebut, saat gelombang tsunami menerjang, air laut sampai ke daerah Ngapa dekat dengan Boya, kurang lebih 1 KM dari bibir pantai.

Cerita lainnya, pasca tsunami, ada beberapa rumah yang berhasil diselamatkan, namun banyak rumah yang menjadi korban. Salah satunya rumah kediaman istri Magau Tawaeli, Yotolemba, yaitu Mahanila. Rumah bangsawan asal Siranindi ini menjadi salah satu rumah di Mamboro yang hanyut terbawa tsunami.

Post a Comment

0 Comments