Merawat Nilai Sejarah Masjid Al Hidayah

Merawat Nilai Sejarah Masjid Al Hidayah


Sebuah bangunan masjid berdiri kokoh di simpang empat Jalan Haji Hayyun, Jalan Dr Wahidin, Jalan Ki Maja dan Jalan Suharso, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur. Bangunan masjid yang nampak sudah lama tidak digunakan ini, mulai mengalami kerusakan di sejumlah sisinya.

Bagian atap dan langit-langit masjid sebelah timur sudah mulai rusak dan terancam rubuh, beberapa pintu dan ventilasi masjid terlihat rusak, serta lantai bagian teras sebelah timur masjid dan halaman di sebelah barat, kini sudah ditumbuhi semak belukar dan lantai bagian dalam dipenuhi sampah.


Kemudian ornamen pada keempat sudut atap kubah masjid hilang termakan usia, demikian pula dengan ornamen di sisi dalam keempat sudut kubah tersebut yang mulai rusak. Kerusakan juga terjadi di sisi teras sebelah utara, di mana beton yang ada sebagian sudah rusak dan rubuh.

Bangunan masjid tua ini, dikenal dengan nama Al Hidayah. Lokasi masjid ini sendiri menurut penuturan keluarga Tuan Sayyid Mohammad Amin bin Baharullah Bafagih, merupakan lokasi kedua, setelah pemindahan dari lokasi pertama pembangunan masjid Al Hidayah, pada sekitar tahun 1930-an.

Lokasi awal pembangunan Masjid Al Hidayah ini sendiri, diketahui terletak di dekat lokasi Jembatan III Palu, yang menghubungkan wilayah Kelurahan Besusu Barat dan Kelurahan Baru. Lokasi masjid yang pertama ini, terletak di pinggiran Sungai Palu, yang membelah wilayah Palu bagian barat dan bagian timur.   
 
Pembangunan Masjid Al Hidayah di lokasi pertama, menurut sumber tersebut, dilakukan oleh Tuan Sayyid Mohammad Amin bin Baharullah Bafagih atau yang dikenal dengan julukan Karaeng Loro-loro, di atas tanah wakaf milik Tanigau atau yang dikenal dengan nama I Pue Kate, pada tahun 1891. Sayyid Mohammad Amin bergelar Karaeng Loro-loro, karena sering menggunakan baju bermotif garis-garis atau biasa disebut loro-loro.

Tuan Sayyid Muhammad Amin bin Baharullah Bafagih sendiri, diketahui merupakan anak dari Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid, mubaligh yang berasal dari Cikoang, Makassar. Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid, bersama Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang kesemuanya bermarga Bafagih Aidid, diperkirakan bermigrasi ke lembah Palu, tepatnya di wilayah Boyantongo (sekarang wilayah Kelurahan Baru), pada pertengahan abad ke 19, atau sekitar tahun 1840.

Sayyid Bahrullah bin Atiqullah disebutkan menikahi salah seorang bangsawan Kerajaan Palu, di mana pernikahan tersebut dikaruniai lima orang anak, yaitu Sayyid Mohyiddin bergelar Karaeng Boyantongo karena memilih wilayah dakwah di kawasan Boyantongo, Sayyid Mohammad Din yang bergelar Karaeng Paleleh, karena memilih berdakwah di kawasan Paleleh, Buol, Sayyid Mohammad Syah bergelar Karaeng Pelawa, yang berdakwah di kawasan Pelawa, Kabupaten Parigi Moutong, Sayyid Mohammad Amin bergelar Karaeng Loro-loro, yang berdakwah di kawasan Besusu, serta Sayyid Abdul Rasyid bergelar Karaeng Tiba, yang berdakwahdi wilayah Sidondo, Kabupaten Sigi.

I Pue Kate (Tanigau), yang mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid Al Hidayah, merupakan ayah mertua dari Karaeng Loro-loro. I Pue Kate sendiri kemudian menjadi imam pertama di Masjid Al Hidayah, karena Karaeng Loro-loro pada masa itu sering berdakwah keluar.

Karena lokasi masjid tersebut sering terkena musibah banjir, pada sekitar tahun 1930-an, lokasi masjid dipindahkan di lokasi di simpang empat Jalan Haji Hayyun, Jalan Dr Wahidin, Jalan Ki Maja dan Jalan Suharso, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur. 

