Setiap wilayah pasti memiliki sejarah, sekecil apapun
kisahnya. Sejarah tersebut lahir dari memori atau ingatan kolektif masyarakat
yang diwariskan secara turun temurun, tentang peristiwa sejarah yang terjadi di
wilayahnya masing-masing.
Berbicara tentang sejarah sebuah wilayah, tidak terlepas dari
periode zaman yang dilewati oleh kelompok masyarakat dalam wilayah tersebut.
Kali ini, sejarah wilayah yang dibahas adalah sejarah wilayah Siranindi, salah
satu dari 46 kelurahan yang ada di Kota Palu.
Sebagai sebuah wilayah kelurahan, usia Siranindi belumlah
tua. Kelurahan ini merupakan pecahan dari Kelurahan Kamonji, yang dimekarkan
pada tahun 1995, atau setahun setelah Kota Palu berubah status menjadi
kotamadya.
Namun, jika membahas sejarah wilayah yang bernama Siranindi
secara keseluruhan, kita akan melewati periode ratusan tahun, dengan kisah
pembabakan sejarah per periodenya masing-masing. Penamaan Siranindi, juga lekat
dengan istilah Tangga Banggo[1].
Etnolog berkebangsaan Belanda, Albert Christian Kruijt, dalam
buku De West Toradjas op Midden Celebes Deel I, tercatat menyebutkan kata
Siranindi dan Tangga Banggo dalam beberapa halaman. Buku ini sendiri merupakan
hasil dari perjalanan Kruijt mendokumentasikan cerita-cerita rakyat di wilayah
Sulawesi Tengah, khususnya Lembah Palu, pada kedatangannya, sekitar 1890an.
Dalam buku tersebut, jejak cerita sejarah yang paling tua
terkait Siranindi, berhubungan dengan cerita tentang Pue Puti[2], istri kedua
dari magau/raja pertama Palu, Pue Nggari. Dikisahkan dalam cerita rakyat yang
didokumentasikan oleh Kruijt tersebut, Siranindi menjadi tempat Pue Nggari menyembunyikan
Pue Puti, setelah berhasil menculiknya dari tempat tinggalnya di Bulunti. Dalam
cerita tersebut dikisahkan, Pue Nggari terpesona oleh kecantikan Pue Puti
sehingga memutuskan untuk menculiknya[3].
Selang beberapa hari kemudian, akibat penculikan tersebut,
sekitar seratus orang pasukan datang untuk membebaskan Pue Puti. Namun, begitu
tiba di Siranindi, mereka dihadang oleh sepasang gadis cantik yang menawarkan
mereka sirih pinang. Hal ini membuat mereka tidak jadi menyerang dan akhirnya
memulai negosiasi, di mana agar Pue Puti tetap tinggal, dirinya dijanjikan
bahwa keturunannya yang akan menjadi penerus Magau Palu. Kesepakatan pun
diperoleh dan Pue Puti dibangunkan sebuah rumah oleh Pue Nggari di kawasan
Siranindi (Tangga Banggo)[4].
Dari kisah ini dapat dilihat bahwa wilayah Siranindi, di masa
Pue Nggari, dijadikan sebagai tempat tinggal istri keduanya, Pue Puti, yang keturunannya,
dijanjikan akan menjadi penguasa Palu.
Kisah lainnya terkait penyebutan Siranindi, muncul dari kisah
pernikahan Magau pertama Sigi, Bakulu dengan puteri dari Siranindi, Tangindjamaya[5].
Tangindjamaya sendiri, dalam Silsilah Kita Santina yang disusun Moh Noor Lembah
tahun 1985, disebut sebagai anak dari Saremaburi (Pue Keke Nganga) dan Dae
Mbasu yang disebut sebagai Madika Palu[6].
Tangindjamaya diketahui memiliki dua orang saudara, yakni Sangapinile yang
menikah dengan Mpuselembah, serta Yudi yang menikah dengan Madika Parigi[7].
Saremaburi sendiri merupakan adik dari Labulembah dan
Kilamelanda. Saremaburi dan Labulembah merupakan anak dari Dae Paranto dan
suami keduanya yang merupakan Madika Sigi/Palu, sedangkan Kilamelanda adalah
anak Daeparanto dari suami pertamanya yang merupakan Madika Sibili Pantoloan.
