Navoli: Tradisi Pulang Kampung Suku Kaili Jelang Ramadan

Navoli: Tradisi Pulang Kampung Suku Kaili Jelang Ramadan

Bulan Ramadan menjadi bulan yang paling ditunggu kedatangannya oleh umat Islam di seluruh dunia. Pada bulan penuh keberkahan ini, seluruh umat Islam berbondong-bondong untuk melaksanakan ibadah bersama keluarga, saudara, dan kerabat.

Tradisi umat islam di berbagai daerah di Indonesia untuk menyambut datangnya bulan Ramadan pun berbeda-beda. Di wilayah Lembah Palu misalnya, terdapat tradisi kembali ke kampung atau yang dalam bahasa Kailinya disebut Navoli. Tradisi ini biasanya berlaku bagi masyarakat suku Kaili, yang merantau ke luar daerah untuk bekerja atau menempuh pendidikan.

Erwin, salah seorang warga Kelurahan Talise Valangguni, Kamis (17/5/2018) misalnya mengatakan, dirinya setiap tahun selalu menyempatkan diri untuk pulang ke kampung halamannya di Desa Kaleke, Kabupaten Sigi, untuk melewatkan hari-hari awal bulan Ramadan, bersama keluarga.

“Biasanya, satu atau dua hari sebelum puasa, saya sudah pulang. Di kampung, biasanya sebelum puasa, kami lakukan tradisi ziarah kubur keluarga dulu, kemudian dilanjutkan dengan tradisi Nolabe (membaca doa syukur) sebelum puasa,” jelas Ewin, sapaan akrabnya.

Hal serupa juga diamini oleh Moh Ridwan, yang berasal dari Desa Binangga, Kabupaten Sigi. Kata dia, di desanya, selama tiga hari awal puasa, para pekerja, seperti buruh bangunan misalnya, memutuskan untuk rehat sejenak, agar dapat melewatkan momen awal Ramadan bersama keluarga.

“Biasanya itu berlaku bagi mereka yang bekerja di Palu atau daerah lain di luar tempat tinggalnya,” ujarnya.

Salah seorang tokoh masyarakat Tawaeli, Andi Guma M Lembah juga mengatakan, tradisi yang sama juga berlaku di wilayah Tawaeli. Kata dia, tradisi ini, masih dipegang erat, utamanya masyarakat yang tinggal di wilayah Desa Nupa Bomba, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala.

Tradisi pulang kampung untuk melewatkan awal Ramadan bersama keluarga ini, agaknya memanbg merupakan tradisi turun-temurun yang dilakukan oleh masyarakat suku Kaili sejak dahulu. Moh Ridwan mengatakan, berdasarkan tuturan masyarakat di wilayahnya, salah satu kebiasaan masyarakat suku Kaili sejak dahulu jika menyambut bulan Ramadan adalah Navoli, yang artinya kembali ke perkampungan untuk melakukan ibadah, karena dahulu masyarakat suku Kaili sebagian besar hidup dengan tradisi Nolompu  yang  merupakan tradisi bercocok tanam dan tinggal sementara untuk memelihara tanaman sampai pada saat panen.

Jadi kata dia, pada saat bulan Ramadan, semua orang yang melakukan Nolompu, biasanya kembali ke Ngata atau kampung, untuk melakukan ibadah puasa dengan seluruh anggota keluarga, atau yang dikenal dengan istilah Noganggo/Mangala Balengga Puasa.

“Biasanya ada yang cuma tiga hari dan ada sampai satu minggu, bahkan ada selama satu bulan penuh mereka melakukan ibadah. Setelah itu barulah mereka Nanjili atau kembali ke sawah dan kebun mereka untuk merawat tanaman hingga masa panen tiba, yang juga disebut dengan istilah Nanjili Ri Povia atau Ri Panggavia,” jelas Moh Ridwan. 

Lanjut Ridwan, begitu pun pada saat menjelang hari raya, biasanya tiga hari sebelum Hari Raya Idul Fitri, mereka yang Nolompu, melakukan Navoli Hilau Rangata (pulang ke kampung), untuk merayakan Hari Raya. Biasanya tanaman yang mereka jaga dan pelihara (Nilompu), dipanen sebelum bulan puasa.

“Jika mereka merayakan lebaran, biasanya selama satu bulan penuh dan saling mengunjungi satu sama lain antara keluarga, saudara dan kerabat, selama satu bulan,” ujarnya.

Sementara itu, menurut Andi Guma M Lembah, selain tradisi Navoli atau tradisi pulang kampung, salah satu tradisi yang masih kental di masyarakat suku Kaili, khususnya di wilayah Tawaeli, adalah tradisi ziarah kubur. Tradisi ini biasanya berlangsungs seminggu sebelum pelaksanaan ibadah puasa dan pada saat Hari Raya Idul Fitri.


“Itulah sebabnya mengapa sebagian besar orang Tawaeli, berwasiat untuk dikuburkan di Tawaeli, jika mereka wafat. Misalnya Djaelangkara, Magau (Raja) Tawaeli yang wafat di Sirenja (Pantai Barat Kabupaten Donggala) tetapi dikuburkan di Tawaeli. Begitupun dengan Guma Lembah, Madika Malolo Tawaeli yang wafat di Sausu (Parigi Moutong) juga dikuburkan di Tawaeli. Selain itu juga ada Usman Lembah, mantan Camat Senen Jakarta, yang merupakan ayah dari Kepala Perwakilan Ombudsman Sulteng, Sofyan Farid Lembah, yang wafat di Jakarta tetapi dikuburkan di Tawaeli. Ini semua membuktikan, jika ziarah kubur jelang Ramadan menjadi tradisi merata di Tawaeli dan masih bertahan hingga kini. Untuk melaksanakan tradisi tersebut, keluarga dan kerabat yang berada di luar Tawaeli, biasanya pulang untuk sekedar melaksanakan tradisi ini,” jelasnya. ***

Post a Comment

0 Comments