Disebutkan, peletakan batu pertama pembangunan masjid Al Hidayah di lokasi kedua tersebut, melibatkan tokoh dari lima boya (kampung) di Besusu, yakni Boya Vunta, Boya Toi Rangi, Boya Karampe, Boya Polabea, dan Boya Masigi. Perpindahan lokasi masjid ini, terjadi di masa imam masjid kedua, yakni imam Lawadi Tanigau.

Lokasi Masjid Al Hidayah kemudian dipindahkan lagi ke Jalan Mulawarman, yang menjadi masjid yang digunakan hingga saat ini. Peletakan batu pertama Masjid Al Hidayah di lokasi ketiga ini, dilakukan oleh Gubernur Sulteng saat itu, AM Tambunan, pada tahun 1977. Pembangunan masjid berangsur-angsur sempurna pembangunannya, hingga diresmikan penggunaannya pada sekitar tahun 2002.

Bangunan masjid di lokasi kedua ini menurut Lurah Besusu Barat, Abdul Halim, saat mengunjungi masjid tersebut, Kamis (20/9/2018), diperkirakan tidak lagi digunakan, sekitar akhir tahun 90an atau awal tahun 2000-an. Salah satu sebab masjid ini tidak lagi digunakan, adalah akibat sengketa lahan masjid tersebut.

Rencana alumni angkatan 1999 SMAN 1 Palu untuk memfungsikan kembali penggunaan salah satu masjid bersejarah di Kota Palu tersebut, disambut positif dari salah seorang pihak keluarga pemilih lahan masjid tersebut.

Iriatul Zahra Hasan, salah seorang pihak keluarga pemilik lahan mengatakan, status kepemilikan lahan masjid tersebut kini sudah kembali ke status sebagai tanah wakaf dengan peruntukan sebagai tempat ibadah atau masjid. Status ini kata dia sudah putusan inkrah dari pihak pengadilan.

“Kami menyambut positif upaya Alumni 99 Smansa Palu dan KHST ini, untuk kembali memfungsikan masjid tersebut sebagaimana mestinya. Namun, hal ini harus lebih dahulu dibicarakan dengan lima boya (kampung) di wilayah Besusu dan pihak keluarga besar,” ujarnya.

Perwakilan Alumni 99 Smansa Palu, Rahmad mengatakan, pihaknya tertarik untuk mendorong difungsikannya kembali masjid tersebut, setelah mendengar kisah sejarahnya. Pihaknya mengaku siap memfasilitasi upaya penggalangan dana untuk mendukung upaya memfungsikan kembali masjid tersebut seperti dahulu.

Sementara itu, Koordinator KHST, Moh Herianto mengatakan, pihak KHST siap membantu menyiapkan data-data yang berkaitan dengan sejarah masjid tersebut. Kata dia, masjid ini merupakan masjid bersejarah, yang sayang jika tidak difungsikan kembali.

“Masjid ini punya latar sejarah yang panjang, sehingga harus didorong untuk difungsikan kembali,” ujarnya.

Bukti nyata upaya reaktivasi masjd tersebut, hadir dari sejumlah pertemuan yang diinisiasi oleh Pemerintah Kelurahan Besusu Barat, yang melibatkan perwakilan lima Boya di Besusu dan tokoh masyarakat setempat. Lurah Besusu Barat, Abdul Halim, menyambut baik upaya ini dan berharap hasil pertemuan yang diinisiasi oleh pihaknya tersebut, berbuah hasil positif.

“Saat ini kita tinggal merumuskan tim pembangunan kembali masjid ini, kita doakan bersama semoga upaya ini lancar,” ujarnya.

Kamis (20/9/2018) sore, pihak pemerintah Kelurahan Besusu Barat, alumni Smansa Palu angkatan 99, pihak KHST, serta arsitek asal Untad, Fuad Zubaidi, kembali mengunjungi lokasi masjid tersebut, untuk membicarakan upaya pembangunan kembali masjid tersebut.

Fuad sendiri mengaku, akan melibatkan mahasiswanya dalam proses pengukuran bangunan masjid tersebut, agar didapatkan luasan detil bangunan dan lokasi masjid tersebut, sehingga dapat dibangun kembali sesuai bentuk aslinya.

“Kita semua berharap, pembangunan kembali masjid ini segera dapat direalisasikan. Upaya yang mulia ini butuh dukungan dari semua pihak, utamanya masyarakat Kota Palu. Masjid ini sarat dengan nilai sejarah dan wajib difungsikan kembali, sebagai warisan sejarah untuk generasi berikutnya,” ujarnya. ***    

Post a Comment

1 Comments