Dae Paranto sendiri merupakan anak dari Langganunu ke III Boya Peramba (cikal
bakal Kagaua Tawaeli), Siolemba, yang berkedudukan di Bomba[8].
Labulembah sendiri, tercatat sebagai ayah dari Kodivono, yang
terlibat dalam perang antara Palu dan Tawaeli, saat Kagaua Tawaeli dipimpin
oleh Magau ke II, Yuntonulemba[9].
Dalam De West Toradjas Op Midden Celebes, disebutkan, wilayah Palu yang
berperang dengan Tawaeli saat itu adalah orang-orang yang berasal dari wilayah
Pegunungan Ulayo, di sebelah barat Palu[10].
Wilayah Pegunungan Ulayo sendiri, dikenal sebagai wilayah penduduk yang
kemudian bermigrasi ke wilayah Tatanga dan Siranindi, melalui wilayah Pogego[11].
Perang ini sendiri dimenangkan oleh Tawaeli, dengan terjadinya pembakaran
seluruh wilayah Palu hingga menyisakan wilayah Ulayo saja. Sebagai akibat dari
kekalahan tersebut, wilayah Lolu dan sepanjang Pantai Timur Teluk Palu saat
itu, berada dalam yuridiksi Tawaeli[12].
Jika dilihat dari latar cerita ini dapat dilihat bahwa di
wilayah Siranindi, penduduk yang bermigrasi ke wilayah tersebut, sebagian besar
berasal dari Ulayo, atau kelompok yang sama yang kemudian bermigrasi ke
Tatanga, pasca terjadinya perang tersebut.
[1]
Penamaan Tangga Banggo ini didasari pada ciri
arsitektur sebuah baruga di wilayah Siranindi, yang tangganya bisa diangkat
(dalam bahasa Kaili disebut Tangga Banggo). Hal ini diyakini oleh masyarakat
sekitar, sebagai upaya untuk mengamankan diri dari musuh, atau mencegah ada
pihak-pihak yang hendak mengganggu sebuah musyawarah adat yang dilaksanakan di
baruga tersebut. Baruga ini kabarnya terletak di samping Kompleks Pekuburan
Magau, yang kini berada di Jalan Durian, Kelurahan Siranindi. Baca juga Moh
Herianto, Tangga Banggo dan Todonjaeo,
http://komunitashistoriasul-teng.simplesite.com/430649051/4334921/posting/tangga-banggo-dan-todonjaeo
[2] Pue Puti dalam cerita tersebut, disebut merupakan anak
dari Tomperano dan Bunga Bulava yang berasal dari Lando. Serangan To Mene
(Mandar) ke wilayah Lando, Tomperano memindahkan istrinya yang sedang hamil ke wilayah
Tamatumpu, sebuah wilayah di seberang Kaleke, yang berbatasan dengan Sungai
Palu. setelah muncul kisruh akibat kasus Gau Goa di Tamatumpu, Tomperano
kembali memindahkan istrinya ke wilayah yang lebih aman yaitu Bulunti. Dalam
perjalanan menuju Bulunti, Bunga Bulava melahirkan Pue Puti di atas sebuah batu
yang disebut Vatu Mpoana.
[3] De West Toradjas Op Midden Celebes, Deel I, halaman 61
[4] Ibid, halaman 61-62
[5]
Ibid, halaman 107
[6]
Silsilah Kita Santina halaman 1 dan 44
[7]
Ibid, halaman 1 dan 44
[8]
Ibid, halaman 1
[9]
Perang ini dipicu oleh kemarahan istri pertama Labulembah yang cemburu dengan
istri kedua Labulembah yang tinggal di Tawaeli. Istri pertama labulembah
tersebut menyuruh pembunuh bayaran bernama Datu Ela, untuk menghabisi madunya.
Misi tersebut berhasil, namun Datu Ela terbunuh oleh masyarakat setempat.
Peristiwa ini menyulut amarah Kodivono, anak Labulembah, yang kemudian
menyatakan perang terhadap Tawaeli. Kisah ini besar kemungkinan terjadi,
sebelum migrasi Pue Nggari ke Lembah Palu.
[10]
De West Toradjas, halaman 55
[11]
Disarikan dari De West Toradjas, Palu Meniti Zaman, serta sejumlah tutura hasil
penelusuran KHST
[12]De
West Toradjas op Midden Celebes, halaman 57
0 Comments